Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Efek Negatif Penghiliran Nikel

Penghiliran nikel bakal menunjukkan efek negatif ke perekonomian setelah tahun kelima karena dampak lingkungan dan kesehatan.

26 Februari 2024 | 00.00 WIB

Aktivitas smelter nikel di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara, 8 Februari 2024. ANTARA/Jojon
Perbesar
Aktivitas smelter nikel di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara, 8 Februari 2024. ANTARA/Jojon

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Warga sekitar tambang menilai kehadiran perusahaan nikel belum memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian masyarakat sekitar.

  • Meski industri ini menghasilkan produk domestik bruto (PDB) positif sebesar US$ 4 miliar (sekitar Rp 62,8 triliun), keuntungan menurun setelah dampak lingkungan hidup dan kesehatan mulai memperlihatkan efek negatif terhadap total output perekonomian.

  • Alih-alih meningkatkan perekonomian, pengolahan nikel juga dianggap merugikan pekerja sektor pertanian dan perikanan.

JAKARTA — Penghiliran nikel dianggap belum memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan akibat besarnya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Hal itu dirasakan Pani Arpandi, warga Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Hingga kini ia masih konsisten menentang keberadaan tambang nikel di daerahnya.

Menurut dia, kehadiran perusahaan nikel belum memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian warga lokal. “Malah yang terlihat dampak lingkungan. Sudah lima hari belakangan air konsumsi masyarakat di Desa Roko-Roko, dekat beroperasinya tambang, menjadi keruh,” ujarnya saat dihubungi kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Arpandi yakin penyebab air yang selama ini keruh adalah operasi tambang. Menurut dia, beberapa bulan sejak tambang beroperasi, sudah ada penurunan pendapatan, khususnya di sektor perikanan. “Kekeruhan air menjadi penyebab larinya ikan-ikan,” ujarnya.

Kondisi yang dialami Arpandi seakan-akan membenarkan riset Center of Economic and Law Studies (Celios) dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) bertajuk "Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel: Dampak Ekonomi dan Kesehatan dari Industri Nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara". Riset yang dirilis pada 20 Februari lalu itu menyebutkan skema bisnis industri nikel yang ada saat ini hanya memberi keuntungan selama lima tahun awal, atau selama masa konstruksi. Meski industri ini menghasilkan produk domestik bruto (PDB) positif sebesar US$ 4 miliar (sekitar Rp 62,8 triliun), setelah tahun kelima, keuntungan menurun setelah dampak lingkungan hidup dan kesehatan mulai memperlihatkan efek negatif terhadap total output perekonomian.

Tanda Tanya Kontribusi Penghiliran Nikel

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600



Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengatakan kerugian ekonomi justru terjadi di lingkungan masyarakat di area industri. “Masyarakat sekitar merasakan dampaknya bagi sumber mata pencarian. Juga risiko besar bagi kesehatan,” ujarnya.

Pemerintah menggencarkan penghiliran untuk meningkatkan nilai tambah nikel dalam negeri. Temuan Celios dan CREA menunjukkan bahwa penghiliran pada akhirnya meningkatkan produksi komoditas nikel kelas 2, yakni feronikel (FeNi) dan nickel pig iron (NPI). Komoditas yang diperuntukkan bagi baja tahan karat ini juga dibutuhkan bagi produk nikel kelas 1, bahan baterai kendaraan listrik.

Alih-alih meningkatkan perekonomian, pengolahan nikel juga dianggap merugikan pekerja sektor pertanian dan perikanan. Industri nikel dapat menghasilkan kerugian nilai tambah ekonomi lebih dari US$ 387,10 juta atau sekitar Rp 6 triliun dalam waktu 15 tahun bagi kedua sektor tersebut.

Skenario operasi industri nikel saat ini disebutkan dapat menyebabkan petani dan nelayan kehilangan pendapatan sebesar US$ 234,84 juta atau sekitar Rp 3,64 triliun dalam  15 tahun ke depan. Kegiatan industri pengolahan nikel memiliki dampak yang kecil terhadap pengurangan angka ketimpangan antar-wilayah. “Profit yang kemudian diperoleh dari industri nikel tidak semua kembali lagi ke ekonomi lokal,” kata Bhima.

Riset Celios dan CREA menemukan bahwa degradasi lingkungan mengakibatkan penurunan manfaat ekonomi secara bertahap. Pertumbuhan pesat pertambangan dan pengolahan nikel di Maluku dan Sulawesi Tengah menyebabkan peningkatan polusi udara, tanah, dan air. 

Hasil pemodelan Celios menyimpulkan bahwa kontribusi PDB dari aktivitas smelter nikel terhadap PDB nasional mencapai Rp 83,17 triliun (sekitar US$ 5,36 miliar) dari tahap konstruksi pabrik dan fasilitas pendukung industri. Pada tahap ini, tenaga kerja dari berbagai daerah akan diserap untuk mendukung kegiatan dalam fase awal pembangunan smelter. Namun dampak ekonomi diperkirakan turun pada tahap operasional, terutama karena dampak negatif terhadap sektor perikanan. 

Skenario yang mendorong dampak negatif tersebut termasuk pencemaran pantai serta penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara yang menghasilkan beban ekonomi dari polusi udara dan lingkungan kepada masyarakat sekitar.

Anak-anak bermain di sekitar pemukiman mereka dengan latar belakang aktivitas industri nikel di kawasan pesisir pantai Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, 11 Januari 2024. ANTARA/Mohamad Hamzah

Selanjutnya, aktivitas industri nikel dapat mengakibatkan penurunan PDB mulai tahun kesembilan atau setelah fase operasional pada tahun ketujuh dan kedelapan karena dampak negatifnya terhadap sektor lain (terutama pertanian, kehutanan, dan perikanan) melalui deforestasi, degradasi lahan, penurunan ekosistem air, dan hilangnya biodiversitas.

Koordinator Koalisi Save Sagea, Adlun Fikri, mengatakan degradasi lingkungan semakin dirasakan di beberapa desa di lokasi pertambangan di Sagea. “Sumber air di Gemaf dan Leilef, dua desa di dekat Kampung Sagea saat ini, juga sudah keruh. Warga harus membeli air galon untuk konsumsi sehari-hari,” katanya kepada Tempo kemarin.

Adlun, yang juga pemuda setempat, mengatakan daerah aliran sungai di Sagea kerap kali keruh. Ia mengatakan hal itu terjadi akibat aktivitas pertambangan nikel di hulu sungai.

Menurut dia, pemerintah pusat seharusnya rutin memonitor aktivitas pertambangan di kawasan tersebut. Selain itu, ia berharap pemerintah mengevaluasi izin-izin perusahaan. “Aktivitas pertambangan terus terjadi dan jumlahnya bertambah. Sementara itu, masyarakat lokal yang tidak begitu paham dengan istilah penghiliran harus menerima dampak lingkungannya," katanya.

Sebelumnya, lembaga lingkungan global, Climate Rights International (CRI), mempublikasikan dampak kerusakan akibat aktivitas pertambangan yang dilakukan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Pengoperasian penambangan hulu nikel dianggap menghancurkan kehidupan banyak masyarakat adat dan anggota masyarakat perdesaan di Halmahera.

Namun pihak perusahaan menyangkal hal tersebut. Manajemen PT IWIP mengatakan bahwa perusahaan selalu taat pada aturan dan memiliki perizinan atas semua kegiatan operasional. "IWIP sebagai perusahaan memiliki mekanisme pencegahan dan monitoring rutin yang kami percaya dapat menekan dampak ke lingkungan. Dalam melaksanakan seluruh kegiatan operasional industri, IWIP mengacu pada persetujuan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang telah disetujui oleh kementerian terkait," begtiu manajemen IWIP menulis. 

Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi, Fanny Tri Jambore Christanto, mengatakan pemerintah perlu memasukkan angka yang harus ditanggung negara akibat kerusakan lingkungan. “Seperti biaya pemulihan akibat pembukaan hutan dan dampak lingkungan bencana,” ujarnya.

Christanto juga mengkritik kebijakan perizinan yang dikeluarkan pemerintah untuk memudahkan investasi di sektor pertambangan. Menurut dia, makin banyak investasi masuk yang merusak lingkungan akibat semakin mudahnya pengurusan perizinan. “Izin itu untuk pembatasan dan pengendalian karena industri, khususnya pertambangan, punya daya rusak dan menimbulkan kerugian ekonomi jangka panjang.”

Tempo meminta tanggapan juru bicara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agus Cahyono Adi soal beragam kritik atas manfaat ekonomi penghiliran, tapi tidak direspons. Pada akhir Januari lalu, Agus mengatakan kepada Tempo, industri penghiliran tak akan terganggu meski sejumlah tantangan menghampiri. “Program penghiliran yang merupakan amanat undang-undang akan terus dijalankan,” katanya.

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pun sempat menanggapi sejumlah kritik tentang penghiliran. Menurut dia, penghiliran dan industri tambang diwajibkan memenuhi kaidah norma dalam aturan pemerintah. Misalnya, kata dia, amdal harus diselesaikan. Termasuk perizinan dan masalah lingkungan lainnya.

ILONA ESTERINA PIRI | ADINDA JASMINE | GHOIDA RAHMA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus