Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan penurunan jumlah kelas menengah pada 2024 merupakan salah satu dampak jangka panjang atau scarring effect akibat pandemi Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Di tahun 2021 itu kelas menengah jumlahnya 53,83 juta dengan proporsi 19,82 persen. Dan terakhir di tahun 2024 jumlahnya 47,85 juta dengan proporsi 17,13," katanya saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Jakarta Pusat, Rabu, 28 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk kelas menengah terus turun. Jika pada 2019 masih sebanyak 57,33 juta orang, pada 2021 menjadi 53,83 juta dan pada 2022 turun lagi menjadi 49,51 juta.
Penurunan ini diikuti oleh peningkatan jumlah penduduk yang termasuk dalam kategori aspiring middle class, yaitu kelompok yang sedang dalam perjalanan menuju kelas menengah. Mereka adalah kelompok yang berada di antara kelas rentan miskin dan kelas menengah.
Amalia juga menyoroti adanya perubahan pola pengeluaran di kalangan kelas menengah. Dalam satu dekade terakhir, menurutnya, terdapat perubahan dalam prioritas pengeluaran kelas menengah. Jika sebelumnya sekitar 45,53 persen pengeluaran kelas menengah digunakan untuk makanan dan minuman, kini angka tersebut turun menjadi 41,67 persen.
Pengeluaran untuk perumahan juga menurun dari lebih dari 32 persen menjadi sekitar 28,5 persen. Di sisi lain, ada peningkatan pengeluaran untuk barang dan jasa lainnya, termasuk kebutuhan pesta yang meningkat dari 0,75 persen menjadi 3,18 persen, serta hiburan yang mengalami peningkatan hingga mencapai 0,38 persen.
"Secara umum, prioritas pengeluaran kelas menengah saat ini adalah makanan, perumahan, dan barang jasa lainnya,” kata Amalia. Saat proporsi kelas menengah relatif tipis, menurut Amalia, perekonomian kurang resilien terhadap guncangan. "Jadi, peran kelas menengah menjadi penting untuk menjaga daya tahan suatu ekonomi."
Karena itu, menurut Amalia, pemerintah perlu membuat kebijakan yang memperkuat daya beli kelas menengah, mengingat kontribusinya yang tinggi terhadap perekonomian. “Penguatan daya beli diperlukan tidak hanya untuk kelompok miskin, tapi juga untuk kelas menengah (middle class) dan menuju kelas menengah (aspiring middle class),” tuturnya.
ILONA ESTHERINA | MHD RIO ALPIN PULUNGAN | ANTARA