Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

APBD dan Perekonomian Daerah

31 Juli 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bambang P.S. Brodjonegoro

  • Dekan Fakultas Ekonomi UI

    MEMASUKI Juli 2006, banyak pihak mulai khawatir dengan kemungkinan tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi tahun ini. Pemerintah mematok angka 5,9 persen, sedangkan Bank Indonesia 5,7 persen. Kekhawatiran ini dipicu oleh data Badan Pusat Statistik yang menunjukkan pertumbuhan hanya 4,6 persen pada awal 2006.

    Di tengah kekhawatiran itu, muncul berita yang sekilas biasa tetapi sesungguhnya punya implikasi serius terhadap pertumbuhan ekonomi. Dianggap biasa karena data ada-nya lebih dari Rp 40 triliun uang bank daerah (dulu disebut sebagai Bank Pembangunan Daerah) yang disimpan di sertifikat Bank Indonesia (SBI) dinilai hal wajar dalam dunia perbankan.

    Namun, berita tersebut menjadi tidak wajar karena bank daerah umumnya merupakan bank resmi pemerintah daerah setempat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, dan hampir pasti sebagian besar APBD akan mengalir melalui bank tersebut.

    Ini berarti ada lebih dari Rp 40 triliun anggaran daerah yang belum terpakai, ditaruh dalam SBI sehingga menghasilkan penerimaan bunga yang cukup lumayan. Dari segi bank daerah sebagai korporat, hal ini memang sah-sah saja karena sebagai bankir mereka dituntut menghasilkan laba bagi perusahaannya.

    Tapi menjadi sangat ironis ketika kita dihadapkan dengan fakta bahwa APBN dan APBD ternyata tidak berdampak pada aktivitas riil masyarakat. Sesuai dengan karakter desentralisasi di Indonesia yang berorientasi pada sisi pengeluaran, APBD didominasi oleh dana perimbangan yang merupakan transfer pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dalam bentuk dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (pajak dan sumber daya alam), serta dana alokasi khusus (DAK).

    Dana perimbangan tersebut diarahkan untuk menutupi kebutuhan daerah dalam rangka menjalankan kewenang-an yang sudah dialihkan ke mereka. Soalnya, pera-nan pendapatan asli daerah (PAD) dalam APBD umumnya dianggap tidak signifikan dengan rata-rata kontribusi- kurang dari 10 persen APBD. Total dana perimbangan sendiri mencapai sepertiga dari total APBN. Dengan kata lain, pemerintah pusat praktis langsung kehilangan sepertiga dari amunisinya untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi.

    Karena itulah, pemerintah daerah diharapkan dapat meng-gantikan peran pemerintah pusat sebagai pendorong per-tumbuhan ekonomi. Harapan itu menjadi kekhawatiran be-gitu ditemukan cukup banyak dana daerah yang parkir di SBI. Pertanyaannya: tepatkah tindakan tersebut?

    Dari segi aturan, seperti dikemukakan Gubernur BI dan Menteri Keuangan, tidak terlihat adanya kesalahan. ”Kesalahan” mungkin dapat dilihat dari fungsi APBD sendiri yang seharusnya dilihat sebagai anggaran daerah, bukan hanya sebagai anggaran pemerintah daerah.

    Apabila APBD hanya dilihat sebagai anggaran peme-rintah daerah, sangat beralasan bagi pemilik rekening, ya-itu pemerintah daerah, untuk mengoptimalkan uang yang ada dalam rekeningnya itu. Akan tetapi APBD bukanlah anggaran pemerintah daerah, melainkan anggaran daerah yang seharusnya diutamakan untuk memberi pelayanan publik yang memadai serta menjadi stimulus pertumbuh-an ekonomi setempat.

    Setiap rupiah dalam APBD jelas harus digunakan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat dalam bentuk tersedianya infrastruktur yang lebih baik, serta makin ter-bukanya lapangan kerja. Setiap rupiah yang menganggur dalam APBD akan berakibat pada rendahnya pertumbuhan ekonomi daerah, yang kemudian berujung pa-da terbatasnya lapangan kerja baru serta ti-dak terjadinya perbaikan pendapatan ma-syarakat.

    Masyarakat lokal, di mana pun di Indonesia, akan lebih menginginkan berlangsungnya pembangunan daerah ketimbang bertambahnya penerimaan bank daerah atau pemerintah daerah karena adanya bunga SBI. Itu sebabnya, pertumbuhan produk -do-mestik regional bruto, penciptaan lapang-an kerja, dan perbaikan pendapatan masyarakat jauh lebih penting daripada APBD, dan seharusnya dijadikan indikator kinerja eksekutif dan legislatif daerah.

    Untuk itu, kualitas perencanaan perekonomian daerah harus diperbaiki sehingga pemerintah daerah tidak ke-sulitan melakukan eksekusi program atau proyek ketika anggarannya sudah tersedia. Langkah ini harus dibarengi dengan kepastian hukum bagi pelaksana proyek, sehingga konsep ”good local governance” bukan diartikan sempit sebatas masalah pencatatan dan prosedur pemakaian anggaran, melainkan lebih luas dalam konteks apakah APBD sudah membuahkan manfaat positif bagi masyarakat -lokal.

    Dari sisi pemerintah pusat, perlu dipikirkan pembentuk-an municipal development fund dengan fokus pada perbaikan infrastruktur dasar lokal. Dengan skema ini, kelebihan dana di daerah yang memang tidak dapat diserap dalam jangka pendek dapat diinvestasikan, dengan tingkat pengembalian yang cukup menarik. Perlu juga dikaji kemungkinan pembatasan jangka waktu penempatan dana bank daerah di SBI. Ini untuk mencegah penempatan dana APBD dalam jangka panjang atau bahkan permanen di SBI.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus