Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENYUM Bambang Dwi Hartono mendadak lenyap. Wali Kota Surabaya ini malah tampak ge-ram sesaat setelah meresmikan Pasar Tambahrejo, Surabaya, tiga pekan lalu. Gara-garanya, 400 kios yang dialokasikan buat para pedagang kosong melompong. Usut punya usut, para pedagang di pasar itu ternyata belum menerima kucuran kredit setetes pun.
Padahal, Pemerintah Kota Surabaya memiliki dana khusus untuk pedagang di sana. Dana itu disimpan di Bank Jatim. Dengan penyaluran dana ini lewat fasilitas kredit, diharapkan kegiatan ekonomi di Tambahrejo pun bisa menggeliat. Apalagi, bekas pasar tradisional seluas 17.500 meter persegi yang sempat terbakar pada 2002 itu kini disulap menjadi pasar semi-modern enam lantai, lengkap dengan hipermarket, butik, restoran, perkantoran, hotel, dan kolam renang.
Perkara seretnya pengucuran kredit itu membuat Bambang jengkel. Ia meng-ancam akan menarik seluruh dana milik Pemerintah Kota Surabaya yang tersimpan di bank tersebut. ”Pengucuran kredit yang telat membuat ratusan pe-dagang terbengkalai,” katanya.
Ternyata gertakan Bambang manjur. Tiga hari kemudian, Bank Jatim langsung menandatangani kesepakatan de-ngan PD Pasar Surya, perusahaan milik Pemerintah Kota Surabaya yang me-ngelola Pasar Tambahrejo. Kredit Rp 5 juta-25 juta per pedagang pun segera dikucurkan. Biaya itu untuk sewa kios Rp 4 juta per meter persegi.
Tapi, tak semua pengusaha kecil dan menengah di Jawa Timur bernasib mujur seperti pedagang di Pasar Tambahrejo. Menurut Auwalin, peneliti REDI (Regional Economic Development Institute) di Surabaya, banyak usaha mikro kecil dan menengah di Jawa Timur yang sulit mendapat bantuan modal. Jumlahnya mencapai 2 juta usaha mikro kecil, dan 120 ribu usaha menengah.
Sulitnya penyaluran kredit, menurut- Ridwan Hisjam, Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, dikarenakan Bank Jatim lebih memilih menginvestasikan uangnya untuk membeli sertifikat Bank Indonesia (SBI). Padahal, duit Bank Jatim yang kebanyakan bersumber dari dana APBD itu semestinya digunakan untuk membiayai sejumlah proyek pem-ba-ngunan di Jawa Timur dan pe-nyalur-an kredit bagi unit usaha kecil dan me-nengah.
Ridwan mencatat, hingga akhir Mei, dana dari Bank Jatim yang ditanam di SBI mencapai Rp 5,8 triliun. Sebulan kemudian nilainya mencelat menjadi Rp 6,3 triliun. Angka ini hampir tiga kali lipat dari uang yang dirogoh Bank Jatim untuk membeli SBI hingga akhir 2005, sekitar Rp 2,2 triliun.
Bisa dibayangkan, dengan suku bunga SBI yang masih bertengger pada kisaran 12,25 persen (untuk jangka waktu sebulan) dan 12,15 persen (untuk jangka waktu tiga bulan), rezeki yang bisa direguk memang aduhai.
Tak mengherankan bila langkah ini diikuti oleh bank daerah lainnya. Salah satunya Bank Riau. Menurut Nurdin, Ketua Fraksi PKS di DPRD Riau, hingga 30 Juni, dari Rp 9,1 triliun dana milik Pemerintah Daerah Riau yang meng-endap di Bank Riau, sebanyak Rp 8,44 triliun diparkir ke bank sentral dalam bentuk pembelian SBI.
Bila ditotal seluruhnya, dana yang mengalir dari berbagai daerah untuk membeli SBI menembus Rp 43,5 triliun per akhir Mei. Angka itu hampir sete-ngah dari dana perimbangan 2006 yang sudah dicairkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada perio-de yang sama: Rp 89 triliun (40,4 persen dari total belanja daerah 2006).
Besarnya duit yang kembali bergulir ke pusat itu, menurut M. Chatib Basri, staf ahli Menteri Keuangan, membuat pertumbuhan ekonomi di daerah menjadi lambat. ”Karena tidak ada pengeluaran, penciptaan lapangan kerja pasti berkurang,” katanya. Namun, potensi hilangnya pertumbuhan ekonomi di setiap daerah bervariasi, bergantung pada banyaknya dana yang disimpan di SBI.
Meski begitu, Chatib berpendapat pe-merintah daerah tidak bisa disalah-kan- sepenuhnya. Soalnya, tidak ada larang-an bagi pemerintah daerah untuk -membeli SBI. Dengan diberlakukannya -Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah pusat tidak berhak mengatur penggunaan dan pelaksanaan anggar-an pemerintah daerah.
Adriansyah, Direktur Pem-biayaan dan Informasi Keuang-an Daerah Departemen Keuang-an, membenarkan hal tersebut. Namun, apa yang dilakukan pemerintah daerah, di mata Adriansyah, kurang pas. ”Salah sih tidak, tapi tidak patut,” -katanya.
Seharusnya dana yang telah disalurkan itu segera digunakan untuk program pengentasan dari kemiskinan, pembangunan sarana pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. ”Kalau yang wajib tadi sudah dilaksanakan, baru beli SBI,” ujarnya.
Persoalannya, banyak proyek di daerah yang dibiayai APBD, termasuk di Jawa Timur, hingga kini belum bisa terlaksana. ”Karena banyak pejabat di daerah takut menjadi pim-pinan proyek,” ucap Perry Warjiyo, Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI. Mereka kini berbondong-bondong meminta perlin-dungan dan kepastian hukum bila menjadi pelaksana proyek.
Selain kekhawatiran itu, mundurnya pelaksanaan proyek kerap terjadi akibat lambatnya proses lelang untuk peng-adaan barang dan jasa, yang mema-kan waktu hingga dua bulan. Melarnya waktu juga terjadi pada proses tender hingga penandatanganan kontrak.
Akibatnya, menurut Sekretaris Per-usahaan Bank Jatim, Eddy Rusianto, dana yang tadinya sudah disiapkan urung dikeluarkan. Kondisi inilah yang menyebabkan dana milik daerah diinvestasikan untuk membeli SBI. ”Jadi, bukan bank daerah yang membuat sektor riil mandek,” katanya.
Di mata Amir Arif, Kepala Bank In-donesia Semarang, praktek yang dilakukan oleh bank daerah sesuatu yang l-umrah. Sebab, ”Terlalu berisiko bagi bank daerah untuk mengelola dana da-lam jumlah besar,” ujarnya. ”Investasi membeli SBI adalah pilihan yang aman.”
Meski alasan itu bisa diterima, Dradjad Wibowo, anggota Komisi Perbankan dan Keuangan DPR, berpendapat menumpuknya pusaran uang di Jakarta akan membuat efek pemerataan eko-nomi terhadap daerah menjadi jomplang. Kantong-kantong kemiskinan di daerah akan semakin meruyak. Pertumbuhan sektor riil di daerah pun kian -seret.
Untuk menciptakan pemerataan ter-sebut, Dradjad mengusulkan pola belanja daerah diperbaiki. ”Anggaran di-cairkan sesuai dengan daya serap daerah,” katanya. Bila daya serapnya besar dan alokasinya benar, pemerintah pusat bisa meningkatkan pencairan anggaran untuk daerah tersebut. Tapi bila sebaliknya, pencairan anggaran untuk pos tertentu ditahan. ”Agar pemerintah daerah terdorong untuk menyerap anggaran secara tepat dan cepat,” ucapnya. Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti bahkan mengusulkan agar daerah yang menggunakan dana APBD untuk membeli SBI diberi penalti.
Tapi Deputi Gubernur Senior BI, Miranda S. Goeltom, tak setuju dengan cara penalti. Agar anggaran terserap dengan baik, ia menganjurkan pemerintah daerah menciptakan proyek-proyek yang bisa membuat bank kepincut. Contohnya seperti proyek pembangunan sejuta rumah.
Cara ini, menurut dia, jauh lebih baik ketimbang memberikan penalti bagi daerah yang tidak berhasil menyerap anggaran dengan benar. ”Penalti belum tentu menyelesaikan masalah,” katanya.
Yandhrie Arvian, Sunudyantoro (Surabaya), Jupernalis Samosir (Pekanbaru), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo