Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANDA tak perlu menjadi ekonom untuk merasakan gelagat ini: meluasnya pengangguran. Di pinggir jalan, di pintu-pintu pabrik, di lobi kantor, barisan pencari kerja duduk lesu dengan wajah orang yang putus asa.
Data terbaru Badan Pusat Sta-tistik tentang angka pengangguran dan pertumbuhan ekonomi memang belum ter-sedia. Namun sulit dibantah, se-mester pertama tahun ini merupakan masa yang berat bagi dunia usaha. Presi-den Di-rektur PT Indomobil Sukses Inter-nasio-nal, Gunadi Sindhuwinata, meng-akui angka penjualan mobil terus me-lorot. Selama kuartal pertama 2006, distri-butor merek Suzuki, Nissan, dan Volvo itu hanya bisa menjual 2.000 unit mobil atau sepertiga tingkat penjualan periode yang sama tahun lalu.
Diperkirakan, penjualan semua merek mobil di Indonesia tahun ini hanya akan mencapai 320 ribu unit, anjlok hingga hampir separuh angka tahun lalu. ”Ini berat,” kata Gunadi, ”Kami sudah pinjam dana ke bank untuk menambah ka-pasitas, tapi penjualan malah lesu.”
Meskipun tak separah mobil, permin-taan semen juga melempem. Selama enam bulan terakhir, PT Semen Gresik, produsen semen terbesar di Tanah Air, hanya bisa menjual 3,52 juta ton semen. ”Ini 82 persen dari target kami,” kata Direktur Utama Semen Gresik, Dwi Soetjipto. Total jenderal, selama semester pertama tahun ini permintaan se-men nasional turun tiga persen dibanding -semester I 2005. Lazimnya, permintaan- semen akan meningkat dua kali lipat la-ju pertumbuhan ekonomi.
Selain tingkat konsumsi listrik, penjualan mobil dan semen kerap dianggap sebagai barometer pergerakan ekonomi. Lesunya permintaan kedua komoditas itu seperti menjadi sinyal awal bahwa target pertumbuhan ekonomi 5,8 persen yang ditetapkan pemerintah akan sulit dicapai. Selama lima tahun terakhir, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi menyerap 200 ribu – 250 ribu angkatan kerja. Dengan pertumbuhan angkatan kerja yang mencapai dua juta orang per tahun, perekonomian Indonesia setidak-nya harus tancap gas dengan kecepatan delapan persen. Tanpa kekuatan sebesar itu, angka pengangguran yang kini mencapai 10,5 juta orang akan terus membengkak.
Sejalan dengan lesunya penjualan mo-bil dan semen, permintaan rumah, barang elektronik, perkakas rumah tangga, dan barang tahan lama (durable goods) lainnya juga ikut loyo. Survei Danareksa Research Institute dan Bank Indonesia menunjukkan indeks kepercayaan konsumen (yang mengukur minat belanja) mencapai titik terendah pa-da Oktober 2005, bersamaan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak. ”Setelah harga BBM naik, perekonomian kita memang melambat,” kata Direktur Riset Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Halim Alamsyah.
Kelesuan juga tampak dari hasil survei produksi, tingkat penjualan barang eceran, dan investasi. Menurut Halim, dari ratusan pengusaha yang disurvei, hanya seperlima yang berencana menambah investasi. Itu sebabnya, pertumbuh-an kredit per-bankan jauh dari ha-rapan. Selama Janua-ri hingga Mei 2006, perbankan hanya menya-lurkan Rp 17 triliun kredit baru, atau tumbuh 2,8 per-sen. Padahal, bank sentral me-nargetkan pertumbuhan kredit tahun ini mencapai 18 - 20 persen atau sekitar Rp 160 triliun.
Beberapa eksekutif bank mengaku mengalami kesulitan mencari unit-unit usaha yang layak diberi pinjaman. Kalaupun ada pertumbuhan kredit, itu dilakukan bukan dengan mencari nasabah baru, melainkan dengan ”membajak” de-bitor di bank lain. Saat ini, perbankan bisa saling intip posisi pinjaman seorang debitor di sebuah bank, termasuk plafon dan tingkat suku bunganya, melalui informasi kredit yang disediakan bank sentral. Dari daftar inilah, bagian marketing bank memburu para debitor potensial. ”Biasanya mereka kita iming-imingi tambahan plafon utang,” kata seorang staf marketing di bank nasio-nal, ”Kalau perlu, kita bisa menawari su-ku bunga khusus.”
Bajak-membajak seperti ini tak se-lama-nya berhasil mendongkrak angka- kredit. Tak jarang, komitmen kredit yang telah disetujui perbankan tak kunjung dicairkan oleh debitor. Direktur Bank Mandiri, Zulkifli Zaini, mengaku sejauh ini debitor hanya mencairkan 70 persen dari total kredit modal kerja yang telah disetujui. ”Alasan mereka sama persis,” katanya, ”kondisi ekonomi sedang tidak bagus.”
Selain kenaikan harga BBM Oktober lalu, kelesuan daya beli itu juga dipicu oleh keputusan Bank Indonesia mendongkrak suku bunga SBI hingga 12,75 persen akhir tahun lalu. Kenaikan bu-nga patokan dari bank sentral dengan segera mengerek naik suku bunga kredit konsumsi, salah satu sumber pembiayaan terpenting penjualan barang tahan lama.
Upaya pemerintah meng-injeksi perekonomian melalui anggar-an negara juga kurang berhasil. Hingga Mei 2006, pemerintah hanya mampu mencairkan 30 persen dari total anggar-an belanja negara. Selain prosedur pencair-annya kini lebih ketat, sejumlah pejabat, baik di pusat maupun daerah, mengaku enggan menjadi pimpro (pimpinan proyek) karena takut disidik dengan tuduhan korupsi. Tak mengherankan jika anggaran belanja daerah kini lebih banyak yang ngendon di Bank Pembangunan Daerah (yang kemudian disimpan di SBI) ketimbang digunakan untuk membangun. ”Pemberantasan korupsi kini malah berdampak pada rendahnya pencairan APBN,” kata Jasmine Robinson, ekonom senior ANZ Research.
Persoalannya, jika konsumsi merosot, investasi lesu, dan belanja negara seret, lalu dari mana lagi motor pertumbuhan masih bisa diharapkan? Di antara men-dung gelap itu ternyata masih ada titik cerah: ekspor. Tahun ini kinerja ekspor kita cukup membanggakan. Harga bebe-rapa komoditas andalan seperti alumunium, tembaga, batu bara, karet, dan cokelat terus menanjak naik. Bulan Mei saja, ekspor kita mencapai US$ 8,3 miliar, rekor tertinggi sepanjang sejarah Republik. ”Saya yakin, total ekspor tahun ini akan tembus US$ 100 miliar, rekor baru dalam sejarah kita,” kata Yudhi Sadewa dari Danareksa Research Institute.
Dan jangan lupa, kita hidup di Asia Tenggara. Di wilayah ini, tingkat per-dagangan antarnegara di dalam kawa-san (intra-regional trading) sangat ting-gi. Dengan pertumbuhan di Cina sebagai lokomotif, barangkali kita boleh sedikit ”melupakan” pasar Eropa dan Amerika. Perdagangan antarnegara di Asia Ti-mur dan Tenggara ini pula yang kini mendongkrak volume dan nilai ekspor produk elektronik serta tekstil beberapa bulan terakhir.
Selain ekspor, turunnya patokan suku bunga bank sentral juga memberi tambahan vitamin. Sejak Mei, Bank Indonesia telah dua kali menurunkan suku bu-nga masing-masing sebesar 25 basis poin. Saat ini suku bunga SBI masih berada di posisi 12,25 persen, tapi diperkirakan akan terus menurun hingga 10-11 persen, akhir tahun nanti. ”Kalau inflasi lebih kecil, suku bunga bisa turun lebih cepat,” kata Deputi Gubernur Senior BI, Miranda S. Goeltom.
Tanda-tanda kebangkitan itu sesungguhnya sudah mulai bersemi dalam dua atau tiga bulan terakhir. Survei Danareksa dan Bank Indonesia menunjukkan, sejak Maret lalu, kepercayaan konsumen mulai membaik. ”Ini tanda perekonomian mulai pulih,” kata Yudhi.
Pada semai yang masih baru inilah, para penganggur berharap.
Heri Susanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo