Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja berpendapat peluang usaha menjelang Pemilu sebenarnya tidak terlalu signifikan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Meskipun business opportunity ini ada, peningkatannya sangat kecil terhadap APBN. Misalnya, jasa konsultasi politik cuma 1,8 persen dari APBN, atau untuk atribut dan merchandise Pemilu cuma 1,1 persen,” ujar Shinta dalam acara seminar CORE Economic Outlook 2024, di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Selasa, 12 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Shinta juga menyebutkan beberapa sektor lainnya, seperti jasa pemasanagan spanduk dan baliho sekitar 1 persen, katering dan event planning 2,5 persen, sektor perhotelan dan transporasi 6 persen, serta iklan dan digital marketing sekitar 4 persen.
“Nah kenapa saya mau menyampaikan ini? karena sektor-sektor tersebut tidak signifikan terhadap pembentukan APBN. Pengeluaran aktivitas ekonomi pemilu tidak bisa menjadi tumpuan untuk menciptakan pertumbuhan 5,2 persen pada 2024,” tuturnya.
Sebagai informasi, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen ini sebelumnya telah disampaikan oleh Presiden Jokowi. Berkaitan dengan target ini, Shinta mengatakan pertumbuhan 2024 ke depan masih berbasis domestic dependent economic growth atau bergantung pada domestik.
“Jadi dengan kata lain kita tidak bisa hanya mengandalkan sektor-sektor tambahan ini, tapi harus tetap memperhatikan leading sector, ya g mana masih menjadi sektor yang paling penting,” kata dia.
Terlebih, industri pengolahan, manufaktur, pertanian, pertambangan, perdagangan, dan konstruksi, di mana masing-masing berkontribusi paling maksimal dan menguasai lebih dari 10 persen pada PDB.
Selain itu, Shinta juga menyebut sektor lain dengan prospek menjanjikan, yakni infratsuktur dan energi terbarukan. “Tapi harus perhatikan juga kinerja ekspor dan impor,” ucapnya.
Lebih lanjut, Shinta menuturkan bahwa ketidakpastian iklim usaha atau investasi di Indonesia bergantung pada perbaikan implementasi kebijakan dan minimalisir kebijakan-kebijakan yang diciptakan berdasarkan diskresi dan intervensi politik.