Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
URUSAN kliring tak cuma ada di perbankan. Industri telekomunikasi pun butuh sistem kliring. Mirip dengan di bank, kliring dalam industri "halo-halo" berguna untuk menghitung berapa tagihan dan utang, katakanlah operator A ke operator B.
Mengapa perusahaan telekomunikasi membutuhkan kliring? Sederhananya seperti ini. Si Amir menggunakan sambungan telepon Telkom di rumahnya untuk menghubungi Siti, pacarnya, yang memakai telepon Ratelindo.
Usai berkangen ria, Amir pun menelepon ke telepon genggam kerabatnya yang menggunakan kartu Satelindo. Dalam waktu kurang dari sehari saja, muncul dua transaksi utang-piutang antara tiga operator telekomunikasi dari seorang Amir. Jika pada akhir 2002 saja tercatat ada sekitar 12 juta pelanggan telepon seluler dan 8 juta pelanggan saluran tetap, bisa dibayangkan betapa padatnya lalu lintas telekomunikasi antaroperator.
Untuk membereskan utang-piutang dari panggilan interkoneksi (lintas operator), para operator membandingkan catatan data panggilan (call data record/CDR) yang mereka miliki satu sama lain. Namun frekuensi panggilan interkoneksi yang kian tinggi menyebabkan data panggilan antaroperator semakin sulit dicocokkan.
Nah, untuk memperlancar urusan tagih-menagih itulah, para operator telekomunikasi bergotong-royong merintis Sistem Otomatisasi Kliring Interkoneksi (SOKI) sekitar dua tahun lalu. Sistem tersebut ditempatkan di kantor Telkom dan mulai berjalan setahun lalu. Karena dibangun secara bersama, sistem itu merupakan jalan tengah yang pas di mata operator telekomunikasi, termasuk yang kelas teri sekalipun. "Walau masih dikembangkan, sistem itu sangat membantu," ujar Rahmat Junaedi dari Ratelindo.
Namun keberadaan sistem ini terancam tergusur. Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia akhir tahun lalu membuka tender bagi penyelenggaraan Sistem Kliring Trafik Telekomunikasi (SKTT).
Badan yang diberi kedudukan sebagai wasit sejak industri telekomunikasi diliberalisasi tersebut memerlukan alat, dalam hal ini adalah SKTT, untuk merumuskan kebijakan interkoneksi yang lebih pas. "SOKI itu adalah tools untuk para operator," ucap Kepala Humas Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, I Ketut Prihadi, berkilah.
Alasan Ketut dinilai oleh sebagian besar pelaku telekomunikasi sebagai alasan yang mengada-ada. "Kalau sekadar membutuhkan data interkoneksi untuk merumuskan kebijakan, SOKI sanggup menyediakan setiap bulannya," ujar Sarwoto Atmosoetarno, Ketua Dewan Pengarah SOKI, yang sehari-hari menjabat Asisten Direktur Urusan Interkoneksi PT Telkom.
Penyelenggaraan tender SKTT oleh Badan Regulasi pun dinilai sebagai upaya kebablasan dalam mengurus telekomunikasi. "Regulator telekomunikasi bukan banknya bank, seperti Bank Indonesia," ujar Ketua Masyarakat Telekomunikasi (Mastel), Mas Wigrantoro R.S.
Sebagian besar operator sependapat dengan Wigrantoro. Sarwoto dan Rahmat, misalnya, sepakat bahwa kliring merupakan urusan operasional perusahaan penyelenggara. Apalagi catatan data panggilan lazim diperlakukan sebagai rahasia dapur operator.
Toh, saat bertemu dengan jajaran pejabat Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, pihak operator tak tegas-tegas menolak SKTT. Mereka hanya menjereng sejumlah syarat. Pertama-tama mereka meminta agar siapa pun yang menang tender, sistem itu tidak dijadikan ajang mencari rente. Selain itu, penyelenggara sistem tersebut juga diminta menjaga kerahasiaan data operator dan menggunakan SOKI sebagai acuan.
Gaung penolakan lebih keras keluar dari gedung parlemen di Senayan. Rosyid Hidayat, anggota Komisi Infrastruktur IV DPR, menyatakan akan mensomasi Dirjen Postel gara-gara tender tersebut. Rosyid merasa dilecehkan karena Dirjen Postel tak hirau dengan keinginan DPR untuk merembukkan dulu tender SKTT. "SKTT itu tidak ada cantolan hukumnya," ujar Rosyid.
Tapi sikap keras Rosyid ditanggapi lain oleh sumber TEMPO yang dekat dengan pejabat tinggi di Departemen Perhubungan. Ia mengaitkan sikap keras DPR dengan mutungnya para operator yang dilarang turut serta dalam tender SKTT, secara langsung ataupun melalui anak perusahaannya.
Selain masalah payung hukum, beberapa persyaratan tender memang membersitkan kecurigaan. Seorang direktur perusahaan yang tersisih dari tender tersebut membisikkan: lelang proyek SKTT telah dirancang untuk menguntungkan pihak tertentu.
Dia mengajukan sejumlah argumen. Di antaranya adalah waktu pengumuman tender yang sangat mepet dengan tanggal terakhir pengambilan dokumen seleksi, hingga keharusan bermitra dengan perusahaan yang berpengalaman. "Mana mungkin kami mencari mitra dalam waktu satu bulan?" ujarnya.
Pemerintah tampaknya sudah mendengar berbagai gerundelan tersebut. Ini mungkin yang menyebabkan mengapa hingga Jumat petang pekan lalu—menurut jadwal dalam dokumen tender—belum ada kejelasan siapa peserta tender yang tidak lolos. "Kami belum mendapat keterangan," kata Ketut.
Bagaimanapun, pemerintah harus transparan. Sebab, pada akhirnya yang menanggung biaya penyelenggaraan sistem SKTT adalah masyarakat, bukan operator ataupun Departemen Hubungan.
THW, Ucok Ritonga dan Yura Syahrul (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo