Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada dua hal yang paling ditakutkan pengelola bank. Pertama, jika uang yang dipinjamkannya ludes tak berbekas, dan kedua, bila tiba-tiba para penabung datang menarik simpanannya.
Simpanan pihak ketiga bagi bank tak ubahnya utang. Mereka harus memberikan bunga karena menggunakan uang tersebut untuk menyalurkan kredit. Mereka juga harus siap mengembalikannya jika sewaktu-waktu si empunya duit memintanya.
"Teorinya, bank harus siap dengan uang kontan. Maka tiap bank diwajibkan menyisihkan paling tidak lima persen dari jumlah dana pihak ketiga untuk dititipkan di Bank Indonesia," kata Direktur Bank Internasional Indonesia Tbk. Sukatmo Padmo Sukarso.
Tapi apa yang terjadi jika dalam waktu bersamaan semua deposan minta duitnya ditarik?
Para bankir di Indonesia, seperti Sukatmo, pasti tak akan pernah lupa dengan antrean nasabah yang ingin mengambil uangnya di awal krisis hampir tujuh tahun lalu. Nyaris tak ada bank yang memiliki cukup dana untuk menutup semua permintaan pencairan dana.
Dalam kondisi itulah bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hadir sebagai juru selamat dengan guyuran uang, seperti tanpa batas. Uang nasabah pun aman karena tanggung jawab bank diambil alih pemerintah. Beres? Sama sekali tidak.
Sebab, bantuan itu membuat kantong pemerintah amburadul. Belum lagi aksi tipu-tipu para pemilik bank bersama segelintir oknum pejabat bank sentral telah membuat duit yang keluar makin banyak dari seharusnya dan tak semuanya digunakan semestinya.
Ujungnya, kita sama-sama tahu, seluruh rakyat harus menanggung beban ratusan triliun yang terkucur melalui BLBI. Hal-hal itulah yang membuat pemerintah dan DPR memilih mencabut fungsi "juru selamat" tersebut dari bank sentral dan fungsi itu untuk selanjutnya dijalankan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang harus terbentuk lima tahun ke depan. "Waktu itu memang kacau dan tak terkontrol," tutur Muliaman D. Hadad, Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia.
Belakangan, melalui amendemen UU Bank Indonesia, fungsi lender of the last resort ternyata dikembalikan lagi ke bank sentral. Apa yang membuat pemerintah kini yakin skandal BLBI tak akan terulang?
Direktur Asuransi Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, Firdaus Djaelani, menjelaskan bahwa situasi sekarang sudah jauh berubah. Pemerintah dan bank sentral banyak belajar dari kepahitan krisis. Karena itu, kata pejabat yang mengepalai tim penyusunan Rancangan Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ini, semua prosedur pengucuran bantuan akan diatur lebih ketat.
Muliaman menambahkan, independensi bank sentral saat ini memungkinkan mereka menjalankan sistem lebih ketat. Tak seperti dulu, yang sarat intervensi. "Dulu, kalau dibilang sudah diputuskan kabinet, tak ada yang berani bilang tidak."
Sekarang, ujarnya, tidak akan ada serupiah pun uang dari bank sentral yang bisa keluar jika tidak ada jaminan yang bernilai tinggi semacam sertifikat BI atau obligasi pemerintah.
Agar tak terjadi saling tuding dan lepas tanggung jawab seperti sebelumnya, kali ini rancangan undang-undang itu akan mempertegas pembagian tugas antara BI, Departemen Keuangan, OJK, dan LPS jika ada bank yang kesulitan likuiditas.
Selama undang-undang itu belum kelar disusun—ditargetkan beres akhir tahun ini—untuk sementara pemerintah dan bank sentral akan membuat kesepakatan tersendiri soal aturan mainnya dalam sebuah nota kesepahaman sebelum akhir Februari ini. "Soalnya, krisis bisa datang kapan saja," kata Firdaus.
Nah, apa yang terjadi jika krisis datang besok pagi? Sebab, hingga kini, belum ada ketentuan yang mengatur dengan detail prosedur penanganannya. Yang tersedia baru ketentuan dalam Pasal 11 ayat 4 Amendemen Undang-Undang No. 23/1999 tentang BI, yang berbunyi, "Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, BI dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban pemerintah."
Belum adanya kejelasan soal ini memang sempat dipersoalkan. Tak kurang dari Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung dalam sebuah kesempatan pernah melontarkan kritik bahwa mekanisme penanganan bank bermasalah yang belum jelas ini berpotensi memicu perselisihan antara pemerintah dan bank sentral, seperti dalam penyaluran BLBI di masa lalu.
Tapi, menurut Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Darmin Nasution, detail teknis penyaluran kredit darurat memang justru sengaja tidak diatur tegas. Tujuannya adalah menghindari moral hazard. Maksudnya, bank akan lebih berani mengambil risiko yang lebih besar jika mereka tahu—berdasarkan undang-undang yang berlaku—bank sentral harus siap memberikan kredit darurat atas tanggungan pemerintah.
Wakil Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Paskah Suzeta, juga yakin, dengan pengambilan keputusan bersama antara bank sentral dan pemerintah, skandal BLBI bisa dicegah pada masa mendatang. "Tidak boleh lagi bantuan diberikan hanya karena ada disposisi dari presiden," ujar Paskah, yang pekan ini akan mengundang tim dari Federal Deposit Insurance Amerika Serikat untuk membicarakan soal itu di komisinya.
Dalam RUU Lembaga Penjamin Simpanan memang disebutkan proses penanganan bank bermasalah dengan cukup rinci (lihat Agar Kantong Tak Bobol). Lagi pula, kata Sukatmo, dengan pengawasan seketat yang ada sekarang, peluang manipulasi oleh para pemilik bank sudah semakin kecil.
Setelah krisis, Bank Indonesia memang menjalankan pengawasan dengan menempatkan personelnya setidaknya di 13 bank yang dianggap bisa berdampak sistemik bila mengalami masalah krisis likuiditas atau sampai bangkrut. "Tak ada lagi borok yang bisa disembunyikan," ungkap Direktur Bank Negara Indonesia Tbk. Sigit Pramono.
Pengawasan seperti itu juga akan memudahkan otoritas keuangan mendeteksi lebih awal bank yang terancam ambruk. Dan sepertinya semua pihak setuju pada satu hal: duit rakyat tak boleh lagi dikucurkan terlampau gampang. Pertolongan pertama dengan bantuan likuiditas hanya boleh diberikan kepada bank yang memang masih mungkin diselamatkan. Kurang dari itu, "Lebih baik ditutup saja," kata mereka kompak.
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo