Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jebol Kantong Gara-gara Biodiesel

Pemerintah memutuskan menyuntik Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit sebesar Rp 2,78 triliun karena kebutuhan biaya subsidi dalam program B30 meningkat. Dianggap hanya menguntungkan raksasa sawit pemasok biodiesel.

13 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pabrik minyak sawit di Teluk Bayur, Padang, Sumatera Barat, 15 Januari lalu. ANTARA/Iggoy el Fitra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Defisit akibat subsidi program B30 yang melonjak.

  • Opsi lain yang menghadapi jalan buntu.

  • Suntikan APBN menuai protes.

MENDADAK Eddy Abdurrahman super-rajin mengikuti perkembangan harga minyak mentah dan minyak sawit dunia, juga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Mantan Direktur Jenderal Bea dan Cukai ini harap-harap cemas memelototi fluktuasi angka ketiga data tersebut sejak didapuk sebagai Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada 2 Maret lalu. “Saya lihat day-to-day,” kata Eddy, Kamis, 11 Juni lalu.

Eddy mulai bernapas lega ketika pada pekan kedua Juni harga minyak mentah mulai menanjak. Itu berarti harga solar akan membuntuti. Di sisi lain, harga minyak sawit (crude palm oil/CPO) turun tipis. Selisih harga kedua komoditas yang sejak awal tahun melebar itu pun mulai mengecil.

Harga solar dan CPO menjadi sangat penting bagi BPDPKS. Sejak defisit neraca perdagangan meningkat tajam pada 2018 akibat lesunya ekonomi dunia, pemerintah menggeber program mandatori penggunaan solar bercampur biodiesel. Harapannya, impor minyak bisa berkurang. Selisih kebutuhannya bisa ditutup dengan mencampurkan biodiesel atau fatty acid methyl esters (FAME) yang dihasilkan dari pengolahan lanjutan CPO.

Pemerintah juga makin agresif meningkatkan kadar campurannya, dari biosolar B20 menjadi B30, sejak 1 Januari 2020. Artinya, dalam setiap biodiesel yang dipasarkan di Indonesia, terkandung 70 persen solar dan 30 persen FAME. Indonesia, negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia, punya bahan baku melimpah untuk mendapatkan campuran minyak nabati ini.

Petugas menunjukkan perbedaan bahan bakar campuran biodiesel mulai dari B0, B20, B30, dan B100, saat peluncuran B30 di kementerian ESDM, Jakarta, Juni 2019./Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Masalahnya, harga solar sedang anjlok seiring dengan merosotnya harga minyak mentah dunia sejak awal tahun. Permintaan pasar makin ambles sejak pandemi Covid-19 memaksa aktivitas ekonomi nyaris terhenti. Pasokan pun berlimpah hingga tangki-tangki penyimpanan produsen minyak tak mampu lagi menampung produksi baru. Inilah yang memicu harga minyak West Texas Intermediate untuk kontrak Mei sempat dilego dengan harga minus US$ 37,63 per barel, terendah sepanjang sejarah, pada April lalu.

Harga minyak sawit sebenarnya juga terkoreksi. Tapi penurunannya tidak setajam solar. Di bursa Rotterdam, misalnya, harga CPO asal Indonesia dan Malaysia untuk penyerahan Juni di pasar Uni Eropa terkoreksi US$ 5 menjadi US$ 585 per metrik ton.

Kondisi tersebut membuat selisih harga antara minyak solar dan minyak sawit melebar. Pada Mei lalu, harga indeks pasar (HIP) solar hanya Rp 3.083,14 per liter. Sedangkan HIP biodiesel Rp 8.494 per liter. Selisihnya, belum termasuk ongkos angkut yang diatur tersendiri, mencapai Rp 5.411 per liter. Jarak harga ini melonjak dibanding pada Januari, ketika HIP biodiesel hanya lebih mahal sekitar Rp 2.000 per liter.

Perbedaan harga yang makin tajam itu yang membuat BPDPKS empot-empotan. Selama ini, jika HIP biodiesel di atas HIP solar, BPDPKS harus membayar selisihnya sebagai subsidi—disebut insentif—kepada industri penghasil biodiesel yang akan memasok kebutuhan perusahaan pencampur, di antaranya PT Pertamina (Persero). Skema ini dibikin pemerintah agar harga eceran biosolar di stasiun pengisian bahan bakar minyak umum Pertamina tetap murah, tak berbeda jauh dengan solar biasa.

Naiknya kadar minyak nabati dalam program B30 tahun otomatis mengerek kebutuhan pasokan FAME, dari 6,6 juta kiloliter menjadi 9,59 juta kiloliter. Jika HIP biodiesel tetap jauh lebih tinggi, makin besar beban BPDPKS. Duit BPDPKS diperkirakan tak akan mampu menutup kebutuhan biaya insentif biodiesel.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu membenarkan informasi bahwa kondisi sekarang, dengan gap yang lebar antara HIP bahan bakar nabati dan HIP solar, membuat kebutuhan subsidi meningkat. “Saat ini posisi keuangannya tidak mungkin untuk menutup insentif hingga akhir tahun. Cukup besar gap-nya,” ucap Febrio pada 13 Mei lalu.

Pada 3 Juni lalu, pemerintah memutuskan akan menyuntikkan dana senilai Rp 2,78 triliun kepada BPDPKS. Suntikan dana ini akan masuk revisi postur serta rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020 yang sedang disiapkan pemerintah untuk pemulihan ekonomi nasional di masa pandemi Covid-19. Ini juga untuk pertama kalinya APBN harus menggelontorkan dana ke BPDPKS, yang selama ini mengandalkan penerimaan dari pungutan ekspor CPO senilai rata-rata Rp 14 triliun per tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

•••

PEMBAHASAN mengenai potensi defisit BPDPKS karena meningkatnya beban untuk menanggung program B30 berlangsung intensif selama sebulan lebih, sejak akhir April lalu. Kepada Komite Pengarah, yang diketuai Menteri Koordinator Perekonomian dan beranggotakan sejumlah menteri terkait, BPDPKS mengusulkan beberapa opsi solusi.   

Eddy Abdurrahman mengungkapkan, ia sempat mengusulkan agar ditetapkan capping alias membatasi besaran subsidi yang ditanggung BPDP. Misalnya, kata dia, maksimal Rp 3.500 per liter. Artinya, harus ada pihak lain yang memikul bila selisih HIP biodiesel dan HIP solar lebih dari angka tersebut. “Siapa? Pengusaha FAME atau Pertamina? Ini yang ribut,” ujarnya.

Opsi ini juga sempat disampaikan kepada produsen biodiesel dan Pertamina. “Begitu disampaikan bahwa yang menanggung adalah perusahaan FAME, karena Pertamina enggak sanggup, mereka langsung angkat tangan,” tutur Eddy. Menurut dia, pengusaha biodiesel menyatakan lebih baik menghentikan produksi karena skema tersebut tidak masuk hitungan keekonomian bisnis mereka.

Rencana itu menghadapi jalan buntu. Saat itu belum ada usul opsi menggunakan dana pemerintah. Dalam pembahasan, kalkulasi didasarkan pada asumsi bahwa seluruh subsidi ditanggung BPDPKS, seperti yang selama ini berjalan. “Makanya saya ngitung-ngitung terus karena acuannya berubah-ubah,” Eddy memaparkan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga memantau terus pergerakan harga Mean of Platts Singapore (MOPS) yang menjadi dasar penghitungan harga solar. Pada Juni 2020, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi menetapkan MOPS sebesar US$ 29 per barel. Berdasarkan acuan itu, HIP solar kembali ambles menjadi Rp 2.801 per liter.

Beruntung, pada periode yang sama, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi menetapkan HIP biodiesel juga turun menjadi sebesar Rp 6.941 per liter. Penurunan ini terjadi setelah Kementerian Energi memangkas ongkos produksi minyak sawit menjadi FAME sebesar 20 persen. Biaya konversi di pabrik biodiesel berkurang dari US$ 100 menjadi US$ 80 per metrik ton. Kebijakan itu diambil agar mandat pencampuran B30 terjangkau oleh skema subsidi.

Persoalan belum selesai. Kementerian Keuangan mengkalkulasi, dengan rata-rata selisih harga biodiesel dan solar sebesar Rp 3.732 per liter saja, BPDPKS tetap akan mengalami defisit Rp 3,54 triliun. Angka ini bahkan berpotensi membengkak bila penurunan harga solar berlanjut, dan/atau sebaliknya jika harga CPO meningkat. Apalagi BPDPKS juga mesti menyalurkan sebagian dananya untuk beberapa program, seperti peremajaan sawit rakyat, riset, dan promosi.

Ketika tarik-ulur tentang siapa pihak yang akan menanggung selisih biaya pengadaan B30 tak ada pangkalnya, pemerintah akhirnya turun tangan. Rapat koordinasi di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian pada 29 Mei lalu memutuskan pemerintah menutup sebagian defisit BPDPKS. Rencananya, APBN menambal Rp 2,78 triliun. “Itu solusi terakhir, berdasarkan keputusan Komite Pengarah,” ucap Eddy.

Adapun sisa defisit, sekitar Rp 760 miliar, akan dipikul pengusaha melalui kenaikan tarif pungutan ekspor CPO. Peningkatan tarif ditetapkan sebesar US$ 5 per ton sehingga menjadi US$ 55 per ton.

Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga sedikit menjadi penyelamat. Semua penghitungan awal soal potensi defisit dilakukan saat kurs menembus Rp 16 ribu per dolar. Kondisi teranyar, kurs membaik di kisaran Rp 14 ribu per dolar.

Selain itu, pemerintah menurunkan target volume penggunaan FAME dalam program biosolar sebanyak 18 persen, dari semula 9,59 juta kiloliter menjadi 7,83 juta kiloliter. Pandemi Covid-19 diprediksi menekan konsumsi bahan bakar, baik oleh industri maupun masyarakat.

Dengan berbagai skenario tersebut, dari suntikan APBN, pemangkasan biaya konversi atau produksi biodiesel dari CPO, kenaikan pungutan ekspor, hingga pengurangan kuota FAME, Eddy optimistis program B30 akan aman berjalan hingga akhir 2020. Ia sembari berharap kondisi bisa segera pulih dan kembali mengerek harga minyak dunia. “Kementerian Energi yakin harga minyak akan kembali. Apalagi Amerika Serikat sudah teriak-teriak,” ujarnya.

Ke depan, pemerintah mungkin juga memutuskan program B30 berlanjut sepanjang 2021 karena situasi perekonomian yang tak menentu. Semula pemerintah merancang program B40—biosolar campuran 40 persen FAME—sudah bisa diterapkan pada Juli 2021. “Tapi terkait dengan penelitian untuk menuju B40 tetap jalan,” kata Eddy.

 

•••

KEPUTUSAN pemerintah menyuntik BPDPKS dari duit APBN langsung memantik kritik. Persatuan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI) meminta pemerintah membatalkan rencana yang mereka anggap tak lebih dari tambahan subsidi kepada industri biodiesel itu. Dalam keterangan kepada media secara online, Jumat, 5 Juni lalu, mereka menilai kebijakan ini hanya akan menguntungkan korporasi sawit besar milik segelintir taipan yang kekayaannya setara dengan 60 persen APBN.

Ketua Umum Serikat Pekerja Kelapa Sawit Mansuetus Darto menilai dana pemerintah semestinya dialihkan untuk subsidi langsung kepada petani sawit yang tengah terpukul oleh kenaikan harga input pertanian, seperti pupuk. Selain itu, kebijakan pemerintah menaikkan pungutan ekspor CPO telah menyebabkan harga tandan buah segar (TBS) tertekan.

Dia mengingatkan, selama ini manfaat dana yang dikelola BPDPKS lebih dirasakan oleh industri biodiesel. Hanya sebagian kecil dari duit tersebut yang mengalir ke petani dalam program peremajaan sawit rakyat.

Jaringan Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia meminta pemerintah melibatkan petani rakyat dalam tata kelola program biosolar dengan memasukkan petani sebagai rantai pasok bahan baku biodiesel. Pemerintah semestinya memfasilitasi pembangunan industri hilir berupa pabrik biodiesel bagi petani. Selama ini, bahan baku untuk program B30 kebanyakan dipasok dari kebun milik perusahaan dan korporasi yang terafiliasi.

Senada, Ketua Dewan Pembina POPSI Gamal Nasir mendesak agar program B30 hingga B100 yang digadang-gadang pemerintah diikuti kepastian bahwa industri biodiesel menyerap TBS dari petani sawit rakyat. “Kementerian Energi perlu membuat regulasinya,” ucap Gamal, yang juga mantan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian.

Petani membongkar muatan tandan buah segar sawit di Desa Raja Bejamu, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. ANTARA/Aswaddy Hamid


Eddy meyakinkan bahwa suntikan dana APBN akan diprioritaskan untuk pengembangan sektor hulu yang mencakup peremajaan kebun sawit, sarana dan prasarana, serta pembinaan sumber daya manusia. Dukungan penyediaan sarana dan prasarana bisa berupa benih, pupuk, pestisida, alat pascapanen, hingga pembentukan infrastruktur pasar.

Adapun anggaran untuk subsidi program B30, kata dia, akan diutamakan berasal dari pungutan ekspor. BPDPKS juga akan menggunakan dana internal yang berasal dari sisa saldo anggaran tahun sebelumnya sebesar Rp 12 triliun.

Menurut Eddy, keputusan pemerintah memang tak bisa memuaskan semua pihak. Pengusaha biodiesel pun, dia menambahkan, tak sepenuhnya menerima. “Ini kebijakan pemerintah,” ujarnya.

Eddy meyakinkan petani mendapat manfaat dari kenaikan harga sawit. Sebab, program biodiesel membuat minyak sawit yang pasokannya berlebih bisa terserap. Dengan begitu, harga menjadi stabil. “Bayangkan kalau program biodiesel enggak ada, berapa banyak produk tak terserap? Pasti harga akan anjlok.”

Namun hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia bertajuk “Analisis Risiko Kebijakan Biodiesel B30” yang dirilis pada Februari lalu menunjukkan fakta lain di lapangan. Rantai pasok sawit yang kompleks mengakibatkan transmisi harga di level petani terhambat. Meski pemerintah menetapkan harga acuan pembelian TBS di setiap daerah, nyatanya masih banyak petani yang menerima harga jauh di bawah standar tersebut. Tak hanya berpotensi membebani APBN, kajian itu juga mencatat adanya bahaya lain: “Meningkatnya kebutuhan bahan bakar nabati menimbulkan risiko terhadap degradasi lingkungan.”

RETNO SULISTYOWATI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus