Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Defisit akibat subsidi program B30 yang melonjak.
Opsi lain yang menghadapi jalan buntu.
Suntikan APBN menuai protes.
MENDADAK Eddy Abdurrahman super-rajin mengikuti perkembangan harga minyak mentah dan minyak sawit dunia, juga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Mantan Direktur Jenderal Bea dan Cukai ini harap-harap cemas memelototi fluktuasi angka ketiga data tersebut sejak didapuk sebagai Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada 2 Maret lalu. “Saya lihat day-to-day,” kata Eddy, Kamis, 11 Juni lalu.
Eddy mulai bernapas lega ketika pada pekan kedua Juni harga minyak mentah mulai menanjak. Itu berarti harga solar akan membuntuti. Di sisi lain, harga minyak sawit (crude palm oil/CPO) turun tipis. Selisih harga kedua komoditas yang sejak awal tahun melebar itu pun mulai mengecil.
Harga solar dan CPO menjadi sangat penting bagi BPDPKS. Sejak defisit neraca perdagangan meningkat tajam pada 2018 akibat lesunya ekonomi dunia, pemerintah menggeber program mandatori penggunaan solar bercampur biodiesel. Harapannya, impor minyak bisa berkurang. Selisih kebutuhannya bisa ditutup dengan mencampurkan biodiesel atau fatty acid methyl esters (FAME) yang dihasilkan dari pengolahan lanjutan CPO.
Pemerintah juga makin agresif meningkatkan kadar campurannya, dari biosolar B20 menjadi B30, sejak 1 Januari 2020. Artinya, dalam setiap biodiesel yang dipasarkan di Indonesia, terkandung 70 persen solar dan 30 persen FAME. Indonesia, negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia, punya bahan baku melimpah untuk mendapatkan campuran minyak nabati ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo