Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bau anyir menyeruak pada penerbitan penjaminan Askrindo setahun lalu.
Permohonan kontra garansi bank sempat ditolak karena berisiko tinggi.
Persetujuan yang penuh keganjilan kini berbuntut panjang.
DIAGENDAKAN sejak akhir tahun lalu, Erwan Djoko Hermawan dan Vincentius Wilianto akhirnya bertemu juga dengan Mohamed Daupik Alkaff. Kamis, 14 April lalu, Daupik menemui dua direktur PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) itu di Graha Askrindo, Kemayoran, Jakarta Pusat, untuk menjelaskan perkembangan gugatan arbitrase yang diajukan perusahaannya, PT Bara Daya Energi. “Menurut mereka, dalam waktu dua bulan sudah ada putusan,” kata Erwan Djoko Hermawan, Direktur Operasional Askrindo, ketika ditemui Tempo, Jumat, 15 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gugatan arbitrase yang didaftarkan PT Bara Daya Energi di Pengadilan Tinggi Gujarat, India, itu penting bagi Askrindo. Dalam gugatan itu Bara Daya meminta pengadilan menangguhkan pencairan garansi bank Gujarat State Electricity Corporation Limited (GSECL), pengembang listrik di Gujarat, India.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersama Vincentius, Direktur Teknik Askrindo, Erwan menagih komitmen pembayaran utang klaim Bara Daya Energi kepada Askrindo. Bara Daya Energi, perusahaan pengangkutan dan perdagangan batu bara, menjadi buron Divisi Subrogasi Askrindo sejak Oktober tahun lalu. Mereka dilaporkan wanprestasi oleh GSECL atas kontrak pasokan batu bara ke Gujarat yang sudah disepakati dalam kontrak jual-beli.
Direktur Teknik PT Askrindo Persero Vincentius Wilianto. Askrindo
Gara-gara kegagalan pengiriman batu bara itu, GSECL mengklaim pencairan garansi bank senilai US$ 13,16 juta atau sekitar Rp 190 miliar kepada PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Rupanya, Askrindo yang harus menanggung klaim tersebut lantaran bertindak sebagai penjamin garansi bank, lewat penerbitan kontra garansi bank, yang diperlukan Bara Daya untuk melakukan transaksi penjualan dan pengiriman batu bara kepada GSECL. “Kami sempat menyurati BNI untuk penundaan pembayaran klaim,” ujar Erwan. “Tapi akhirnya dibayar juga.”
Setengah tahun berlalu, kisruh seputar kontra garansi bank yang hanya menghasilkan pendapatan premi sebesar Rp 4,7 miliar itu kian menebar bau anyir di tubuh Askrindo. Sejumlah agunan yang dijadikan basis penjaminan garansi bank kepada Bara Daya rupanya sulit dieksekusi oleh Askrindo. Penerbitan jaminan ditengarai bermasalah sejak awal lantaran tak disertai survei lapangan terhadap pasokan batu bara PT Bara Daya Energi.
Jika Bara Daya kalah di pengadilan arbitrase, Askrindo berpotensi merugi Rp 10 miliar. Kerugian anak perusahaan Indonesia Financial Group—holding badan usaha milik negara asuransi—ini bisa bertambah bila Bara Daya ingkar membayar utang dan klaim reasuransi yang menanggung sebagian besar penjaminan transaksi ini bermasalah.
•••
KISRUH klaim kontra garansi bank ini bermula ketika PT Bara Daya Energi mengajukan permohonan penerbitan jaminan pelaksanaan ekspor batu bara kepada Askrindo pada 27 April 2021. Diajukan lewat Askrindo Kantor Cabang Jakarta Barat, permohonan ini belakangan juga dilengkapi surat pernyataan minat dari Gujarat State Electricity Corporation Limited tertanggal 29 April 2021.
GSECL ingin membeli batu bara dari Bara Daya Energi sebesar 1,2 juta ton senilai total US$ 131,6 juta. Batu bara tersebut digunakan sebagai bahan bakar Sikka Thermal Power Station, pembangkit listrik tenaga uap milik GSECL di Jamnagar, kota industri utama di Gujarat.
Sebagai bukti kesanggupan dan keseriusan memasok kebutuhan batu bara tersebut, Bara Daya Energi diminta GSECL membuat garansi bank. Bara Daya tidak mencari garansi bank, tapi langsung menyasar penjaminan berupa kontra garansi bank dari Askrindo. Adapun BNI didekati belakangan setelah Bara Daya Energi mendapat kepastian penjaminan dari Askrindo.
Polis dari Askrindo kemudian terbit untuk penjaminan periode 7 Juni 2021-29 April 2022. Nilainya 10 persen dari total proyek, yakni sebesar US$ 13,1 juta atau sekitar Rp 190 miliar. Belum sempat Bara Daya mengirimkan sebongkah pun batu bara ke India pada periode itu, GSECL sudah kadung mengklaim kontra garansi bank tersebut.
Klaim itu mulanya diajukan oleh BNI, sebagai penerbit garansi bank, kepada Askrindo pada 11 Oktober 2021. Klaim muncul karena GSECL menilai Bara Daya Energi telah mengingkari komitmen pengiriman batu bara sesuai dengan jadwal pesanan pembelian tertanggal 30 Juni 2021 dan 6 Juli 2021.
Kapal tongkang pengangkut batubara melintas di samping kapal yang sedang melakukan aktivitas bongkar muat di dermaga KCN Marunda, Jakarta, Januari 2022. Tempo/Tony Hartawan
Mendadak sontak klaim itu membikin repot Askrindo. Sejumlah rapat digelar bersama manajemen Bara Daya untuk mencari tahu akar masalah pengajuan klaim tersebut. Bara Daya berdalih pengiriman terhambat pengetatan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat dan bencana banjir pada Agustus-September 2021 di Samarinda.
Selain itu, Bara Daya Energi dan GSECL rupanya tengah bersengketa tentang harga. GSECL ingin tetap membeli di harga kontrak awal, US$ 70 per ton. Sedangkan Bara Daya hendak menjual sesuai dengan harga internasional terbaru, yang saat itu telah melompat sampai US$ 200 per ton.
Pada 14 Oktober 2021, Askrindo sebetulnya meminta BNI menunda pembayaran klaim GSECL. Askrindo berharap pelunasan klaim menunggu hasil gugatan Bara Daya Energi yang diajukan pada 12 Oktober 2021 kepada pengadilan arbitrase. Namun BNI menolak karena klaim tersebut tanpa syarat. BNI juga mengabarkan akan mendebit rekening Askrindo di BNI.
Pada 26 dan 29 Oktober 2021, BNI secara berturut-turut mendebit rekening Askrindo sebesar Rp 100 miliar dan Rp 50 miliar untuk kemudian ditransfer ke rekening GSECL. Sisa pembayaran klaim akan ditanggung dari cash collateral Bara Daya Energi.
Dihubungi pada Rabu, 13 April lalu, Sekretaris Perusahaan BNI Muchtarom menyatakan perlu memeriksa dulu informasi tentang pendebitan untuk pembayaran klaim garansi bank tersebut. “Saya harus cek dulu,” tuturnya lewat layanan pesan instan. Dihubungi kembali pada Kamis, 14 April lalu, Muchtarom tidak merespons lagi.
•••
PERSOALAN penjaminan garansi bank ini tak berhenti pada pembayaran klaim kepada Gujarat State Electricity Corporation Limited. Rupanya, persetujuan kontra garansi bank yang diajukan Bara Daya Energi pada April 2021 sedari awal sudah alot.
Melihat nilai jaminan yang besar, mencapai Rp 190 miliar, Biro Manajemen Risiko, Divisi Kepatuhan Hukum, dan Divisi Underwriting Surety yang tergabung dalam Komite Akseptasi Askrindo tak setuju jika kontra garansi bank hanya berbekal letter of intent. Bara Daya diminta memenuhi sejumlah persyaratan, seperti perjanjian jual-beli dengan GSECL yang diteken kedua belah pihak. Selain itu, Bara Daya harus melampirkan perjanjian pasokan batu bara kontraktor tambang. Bara Daya Energi belakangan mengajukan dua nama penyuplai batu bara mereka, yakni PT Berau Bara Abadi dan PT Multi Jaya Energi.
Tim manajemen risiko dan surety Askrindo menambahkan persyaratan lain. Bara Daya Energi harus menyerahkan agunan sebesar 70 persen—terbagi dalam 50 persen aset tetap dan 20 persen uang tunai (cash collateral)—dari nilai penjaminan garansi bank yang mencapai Rp 190 miliar. “Sebetulnya perjanjian kerja sama dengan BNI itu cash collateral buat kontra garansi bank cukup 10 persen,” kata Erwan Djoko Hermawan, Direktur Operasional Askrindo. “Tapi Komite Akseptasi minta 20 persen.”
Direktur Operasional PT Askrindo Persero Erwan Djoko Hermawan. Askrindo
Komite Akseptasi Askrindo juga mengajukan pagar pamungkas: polis penjaminan wajib ditopang penuh oleh reasuransi. Masalahnya, plafon treaty untuk produk kontra garansi bank Askrindo pada 2021 cuma Rp 150 miliar sehingga diperlukan perlindungan reasuransi fakultatif sebesar Rp 47 miliar.
Dari plafon itu akhirnya disepakati yang diambil dari treaty hanya Rp 84 miliar. Askrindo kemudian menanggung sendiri—tanpa reasuransi sebesar Rp 10 miliar. Sisanya ditanggung oleh reasuransi fakultatif dari tiga perusahaan. Anak usaha Askrindo, PT Reasuransi Nasional Indonesia, kebagian Rp 10 miliar.
Dari proses negosiasi persetujuan kontra garansi bank dan pemenuhan syarat-syarat itulah tercium sederet keganjilan. Aset tetap berupa rumah di Kelapa Gading, Jakarta, yang menjadi jaminan tambahan Bara Daya Energi, rupanya baru diikat setelah klaim dari GSECL muncul. Sedangkan kantor Bara Daya di Samarinda, yang juga diajukan sebagai agunan tambahan, belum bisa diikat hingga kini.
Erwan membantah adanya masalah dalam pengikatan agunan tersebut. “Kami melihatnya ke notaris saja. Notaris sudah selesai pertanggungannya,” ujar Erwan. “Kalau notarisnya lancar, ya, lancar.”
Namun pemeriksaan internal menemukan masalah yang lebih serius. Kontrak pasokan batu bara yang hendak dijual Bara Daya Energi kepada GSECL ditengarai fiktif. Untuk memenuhi persyaratan yang diajukan Komite Akseptasi Askrindo, Bara Daya hanya mengajukan surat dukungan pasokan batu bara dari PT Berau Bara Abadi dan PT Multi Jaya Energi tertanggal 17 Mei 2021. Ada juga kontrak suplai dari Multi Jaya Energi tertanggal 7 Juni 2021. “Askrindo tidak pernah memeriksanya di lapangan,” ucap seorang petinggi di lingkaran bisnis holding BUMN asuransi yang mengetahui detail permasalahan ini.
Kepala Bagian Operasional Kantor Wilayah Jakarta Askrindo Sofyan Bonafena menyatakan sempat menyurvei kapal yang hendak membawa batu bara PT Bara Daya Energi. “Paling besar vessel-nya dia,” kata Sofyan di Graha Askrindo. Menurut Sofyan, Bara Daya saat itu sedang kebingungan lantaran GSECL tidak sepakat dengan harga baru yang mereka ajukan. “Kapal terkatung-katung sampai dua bulan.”
Sumber Tempo yang mengetahui masalah ini mengungkapkan, survei Askrindo itu justru baru dilakukan pada November 2021, sebulan setelah klaim GSECL muncul. Kapal yang dikunjungi oleh Sofyan adalah MV Beteigeuze, yang disebut telah stand by di sisi timur lepas pantai Tarakan, Kalimantan Utara.
Persetujuan atas permohonan penjaminan garansi bank ini, menurut sumber itu, tak lepas dari andil Wikan Cahyo Wicaksono, meski di atas kertas Bara Daya Energi menggunakan pialang asuransi PT Anugrah Medal Broker. Wikan bukan nama asing di lingkungan Askrindo. Dia adalah menantu Budi Tjahjono, mantan Direktur Utama Askrindo yang pada 2017 dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi dalam perkara korupsi saat menjabat Direktur Utama Asuransi Jasa Indonesia atau Jasindo. Dihubungi pada Sabtu, 16 April lalu, Wikan tak merespons permintaan klarifikasi Tempo.
Tempo mengirimkan surat permohonan wawancara kepada manajemen PT Bara Daya Energi di kantor mereka, Gedung Equity Tower Lantai 35, Jakarta Selatan, pada Rabu, 13 April lalu. Upaya memohon konfirmasi lewat surat juga dilakukan terhadap Direktur Bara Daya Energi Mohamed Daupik Alkaff pada hari yang sama. Namun hingga Sabtu, 16 April lalu, manajemen Bara Daya Energi dan Daupik tak meresponsnya.
Erwan Djoko Hermawan mengakui survei kapal itu baru dilakukan setelah klaim GSECL datang. Dia beralasan, survei setelah klaim itu dilakukan karena Bara Daya Energi bukanlah nasabah baru Askrindo. "Dia sudah sepuluh kali jadi nasabah kami, termasuk penyuplainya, dengan performance yang baik,” ujar Erwan.
Direktur Utama Indonesia Financial Group Robertus Bilitea di Gedung Standart Chartered, Jakarta, Maret 2021. Tempo/Tony Hartawan
Adapun Vincentius Wilianto membantah kabar bahwa penerbitan polis jaminan garansi bank buat Bara Daya berhubungan dengan Wikan. “Saya, sebagai pemutus polis ini, tidak kenal dengan Pak Budi atau menantunya,” kata Vincentius, yang menjabat Direktur Teknik Askrindo sejak Maret 2021. “Saya bertemu dengan broker asuransi yang menangani Bara Daya Energi baru kemarin.”
Erwan dan Vincentius sama-sama menolak jika klaim yang harus ditanggung Askrindo akibat penjaminan garansi bank kepada Bara Daya Energi dianggap sebagai kerugian. “Ini masalah persepsi. Orang melihat asuransi bayar klaim, dianggap rugi sebesar klaim itu,” kata Erwan. “Tidak seperti itu. Ada mekanisme di belakangnya, ada reasuransi, reasuransi mereasuransi kembali.”
Menurut Vincentius, dari penjaminan senilai Rp 190 miliar, hanya Rp 10 miliar yang murni ditanggung Askrindo. Sisanya ditanggung reasuransi. Pengajuan klaim, dia menambahkan, lazim di bisnis asuransi. “Asuransi tidak melihat satu polis saja, lalu ketika ada klaim dibilang kerugian,” ujar Vincentius. “Klaim itu seperti saling subsidi.”
Sambil menunggu putusan arbitrase Pengadilan Tinggi Gujarat, manajemen Askrindo kini tengah berupaya memastikan klaim yang sudah mereka bayarkan kepada GSECL bisa balik. Pengembalian itu akan mereka kejar dari Bara Daya Energi, yang telah meneken surat pernyataan kesanggupan mengganti ganti rugi sebelum polis terbit. “Mereka sepakat mencicil, tapi kami minta nominal cicilannya dibesarkan,” tutur Sofyan.
Direktur Utama Indonesia Financial Group (IFG) Robertus Bilitea menyatakan pemeriksaan awal menunjukkan transaksi Bara Daya Energi telah didukung dokumen yang lengkap. Tapi, dia memastikan, IFG akan memelototi tata kelola transaksi ini. “IFG akan memonitor perkembangan transaksi ini terutama terhadap anomali (nilai jaminan) dan broker atau agen manajemennya,” ucap Robertus di kantornya, Kamis, 14 April lalu. “Kami akan memastikan Askrindo menagih Bara Daya Energi atas kewajiban pembayaran klaim tanpa menunggu selesainya proses arbitrase.”
Sementara Askrindo masih berupaya mengembalikan duitnya, Bara Daya Energi ditengarai justru sudah menangguk keuntungan. Batu bara yang urung dikirim ke Gujarat dikabarkan telah berlayar ke Cina, dengan harga di atas US$ 200 per ton.
AISHA SAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo