Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan komponen ekspor dan barang jasa turun dari 16,28 persen pada 2022 menjadi 1,32 persen tahun lalu.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance Eko Listiyanto mengatakan kinerja komoditas yang menyumbang 25 persen total ekspor tak lagi cemerlang. Pasalnya, tren harga komoditas menurun sejak 2022.
Laju ekspor tahun ini tumbuh negatif, yakni minus 0,29 persen. Pasalnya, permintaan produk ekspor Indonesia melemah bersamaan dengan lesunya ekonomi negara mitra utama ekspor seperti Amerika dan Cina.
JAKARTA — Pertumbuhan ekonomi pada 2023 sebesar 5,05 persen tercatat melemah dibanding pertumbuhan pada tahun sebelumnya, 5,31 persen. Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan komponen ekspor dan barang/jasa turun dari 16,28 persen pada 2022 menjadi 1,32 persen pada tahun lalu. Sektor nonmigas yang masih menjadi tulang punggung kinerja ekspor Indonesia pun turun 11,96 persen. Bukan hanya itu, total nilai ekspor sepanjang 2023 juga turun 11,33 persen.
Kecilnya pertumbuhan ekspor didorong oleh volume ekspor nonmigas dan ekspor jasa. Ekspor nonmigas masih ditopang oleh sektor pengolahan senilai US$ 186,98 miliar yang juga turun 11,96 persen dibanding pada periode sebelumnya. Ekspor jasa meningkat seiring dengan kunjungan wisatawan mancanegara yang naik 27,72 persen. “Periode Nataru (Natal dan tahun baru) mendorong peningkatan mobilitas penduduk dan pariwisata serta aktivitas ekonomi lainnya,” kata pelaksana tugas Kepala BPS Amalia A. Widyasanti, kemarin, 5 Februari 2024.
Pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun lalu bergerak naik-turun, dari kuartal pertama sebesar 5,04 persen naik 5,17 persen pada kuartal kedua 2023. Selanjutnya turun ke angka 4,94 persen pada kuartal ketiga dan menanjak ke 5,04 persen pada kuartal keempat. BPS juga mencatat tren pelemahan ekspor pada Desember 2023 masih berlanjut dibanding pada periode sebelumnya. Nilai ekspor turun 5,76 persen secara tahunan. Untuk sektor nonmigas turun dari US$ 22,32 miliar pada Desember 2022 menjadi US$ 20,93 miliar.
Secara kumulatif, pada Januari-Desember 2023, pangsa ekspor nonmigas ke negara dan kawasan tujuan utama turun dibanding pada periode yang sama tahun lalu, kecuali pangsa ekspor nonmigas ke Cina. Amalia mengatakan, meski perekonomian global tengah melambat dan harga komoditas ekspor unggulan melesu, perekonomian Indonesia tetap tumbuh.
Adapun Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan kinerja komoditas yang menyumbang 25 persen total ekspor tak lagi cemerlang. Pasalnya, tren harga komoditas menurun sejak 2022, antara lain terjadi pada minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan feronikel. Penurunan harga tersebut menjadi tanda berakhirnya momen windfall harga komoditas (masa berkah komoditas) di pasar global. Penurunan kinerja ekspor komoditas, kata Eko, tidak disertai peningkatan volume yang signifikan. “Begitu harga komoditas melandai, permintaan pasar tidak naik. Maka ekspor pun menurun.”
Kapal pembawa peti kemas di Pelabuhan Tanjung, Priok, Jakarta, 15 Januari 2024. Tempo/Tony Hartawan
Perlambatan Ekonomi Negara Tujuan Ekspor
Turunnya harga komoditas juga dipengaruhi oleh tekanan ekonomi di negara mitra utama dagang, seperti Amerika Serikat dan Cina. Tingkat inflasi di Amerika masih tinggi sehingga The Fed masih mempertahankan suku bunganya dan dibayangi transisi kepemimpinan politik domestik. Sedangkan pertumbuhan ekonomi di Cina masih ditekan perlambatan sektor properti.
Sepanjang 2023, ekspor Indonesia masih terpusat di Cina dengan porsi 25,66 persen, Amerika 9,57 persen, dan India 8,35 persen. Untuk ekspor Indonesia di ASEAN dan Uni Eropa masing-masing memiliki porsi 18,35 persen dan 6,78 persen terhadap total ekspor Indonesia pada 2023.
Eko mengingatkan bahwa kinerja ekspor juga dibayangi permintaan impor pada Ramadan dan Lebaran yang datang dalam waktu dekat. Permintaan impor akan naik seiring dengan kebutuhan makanan yang meningkat, disusul kenaikan impor minyak untuk memenuhi kebutuhan mobilitas mudik. Eko menuturkan, jika pemerintah tidak berhati-hati, neraca dagang bisa berbalik defisit pada triwulan pertama 2024 karena kebutuhan impor meningkat. “Kalau soal kebutuhan stok dipercepat ya mengandalkan luar negeri. Sedangkan ekspor begitu-begitu saja karena kita enggak bisa menaikkan permintaan.”
Adapun Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan kemampuan pemerintah terbatas dalam meningkatkan ekspor karena tak bisa mengintervensi dan mengontrol ekonomi global. Dari keterbatasan kemampuan tersebut, pilihan yang tersisa adalah memperluas tujuan ekspor dan menambah nilai ekspor. Pemerintah, kata dia, bisa memperkuat kerja sama bilateral, misalnya dengan negara di Amerika Latin dan Afrika, sebagai negara tujuan baru ekspor. Pada waktu bersamaan, pemerintah bisa mengoptimalkan program penghiliran atau hilirisasi, seperti bauksit dan tembaga, untuk memberikan nilai tambah produk ekspor.
Ekspor Diprediksi Tumbuh Minus
Dengan mempertimbangkan perekonomian global dan domestik, Josua memprediksi laju ekspor pada tahun ini tumbuh negatif, yakni minus 0,29 persen. Pasalnya, permintaan produk ekspor Indonesia melemah bersamaan dengan lesunya ekonomi negara mitra utama ekspor, seperti Amerika dan Cina. Permintaan produk ekspor dari industri manufaktur, seperti tekstil, garmen, dan alas kaki dari Amerika, akan menciut. “Demand CPO dan batu bara dari Cina juga terganggu.”
Meski demikian, Josua menuturkan harga sejumlah komoditas, seperti batu bara, dapat diharapkan karena masih di atas harga normal. Harga batu bara kini masih dibanderol di kisaran US$ 100 per ton, lebih tinggi dari harga normal US$ 80 per ton.
Adapun harga mayoritas komoditas produk pertambangan pada awal bulan ini naik dibanding pada periode Januari 2024. Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Budi Santoso, harga produk pertambangan yang dikenai bea keluar ini naik karena meningkatnya permintaan di pasar dunia, seperti konsentrat tembaga, besi laterit, dan seng.
Kenaikan harga tambang ini berpengaruh terhadap penetapan harga patokan ekspor produk pertambangan yang dikenai bea keluar periode Februari 2024. Sementara itu, harga referensi komoditas minyak sawit juga naik. Tercatat untuk periode 16-31 Januari 2024 sebesar US$ 774,93 per metrik ton dibanding pada periode sebelumnya US$ 746,69 per metrik ton, atau tumbuh 3,78 persen.
Budi menuturkan kenaikan harga CPO disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain adanya peningkatan harga minyak mentah dunia, peningkatan harga minyak nabati lainnya yaitu minyak kedelai, kekhawatiran pengetatan pasokan minyak sawit dari Malaysia, serta pelemahan mata uang ringgit Malaysia terhadap dolar Amerika Serikat.
Ekspor-Impor Serentak Turun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam konferensi pers pada Kamis, 4 Januari lalu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan membidik pasar baru untuk meningkatkan volume ekspor, terutama dari sektor nonmigas. Zulkifli menyebutkan negara tujuan ekspor seperti India, Pakistan, Mesir, Bangladesh, dan sejumlah negara Asia Tenggara adalah pasar potensial. Negara tujuan ekspor tersebut merupakan alternatif dari negara Cina yang sedang mengalami perlambatan ekonomi.
“Andalannya tetap CPO, batu bara, penghiliran, seperti nikel, juga produk manufaktur dan produk hasil hutan,” ujar Zulkifli. Ekspor nonmigas masih bertumpu pada komoditas minyak sawit mentah dan produk turunannya.
Kementerian Perdagangan menargetkan pertumbuhan ekspor nonmigas sebesar 2,5-4,5 persen pada tahun ini, senilai US$ 297-302,7 miliar atau sekitar Rp 4.603-4.691 triliun (dengan asumsi kurs rupiah 15.500 per dolar). Untuk 2023, ekspor nonmigas tercatat US$ 242,9 miliar, turun 11,96 persen dibanding pada tahun sebelumnya US$ 275,91 miliar. Sedangkan total nilai ekspor sepanjang 2023 turun 11,33 persen dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya. Nilai ekspor tahun lalu sebesar US$ 258,82 miliar dari sebelumnya US$ 291,9 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menuturkan surplus neraca perdagangan menunjukkan daya tahan eksternal perekonomian nasional di tengah peningkatan risiko global. “Termasuk moderasi harga komoditas dan perlambatan ekonomi negara mitra dagang utama seperti Cina,” ujarnya.
Pada 2024, Febrio mengatakan ketidakpastian aktivitas ekonomi global yang tecermin pada proyeksi perlambatan ekonomi global masih mempengaruhi perdagangan Indonesia. Pemerintah, kata dia, tetap memantau dampak perlambatan global terhadap ekspor nasional serta menyiapkan langkah antisipasi melalui dorongan terhadap keberlanjutan penghiliran sumber daya alam, peningkatan daya saing produk ekspor nasional, dan diversifikasi negara mitra dagang utama.
ALI AKHMAD NOOR HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo