Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
MRT Jakarta masih menagih tunggakan jasa periklanan ke mitra mereka, Otego Media.
BPK DKI mendapati potensi kekurangan pendapatan Rp 190 miliar dari kolaborasi MRT dan Otego.
Anggota DPRD DKI mengingatkan agar MRT Jakarta lebih selektif memilih mitra.
JAKARTA – PT Mass Rapid Transit (MRT Jakarta) belum selesai menagih tunggakan jasa periklanan ke mitra mereka, PT Avabanindo Perkasa—biasa disebut Otego Media. Direktur Utama MRT Jakarta, Tuhiyat, memastikan pemenuhan kewajiban bagi hasil yang sempat menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) DKI Jakarta itu akan diselesaikan dalam waktu dekat. “Sedang berjalan. Penyelesaiannya sampai akhir kuartal pertama 2023,” tutur dia kepada Tempo, kemarin.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan atas Kegiatan Operasional Tahun Buku 2019 hingga Semester I 2021 pada MRT Jakarta dan instansi yang berkaitan, auditor BPK DKI mendapati potensi kekurangan pendapatan di luar tiket atau non-farebox hingga lebih dari Rp 190 miliar dari kolaborasi bisnis MRT dengan Otego. Dengan skema bagi hasil berdurasi 20 tahun, kedua pihak menyepakati kontrak periklanan di enam rangkaian kereta fase pertama MRT—persisnya pada 16 rolling stock atau gerbong yang melintasi 13 stasiun—sejak 13 Desember 2017.
Salah satu kerugian MRT yang dicatat BPK DKI itu berupa kekurangan penerimaan atas pendapatan minimum yang belum dibayar, yakni sebesar Rp 161,8 miliar. Isi poin 3.5 Bab III laporan itu menyebutkan soal kewajiban Otego membayar komisi penandatanganan perjanjian senilai Rp 40 miliar kepada MRT. Selama sepuluh tahun pertama, Otego harus membayarkan 35 persen dari pendapatan kotor periklanan itu kepada MRT. Sedangkan persentase untuk tahun kesebelas dan berikutnya naik menjadi 40 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari hitungan tim BPK, potensi pendapatan dari kemitraan itu disebutkan mencapai Rp 97,03 miliar pada 2019 dan Rp 138,5 miliar pada 2020. Setelah mengais informasi dari pejabat divisi komersial dan ritel (CRD) MRT Jakarta, barulah MRT mendapati kekurangan pembayaran Rp 161,8 miliar untuk kerja sama tahun kedua dan ketiga.
“Avabanindo sudah menyelesaikan kewajiban tahun pertama sesuai dengan perjanjian,” begitu bunyi temuan tersebut. Setelah itu, entitas reklame tersebut kesulitan memenuhi pembayaran karena tekanan situasi pandemi Covid-19. Otego disebutkan sudah mengajukan kelonggaran pembayaran secara bertahap. Namun, dalam laporan periode itu, BPK belum menerima dokumen perubahan kontrak.
Denda Keterlambatan Pembayaran Otego terhadap MRT
Sebagian kecil dari potensi kerugian segmen non-farebox itu berasal dari denda keterlambatan pembayaran Otego kepada MRT senilai Rp 29,01 miliar. Artinya, tunggakan ini muncul karena utang bagi hasil pada tahun kedua dan ketiga yang belum bisa dipenuhi Otego. “Akibat kondisi ini, target MRT dalam profit sharing tidak tercapai,” begitu bunyi kesimpulan laporan BPK.
Otego berfokus menggarap periklanan di sekitar infrastruktur publik, seperti jembatan penyeberangan, billboard, dan sekarang di area MRT. Dalam akta perubahan data perusahaan Avabanindo Perkasa yang diperoleh Tempo, entitas itu didirikan dengan modal dasar Rp 160 miliar dan modal ditempatkan Rp 40 miliar.
Saat dimintai konfirmasi melalui surat elektronik dan pesan WhatsApp, staf perwakilan tim pemasaran Otego berjanji akan meneruskan pertanyaan Tempo kepada petinggi manajemen. Namun, hingga berita ditulis, tidak ada respons lagi dari Otego. Begitu juga dengan pertanyaan ihwal pengawasan rekomendasi terhadap MRT Jakarta, personel hubungan masyarakat BPK DKI meminta Tempo mengirim pertanyaan lewat akun resmi lembaga tersebut.
Dalam versi laporan tahunan MRT Jakarta pada 2021, terdapat catatan piutang jatuh tempo lebih dari setahun sebesar Rp 228,4 miliar. Angka itu datang dari dua mitra, di antaranya Avabanindo sebesar Rp 191,4 miliar. Nama Avabanindo juga masuk daftar pihak ketiga yang terikat kewajiban utang jatuh tempo dalam setahun. Nilai kewajiban itu sekitar Rp 16,1 miliar.
Warga tengah menggunakan MRT untuk beraktivitas di Jakarta, 1 Februari 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lewat jawaban tertulis, Corporate Secretary Head Division PT MRT Jakarta, Ahmad Pratomo, memastikan manajemennya selalu menata kerja sama di setiap lini bisnis dengan baik. Skema good governance itu ditekankan juga dalam model kemitraan periklanan untuk pendapatan non- tiket. “Dengan mengedepankan transparency, accountability, responsibility, independence, and fairness.”
Selasa pekan lalu, anggota Komisi Perekonomian DPRD DKI Jakarta, Gilbert Simanjuntak, menanyakan langsung soal penagihan kewajiban Otego kepada manajemen MRT dalam rapat dengar pendapat. Saat itu, Direktur Utama MRT, Tuhiyat, memastikan jadwal pembayaran sudah diatur ulang.
“Nanti kami cek lagi perkembangannya. Yang pasti, jangan merugikan DKI,” kata Gilbert, kemarin. Dalam laporan keuangan unaudited 2022, MRT Jakarta masih diasup subsidi operasional hingga Rp 828 miliar oleh pemerintah DKI.
Gilbert belum mengetahui total besaran potensi pendapatan MRT Jakarta yang hilang dari mitra yang bermasalah. Yang pasti, dia mengingatkan badan usaha milik DKI itu agar lebih selektif ketika akan menjalin hubungan bisnis. “Kalau memang (mitra) bermasalah, jangan dilanjutkan.”
YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo