Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penyedia pembangkit listrik tenaga surya bermunculan dengan skema ekonomis.
Didorong gerakan energi bersih korporasi global.
Anak perusahaan PLN hingga pemain energi fosil kepincut besarnya potensi pasar PLTS atap.
MUHAMMAD Yusrizki sedang bungah. Bisnis penyediaan setrum bertenaga surya yang dia geluti setahun terakhir lewat PT Energi Melayani Negeri (EMN) sedang kebanjiran peminat. Yang terbaru, perusahaan yang ia dirikan tersebut menjadi penyedia pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap di salah satu tempat istirahat jalan tol Pemalang-Semarang yang dikelola oleh PT Jasa Marga Tbk. “Kapasitasnya di bawah 1 megawatt-peak (mWp),” kata Yusrizki di kantornya, Graha Iskandarsyah, Jakarta, pada Rabu, 8 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kapasitas 1 mWp—daya puncak yang bisa dihasilkan ketika sinar matahari sedang panas-panasnya—itu sebetulnya tidak terlalu besar. Tapi Yusrizki, yang juga Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri Indonesia untuk Energi Baru dan Terbarukan, sadar bisnis penyediaan PLTS atap bagi pelanggan komersial dan industri di Indonesia masih bayi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekecil apa pun permintaan pelanggan, tutur Yusrizki, akan disikat selama masuk hitung-hitungan bisnisnya. “Rata-rata keekonomian bisnis ini sebetulnya 2 mWp untuk pabrik besar,” ujarnya. “Di bawah itu mau enggak? Ya, mau! Yang penting makin kecil kapasitasnya, makin kecil diskonnya ke pelanggan.”
Penyedia PLTS atap untuk pelanggan industri dan komersial seperti Yusrizki kini menemukan skema bisnis yang lebih menarik bagi calon konsumen. Alih-alih menjual panel surya atau menawarkan paket pemasangan lengkap, mereka—jumlahnya puluhan dari kelas menengah seperti EMN hingga yang berukuran gajah seperti PT Surya Utama Nuansa (SUN Energy) dan PT Xurya Daya Indonesia—mengiming-imingi calon konsumen skema berlangganan seperti yang selama ini diterapkan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Tentu saja dengan tarif diskon.
Maksudnya, pelanggan cukup membayar listrik PLTS atap seperti melunasi tagihan bulanan ke PLN. Tarif listrik dari para penyedia PLTS atap ini diklaim lebih murah 10-20 persen dibanding ongkos listrik per kilowatt-jam kelas komersial dan industri PLN.
Syaratnya, Yusrizki menjelaskan, calon konsumen harus mau berlangganan selama 15-20 tahun, sesuai dengan usia pakai panel surya. “Kalau langganannya hanya lima tahun, ya, mahal jatuhnya,” ucap Yusrizki. Skema bisnis ini menjadi solusi bagi perusahaan yang ingin menggunakan listrik bersih tapi tidak punya duit kalau harus memasang pembangkit sendiri.
Baru memulai bisnis ini pada tahun lalu, Yusrizki lewat bendera EMN kini mengelola PLTS atap dengan kapasitas 5-6 mWp. Yusrizki mengaku EMN masih kecil dibanding gajah-gajah yang lebih dulu berkembang, seperti SUN Energy yang telah mengembangkan pembangkit 50 mWp dan Xurya Daya Indonesia dengan pembangkit 20 mWp. “Kalau SUN punya captive market seperti perkebunan dan perumahannya Sinar Mas. Kami kan enggak,” kata Yusrizki.
Bisnis PLTS atap bagi pelanggan komersial dan industri sebetulnya mulai moncer pada 2019. Tahun depan, menurut Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia Fabby Tumiwa, arusnya bakal makin kencang. “Khususnya di perusahaan-perusahaan tambang yang mau menggantikan pembangkit listrik dieselnya,” tutur Fabby. “Mereka sudah lelang banyak di tahun ini dan akan dieksekusi tahun depan.”
Arus pemasangan pembangkit setrum bertenaga baskara di atap-atap perusahaan makin kencang seiring dengan komitmen sejumlah perusahaan global di Indonesia untuk mengurangi produksi karbon dari operasi mereka. PLTS atap mandiri menjadi opsi pertama karena distributor listrik tunggal di Indonesia, PLN, belum mampu menyediakan listrik yang benar-benar berasal dari energi bersih.
Ada tiga gelombang inisiatif yang mendorong naiknya penggunaan PLTS atap—selain tekanan dari pegiat lingkungan dan konsumen global. Pertama, gerakan global bertajuk Race to Zero yang menargetkan anggotanya mencapai target sonder emisi karbon pada 2050, persis seperti Perjanjian Paris. Gerakan ini di antaranya berisi 3.067 entitas bisnis dan 107 investor besar dari seluruh dunia. Secara kolektif, anggota inisiatif ini sekarang menyumbang 50 persen produk domestik bruto dan 25 persen emisi karbon dioksida global.
Petugas Jasa Marga membersihkan instalasi panel surya di Gardu Pintu Tol Tangerang, Banten, Januari 2015. Dok.TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat
Inisiatif kedua adalah The Climate Pledge, gerakan yang dimulai pada 2019 dan telah menarik 217 entitas bisnis. Kampanye ini menargetkan para anggotanya bebas emisi karbon pada 2040.
Kampanye terakhir dan yang paling ambisius adalah Renewable Energy 100. Beranggotakan 300-an perusahaan global, kelompok ini bertekad menggunakan 100 persen listrik dari energi bersih mulai 2030. “Total pendapatan gabungan tahunan perusahaan yang tergabung dalam tiga inisiatif itu lebih dari US$ 14 triliun,” ujar Yusrizki.
Di Indonesia, salah satu perusahaan yang tergabung dalam Renewable Energy 100 adalah Unilever, yang telah memasang PLTS atap di kantor mereka di Tangerang, Banten, dengan kapasitas 200 kilowatt-peak (kWp). Danone juga telah memasang panel surya berkapasitas 4 mWp di tiga pabriknya dan mematok target menjemur panel dengan kapasitas sampai 15 mWp pada 2023. Coca-Cola pun telah memasang panel fotovoltaik berkapasitas 7,13 mWp di pabriknya di Bekasi, Jawa Barat.
Menurut Lucia Karina, Direktur Public Affairs, Communications, and Sustainability Coca-Cola Europacific Partners, perusahaan terpaksa memasang sendiri PLTS atap karena PLN sebagai pemasok listrik satu-satunya tak mampu menyediakan listrik yang benar-benar bersih. PLN sempat menawarkan sertifikat energi bersih atau renewable energy certificate (REC). Tapi perusahaan ragu akan sertifikat tersebut. “Yang ngeluarin REC kan PLN, sementara PLN sendiri juga jual listrik dari energi fosil. Yang bener saja,” kata Lucia kepada Tempo, Jumat, 10 Desember lalu.
Masalahnya, tidak banyak perusahaan yang sanggup bermigrasi ke energi bersih dengan modal sendiri. Tidak semua perusahaan mau dan mampu merogoh Rp 87 miliar untuk memasang panel surya berkapasitas 7,13 mWp seperti Coca-Cola, kendati harga investasi PLTS atap sudah anjlok tajam dibanding pada awal ketenarannya.
Pada November 2010, misalnya, harga spot modul fotovoltaik multi-kristalin masih US$ 2,10 per watt. Pada 2019, harganya terjungkal sampai US$ 0,20 per watt—berkat makin masifnya penggunaan panel surya. Dengan harga modul yang belakangan malah kumat naik lagi—menurut pvinsight.com per 6 Desember 2021 rata-rata US$ 0,489 per watt—investasi untuk PLTS atap bakal makin dijauhi oleh perusahaan-perusahaan berkantong kempis.
Direktur Utama PLN Batam, Kepulauan Riau, Nyoman Astawa menghitung, untuk menggelar 1 mWp PLTS atap, dibutuhkan ongkos US$ 1-1,2 juta atau sekitar Rp 14,3 miliar. Sebelumnya biayanya sempat turun menjadi US$ 800 ribu saja. “Sehingga ini juga jadi pertimbangan kami sekarang,” ucap Nyoman dalam konferensi video pada Kamis, 9 Desember lalu.
Tidak seperti induknya, PT PLN, PLN Batam rupanya jauh lebih lincah menangkap gelagat pasar. PLN Batam tidak bisa mengelak ketika banyak pelanggannya, yang kebanyakan industri global atau bagian dari rantai pasok dunia, mendesak perusahaan menyediakan listrik bersih. “Ketika mereka minta disuplai dengan renewable energy, kami enggak punya pilihan. Sumber renewable energy di sini sangat terbatas,” ujar Nyoman. Pilihan jatuh kepada PLTS atap.
Kini perusahaan sudah mengikat nota kesepahaman dengan dua perusahaan, yakni PT Karya Teknik Utama, perusahaan galangan kapal di Sagulung, Batam; dan McDermott Indonesia, perusahaan konstruksi lepas pantai blok minyak dan gas bumi. PLN Batam menyediakan pembangkit di atap fasilitas perusahaan mereka.
Mengantisipasi membeludaknya permintaan listrik bersih, Nyoman menyurati Badan Pengusahaan Batam agar dibolehkan memasang panel surya terapung di sembilan waduk di pulau dengan status kawasan perdagangan bebas itu. Di waduk-waduk itu, PLN Batam berharap dapat membangkitkan listrik sampai 250 mWp dari panel apung.
Bagi Nyoman, PLTS tidak hanya berguna untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, tapi juga mengurangi beban PLN Batam. Selama ini PLN Batam bertumpu pada pembangkit listrik bertenaga gas, yang biaya pokok produksinya bisa mencapai US$ 0,8 per kilowatt-jam. Sedangkan biaya PLTS atap bisa di bawah US$ 0,6. “Jadi kami malah bisa hemat,” kata Nyoman.
Inilah, Nyoman melanjutkan, yang membedakan PLN Batam dengan PLN pusat, yang cenderung menghindari penggunaan PLTS. Dalam sistem kelistrikan Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan, tulang punggung penghasil setrum masih pembangkit listrik tenaga uap dengan pembakaran batu bara. Biaya pokok produksi pembangkit fosil ini memang masih jauh lebih miring dibanding PLTS atap sekalipun—yang tak memerlukan pengadaan tanah. “Kalau panel surya masuk ke sistem PLN, itu artinya mereka harus menekan pembangkit yang lebih murah (pembangkit listrik tenaga uap),” tutur Nyoman. “Artinya tambahan biaya produksi buat perseroan. Kami di Batam kebalikannya.”
Seperti pengembang PLTS atap lain, PLN Batam menawarkan skema berlangganan. Skema yang meringankan beban pelanggan di depan inilah yang memicu kelahiran pemain-pemain baru. Salah satunya PT Empat Mitra Indika Tenaga Surya (EMITS), perusahaan patungan antara PT Indika Energy Tbk dan Fourth Partner Energy Limited (4PEL) yang baru beroperasi pada Maret lalu.
Berbekal pengalaman menggelar panel surya di perusahaan sendiri, yaitu fasilitas perumahan karya PT Kideco Jaya Agung di Kalimantan Timur, Indika menggandeng 4PEL masuk ke pasar yang sedang gurih ini. “Sayang kalau sudah berkecimpung di bidang energi lalu enggak diterusin,” kata Purbaja Pantja, Presiden Komisaris EMITS sekaligus Direktur Investasi Indika, di kantor sementaranya di kawasan Purnawarman, Jakarta Selatan, pada Jumat, 10 Desember lalu. “Kami pikir ini sektor yang menarik.”
EMITS telah mengikat nota kesepahaman dengan Pelabuhan Bandar Samudra milik PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dan Pelabuhan Sabang di Aceh. Perseroan akan menjadi penyedia listrik dari PLTS atap bagi kedua pelabuhan tersebut. “Apa pun skemanya nanti, mau mereka yang berinvestasi atau berlangganan, kami siap,” ujar Purbaja, yang menyatakan EMITS didukung penuh oleh pendanaan perusahaan induk dan rekan bisnisnya.
Purbaja menargetkan EMITS sudah bisa mengoperasikan 50 mWp PLTS atap pada akhir tahun depan. Yang sudah masuk rencana antara lain pengoperasian PLTS atap di anak perusahaan PT Indonesia Power, anak usaha PLN penghasil listrik fosil. “Kami jadi provider dan dibayar sesuai dengan tarif langganan,” ucap Purbaja.
Menurut cofounder dan Direktur Teknologi PT Xurya Daya Indonesia, Edwin Widjonarko, skema berlangganan alias sewa operasi (operating lease) itulah yang paling diminati oleh pelanggan. Sebanyak 95 persen pelanggan Xurya memilih membayar sesuai dengan tagihan daripada memasang pembangkit sendiri, yang membutuhkan modal jumbo. “Termasuk Pan Brothers,” kata Edwin. “Karena ringan dari segi biaya dan manfaatnya dapat langsung dirasakan langsung setelah sistem selesai uji coba.”
PT Pan Brothers Tbk baru saja mengumumkan langkahnya menggandeng Xurya untuk memasang panel surya berkapasitas 2,5 mWp di empat pabrik mereka. Anne Patricia Sutanto, Vice Chief Executive Officer Pan Brothers, mengatakan perusahaannya memilih skema sewa operasi untuk mengurangi beban keuangan perusahaan. “Seperti skema bangun-operasi-serah (build-operate-transfer),” ujar Anne pada Sabtu, 11 Desember lalu.
Pan Brothers bukanlah perusahaan global yang beroperasi di seluruh dunia. Tapi ia bagian dari rantai pasok perusahaan apparel dan garmen global yang makin menuntut para mitranya beroperasi dengan energi bersih. Makin ke sini, kebutuhan akan listrik bersih, seperti PLTS atap, bakal makin besar seperti tsunami.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo