Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perempuan adat kerap dipinggirkan dari pengambilan keputusan atas tanah ulayat karena dianggap hanya memiliki hak pakai.
Perempuan-perempuan di Boven Digoel gigih berupaya agar memiliki suara yang setara demi menjaga hutan adat tetap lestari.
Mereka malakukan perlawanan melalui kelompok doa dan gerakan pemasangan salib di pinggir jalan, sasi adat, dan pelarangan orang memasuki hutan adat tanpa izin.
POLA pikir Rikaarda Maa tentang masyarakat adat berubah. Semula, ia menganggap masyarakat adat tidak berdaya untuk melawan ketika hutan adatnya dijarah perusahaan. Namun, sejak 2018, ia bertekad tidak gentar mempertahankan tanah ulayatnya. Bahkan perempuan adat suku Awyu ini membentuk kelompok doa adat untuk menyatukan semua perempuan di tempat tinggalnya di Kampung Ampera, Distrik Mandobo, Boven Digoel, Papua.
Kedatangan sejumlah perusahaan sawit yang hendak menyulap hutan menjadi perkebunan sawit adalah momentum bagi Rika—sapaan Rikaarda Maa. Menurut dia, perusahaan-perusahaan sawit yang hendak menguasai lahan di hutan ulayatnya adalah lagu lama. “Sejak 2011 perusahaan ramai masuk ke wilayah kami,” katanya, Selasa, 30 November lalu. Menurut catatan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, salah satu perusahaan itu bahkan telah mengantongi izin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 39.190 hektare pada 2017.
Lahan konsesi perusahaan sawit tersebut berada di tanah adat suku Awyu di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi. Perusahaan sawit itu telah tiga tahun berusaha mendapatkan izin pelepasan dari masyarakat adat suku Awyu, tapi selalu gagal. Rika pun kukuh tak akan melepas hak ulayatnya meski kerap menghadapi ancaman dan intimidasi dari sesama anggota masyarakat yang tergiur uang kompensasi Rp 10 juta dari perusahaan.
Rika menyadari dirinya tak bisa berjuang sendiri. Pada 2018, ia melakukan pemetaan sederhana untuk mencari para mama yang konsisten mempertahankan hutan adatnya. Ia memulainya dengan membuat surat penolakan terhadap perusahaan sawit yang hendak mencaplok tanah adatnya, lalu mengumpulkan tanda tangan dari para mama yang menolak. Bagi Rika, hampir mustahil mengajak laki-laki dalam barisannya. “Para mama lebih berpikir panjang daripada bapak yang mudah diiming-imingi seratus ribu rupiah dan rokok,” ujar ibu satu anak ini.
Rika berhadapan dengan realitas bahwa para perempuan tidak diberi hak untuk ikut menentukan kebijakan atas tanah ulayat. Padahal, kata dia, sesungguhnya perempuan yang menjalankan fungsi marga dan memikirkan masa depan marga. Jalan lain yang Rika pilih dalam membela tanah adatnya adalah membentuk kelompok doa adat, bersama dengan para mama yang menolak perusahaan. Meski hanya beranggota 10 orang, kelompok ini menjelma menjadi motor perlawanan.
Mereka tak hanya menggelar doa rutin untuk memohon perlindungan bagi semua aktivitas yang menolak perusahaan perkebunan sawit. Mereka pun membuat papan yang bertulisan: “Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, yang menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi hutan negara”. Rika dan para mama juga memancang salib di kedua sisi jalan raya Kampung Ampera hingga Distrik Fofi. Mereka juga memasang sasi adat—tanda adat—yang melarang pembukaan lahan. “Kami melakukannya sepanjang 2018 hingga 2021,” tutur Rika.
Rika, yang juga berprofesi guru sekolah dasar di Yayasan Pendidikan Persekolahan Katolik Santa Theresia Kali Win, pun aktif dalam Komunitas Paralegal Cinta Tanah Adat. Di kampungnya, ia merupakan salah satu pengurus Badan Musyawarah Kampung Ampera. Meski begitu, dia menekankan bahwa peran para mama dalam komunitas yang paling berpengaruh besar.
Pada 2018 pula, seorang perempuan dari Lembah Kebar, Tambrauw, Papua Barat, bernama Veronika Manimbu berorasi di depan para korban perampasan tanah oleh perusahaan sawit yang berunjuk rasa di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta. “Tidak ada tanah Papua yang kosong!” tuturnya lantang. Veronika adalah perempuan adat dari suku Mpur yang terancam kehilangan lahan ulayatnya karena diaku-aku sebagai milik perusahaan sawit.
Veronika menghayati betul idiom “hutan adalah mama”. Sebab, bagi Veronika hutan adalah “sosok” yang menjamin kehidupan dan masa depan semua anggota masyarakat di Lembah Kebar. Januarius Sedik, warga suku Mpur yang aktif berjuang bersama Veronika, mengatakan para perempuan adat merupakan “tiang” bagi masyarakat adat dalam mempertahankan haknya. “Kami yang tinggal di wilayah kepala burung (daerah di peta yang bentuknya mirip kepala burung Cenderawasih) sangat menghargai perempuan sehingga tidak jarang justru perempuan yang mendominasi dalam setiap gerakan,” ucapnya.
Peneliti Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Rasella Malinda, yang mendampingi masyarakat adat di Boven Digoel, mengatakan posisi perempuan sangat lemah dalam struktur kepemilikan lahan karena hanya memiliki hak pakai. Padahal, menurut dia, justru perempuan yang paling dekat dengan hutan. “Ketika laki-laki melepas hak atas hutan, perempuan kehilangan akses atas hutan,” ujar Rasella. “Sebagai gantinya, perempuan bekerja sebagai buruh kasar, serabutan, untuk memastikan ada makanan bagi keluarganya.”
Rasella kerap mendengar jargon tentang hutan dalam perjumpaannya dengan para perempuan adat di Boven Digoel. Salah satunya dari Valentina Wanopka, perempuan adat dari Kampung Subur, Distrik Subur. Valentina Wanopka, ucap Rasella, mengibaratkan hutan sebagai apotek. “Di hutan kami punya obat-obat yang gratis dan banyak macamnya,” kata Rasella, menirukan Valentina.
Mama Valen—sapaan Valentina—merupakan salah satu penggerak masyarakat adat di Kampung Subur dalam menolak perusahaan yang ingin menguasai hutan ulayat. Meski berasal dari Suku Muyu, Mama Valen sangat gigih menjaga hutan adat warisan suaminya yang merupakan warga asli Kampung Subur dari Suku Wambon Kenemopte. Menurut Mama Valen, ia memang tak memiliki hak milik atas tanah, tapi enam anak-anaknya berhak. Ia mengaku tak mau mati dalam keadaan berdosa karena anak-anak tidak punya tanah untuk tempat pulang.
Bersama dengan perempuan dari Kampung Subur lain, Lidia, Mama Valen mengorganisasikan masyarakat Subur untuk menghadang ekspansi perusahaan yang hendak membuka kebun sawit. Berbagai cara ditempuh, dari melobi dinas-dinas di tingkat kabupaten sampai provinsi, audiensi dengan DPRD dan bupati, hingga melakukan pemetaan wilayah adat secara sederhana. Di jalan, mereka memasang sasi adat dan salib hingga menjalankan denda adat bagi orang yang masuk tanpa izin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Rukka Sombolinggi menyebut representasi kepemimpinan perempuan adat Papua, seperti Rikardaa, Valentina, dan Veronika, sebagai kepemimpinan kolektif. “Yang terlihat hanya satu, tapi di belakangnya ada struktur yang solid dan terkonsolidasi,” tuturnya. Menurut Rukka, butuh upaya ekstra bagi para perempuan untuk merebut ruang agar suara mereka juga didengar, setara dengan suara para laki-laki sebagai pemilik hak atas tanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo