Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia mengungkap dalam satu hari Indonesia masih harus mengimpor 900 ribu hingga 1 juta barel bahan bakar minyak (BBM). Jumlah ini tergolong besar dan harus dikurangi melalui pemanfaatan potensi bahan bakar pengganti fosil, seperti hidrogen ataupun baterai listrik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soal ini, Bahlil menyatakan hidrogen merupakan komoditi baru yang masih dalam tahap pengembangan. Harganya pun saat ini tergolong lebih mahal ketimbang baterai listrik. Namun begitu, mantan menteri investasi ini yakin pengembangan energi hidrogen mampu direalisasikan di pasar Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Biaya hidrogen memang masih mahal, ini barang baru. Tetapi kita harus memulainya. Kalau ditanya bagaimana regulasinya, memang selama ini kita bikin regulasi itu baru mobil listrik, belum hidrogen,” kata Bahlil dalam agenda Global Hydrogen Ecosystem Summit, Jakarta Convention Center, Selasa, 15 April 2025.
Ketua Umum Partai Golkar ini menyebut regulasi untuk pemanfaatan hidrogen akan segera diterbitkan setelah mendapatkan potensi pasar yang menjanjikan, serupa regulasi terhadap kendaraan listrik. Menurut dia, pemerintah harus menyelesaikan regulasi ini demi mengurangi impor bahan bakar minyak di Indonesia.
Soal produksi hidrogen yang saat ini masih mahal ketimbang baterai listrik, menurut Bahlil, pada masa selanjutnya akan lebih murah sembari kehadiran teknologi-teknologi yang mendukung bahan bakar tersebut.
Bahan baku pembuatan hidrogen melimpah di Indonesia, mulai dari batu bara, gas, dan air. Bahlil yakin Indonesia akan semakin maju dalam sektor energi kalau dilakukan pengembangan terhadap hidrogen ini.
Menurut dia, tidak banyak negara di dunia yang memiliki keuntungan seperti Indonesia, khususnya dalam aspek kelimpahan sektor sumber daya energi dan mineral.
“Dengan processing memakai energi baru terbarukan itu, saya pikir ini menjadi salah satu alternatif untuk pengganti fosil dalam rangka menuju kepada net zero emission di 2060,” ujar Bahlil.