Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bantuan itu supaya dibagi

Produksi kapal dalam negeri menurun karena pembelian kapal baru dari luar negeri meningkat. tender pembuatan kapal hanya diikuti perusahaan ln. pembelian kapal sebagian besar oleh pemerintah. (eb)

6 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA dikenal sebagai negeri maritim. Tapi perkembangan pembuatan kapal di dalam negeri jauh ketinggalan dibandingkan dengan perakitan mobil. Dirjen Industri Logam dan Mesin (ILM) ir. Suhartojo, dalam sebuah raker di HI Sheraton baru-baru ini menyatakan "selama 1977 produksi kapal di dalam negen menurun 28%." Itu disebabkan "pembelian kapal baru maupun reparasi di luar negeri meningkat bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya." Kesenangan orang Indonesia untuk memesan dari luar negeri, menurut Dirjen Suhartojo, karena "masalah penyediaan dana dan cara pembayaran yang lebih menguntungkan" di negara penjual. Para pembuat kapal di dalam negeri tentu saja merasa makin kepepet. Sekalipun Presiden pernah menganjurkan agar kapal-kapal ukuran 1.000 DWT ke bawah dibuat di dalam negeri, nyatanya yang jauh lebih kecil pun mereka pesan dari luar. "Ironis," kata Selarto Hadisoemarto kepada Yunus Kasim dari TEMPO. Pekan lalu di kantornya, Ketua Ikatan Perusahaan Industri Perkapalan Nasional Indonesia (Iperindo) yang juga Dir-Ut PT Tirtayasa Shipyar itu, menunjuk pada berbagai pesanan, antara lain 20 kapal niaga ukuran 9801.700 DWT dari Norwegia. Tapi yang paling menjengkelkan Dir-Ut Soelarto adalah pesanan 14 kapal kayu di bawah 100 DWT dari sebuah galangan kecil di Perancis. Itu mulanya diketahui pihak Iperindo dari sebuah iklan dalam koran Jakarta, tentang adanya tender bagi pembuat an kapal kayu. "Ya kami cuma bisa gigit jari, karena yang boleh ikut tender adalah pihak luar negeri," kalanya. "Kemudian kami mengetahui adalah galangan kecil di Perancis itu yang menang tender." Dia juga merasa sedih karena adanya pembelian 43 kapal sungai ukuran 90 DWT dari Belgia dan kapal ferry dari Jepang. Sedang dari Jerman Barat. sudah pula dipesan sejumlah kapal kecil untuk Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP). Sekjen Iperindo Wasono M.A. mengakui alasan yang dikemukakan Diqen Suhartojo tentang kemudahan dana dan pembayaran dari pihak luar negeri. Tapi dia juga berpendapat pembuatan kapal-kapal yang dibiayai dari bantuan (loan) negara-negara "donor" itu jatuhnya lebih mahal. Sebagai contoh dia mengemukakan impor kapal tunda dari Norwegia berkapasitas 1.000 PK yang berharga Rp 700 juta sebuah. Tapi ongkos angkutnya 10% (Rp 70 juta) sebuah. "Nah, dengan ongkos angkut itu saja kami sangup membuat kapal tunda ukuran 200 PK," katanya. Mengikat Sekjen Wasono mengakui ada bagian penting seperti alat navigasi dan electronika yang memang masih harus dipesan dari luar. Tapi yang mereka inginkan adalah agar disain kapal itu -- apalagi yang kecil-kecil -- diberikan pada pengusaha Indonesia. "Kalau baru disain saja para ahli kita sudah mampu," katanya. Juga mengingat loan itu bukan gratis, tapi harus dicicil kembali oleh pemerintah Indonesia, "kan wajar kalau pengusaha di sini kebagian membuat disain," sambung Wasono. Kalau demikian, maka bantuan dari luar negeri itu merupakan bantuan yang mengikat (tied aid). Tentang kemampuan untuk membuat kapal, pengusaha Indonesia bukan tak ada yang mendapat pengakuan luar negeri. PT IPPA Gaya Baru misalnya, pernah memenangkan tender internasional untuk membuat kapal 650 DWT, atas biaya loan dari Jepang. Dalam suatu kerjasama, pihak Spanyol juga kabarnya sudah setuju agar pembuatan badan kapal itu dilakukan oleh Indonesia. Tapi, kata Soelarto, mereka yang akan menentukan perusahaan Indonesia yang diangap bonafid untuk mengerjakannya. Kini di Indonesia terdapat 30 galangan kapal baja, kurang lebih 25 galangan kayu dan 50 perbengkelan kapal. Umumnya galangan itu bekerja di bawah kapasitas, terutama galangan kapal baja. Namun izin baru untuk membuat galangan, menurut pihak Iperindo, masih terus dikeluarkan. Menurut Warsono adalah pihak Departemen Perhubungan yang mengeluarkan izin itu. Sedang resminya, sejak 1976, industri perkapalan sudah masuk naungan Dep. Perindustrian. "Jadi kita sekarang merasa punya dua induk," katanya. Pihak Iperindo beranggapan kurang adanya iklim yang menunjang industri perkapalan. Secara tak langsung, itu dibenarkan oleh ir Soni Harsono, Direktur Industri Perkapalan pada Ditjen ILM. Soni membandingkan dengan Singapura yang, selain punya fasilitas yang lebih modern, juga memudahkan para pengusaha galangan karena tak usah bayar uang muka. "Mereka ditunjang oleh bank-bank di sana," katanya. Tapi omong-omong, siapa saja yang merupakan pembeli kapal di Indonesia ini? "Hampir semua departemen butuh kapal," kata Soelarto. "Boleh dibilang 90% dari pasaran di Indonesia adalah pemerintah."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus