INDONESIA dikenal sebagai negeri maritim. Tapi perkembangan
pembuatan kapal di dalam negeri jauh ketinggalan dibandingkan
dengan perakitan mobil. Dirjen Industri Logam dan Mesin (ILM)
ir. Suhartojo, dalam sebuah raker di HI Sheraton baru-baru ini
menyatakan "selama 1977 produksi kapal di dalam negen menurun
28%." Itu disebabkan "pembelian kapal baru maupun reparasi di
luar negeri meningkat bila dibandingkan dengan tahun
sebelumnya." Kesenangan orang Indonesia untuk memesan dari luar
negeri, menurut Dirjen Suhartojo, karena "masalah penyediaan
dana dan cara pembayaran yang lebih menguntungkan" di negara
penjual.
Para pembuat kapal di dalam negeri tentu saja merasa makin
kepepet. Sekalipun Presiden pernah menganjurkan agar kapal-kapal
ukuran 1.000 DWT ke bawah dibuat di dalam negeri, nyatanya yang
jauh lebih kecil pun mereka pesan dari luar. "Ironis," kata
Selarto Hadisoemarto kepada Yunus Kasim dari TEMPO. Pekan lalu
di kantornya, Ketua Ikatan Perusahaan Industri Perkapalan
Nasional Indonesia (Iperindo) yang juga Dir-Ut PT Tirtayasa
Shipyar itu, menunjuk pada berbagai pesanan, antara lain 20
kapal niaga ukuran 9801.700 DWT dari Norwegia. Tapi yang paling
menjengkelkan Dir-Ut Soelarto adalah pesanan 14 kapal kayu di
bawah 100 DWT dari sebuah galangan kecil di Perancis.
Itu mulanya diketahui pihak Iperindo dari sebuah iklan dalam
koran Jakarta, tentang adanya tender bagi pembuat an kapal kayu.
"Ya kami cuma bisa gigit jari, karena yang boleh ikut tender
adalah pihak luar negeri," kalanya. "Kemudian kami mengetahui
adalah galangan kecil di Perancis itu yang menang tender." Dia
juga merasa sedih karena adanya pembelian 43 kapal sungai ukuran
90 DWT dari Belgia dan kapal ferry dari Jepang. Sedang dari
Jerman Barat. sudah pula dipesan sejumlah kapal kecil untuk
Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP).
Sekjen Iperindo Wasono M.A. mengakui alasan yang dikemukakan
Diqen Suhartojo tentang kemudahan dana dan pembayaran dari pihak
luar negeri. Tapi dia juga berpendapat pembuatan kapal-kapal
yang dibiayai dari bantuan (loan) negara-negara "donor" itu
jatuhnya lebih mahal. Sebagai contoh dia mengemukakan impor
kapal tunda dari Norwegia berkapasitas 1.000 PK yang berharga Rp
700 juta sebuah. Tapi ongkos angkutnya 10% (Rp 70 juta) sebuah.
"Nah, dengan ongkos angkut itu saja kami sangup membuat kapal
tunda ukuran 200 PK," katanya.
Mengikat
Sekjen Wasono mengakui ada bagian penting seperti alat navigasi
dan electronika yang memang masih harus dipesan dari luar. Tapi
yang mereka inginkan adalah agar disain kapal itu -- apalagi
yang kecil-kecil -- diberikan pada pengusaha Indonesia. "Kalau
baru disain saja para ahli kita sudah mampu," katanya. Juga
mengingat loan itu bukan gratis, tapi harus dicicil kembali oleh
pemerintah Indonesia, "kan wajar kalau pengusaha di sini
kebagian membuat disain," sambung Wasono. Kalau demikian, maka
bantuan dari luar negeri itu merupakan bantuan yang mengikat
(tied aid).
Tentang kemampuan untuk membuat kapal, pengusaha Indonesia bukan
tak ada yang mendapat pengakuan luar negeri. PT IPPA Gaya Baru
misalnya, pernah memenangkan tender internasional untuk membuat
kapal 650 DWT, atas biaya loan dari Jepang. Dalam suatu
kerjasama, pihak Spanyol juga kabarnya sudah setuju agar
pembuatan badan kapal itu dilakukan oleh Indonesia. Tapi, kata
Soelarto, mereka yang akan menentukan perusahaan Indonesia yang
diangap bonafid untuk mengerjakannya.
Kini di Indonesia terdapat 30 galangan kapal baja, kurang lebih
25 galangan kayu dan 50 perbengkelan kapal. Umumnya galangan itu
bekerja di bawah kapasitas, terutama galangan kapal baja. Namun
izin baru untuk membuat galangan, menurut pihak Iperindo, masih
terus dikeluarkan. Menurut Warsono adalah pihak Departemen
Perhubungan yang mengeluarkan izin itu. Sedang resminya, sejak
1976, industri perkapalan sudah masuk naungan Dep.
Perindustrian. "Jadi kita sekarang merasa punya dua induk,"
katanya.
Pihak Iperindo beranggapan kurang adanya iklim yang menunjang
industri perkapalan. Secara tak langsung, itu dibenarkan oleh ir
Soni Harsono, Direktur Industri Perkapalan pada Ditjen ILM. Soni
membandingkan dengan Singapura yang, selain punya fasilitas
yang lebih modern, juga memudahkan para pengusaha galangan
karena tak usah bayar uang muka. "Mereka ditunjang oleh
bank-bank di sana," katanya.
Tapi omong-omong, siapa saja yang merupakan pembeli kapal di
Indonesia ini? "Hampir semua departemen butuh kapal," kata
Soelarto. "Boleh dibilang 90% dari pasaran di Indonesia adalah
pemerintah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini