PERUSAHAAN rokok kretek Grendel termasuk tiga besar di Jawa
Timur sesudah Gudang Garam dan Bentoel. Tapi pabrik Grendel di
Malang itu kini sedang sakit. Pada pertengahan April lalu
panitera Pengadilan Negeri Malang menempelkan secarik pengumuman
di pintu pabrik kretek yang memakai logo selot itu. Bunyinya: PT
Grendel di bawah pengawasan Bank Bumi Daya (BBD).
Pelaksanaan sita jaminan atas permintaan BBD, sudah diketahui
sebelumnya oleh direksi Grendel. Dua hari sebelum disegel,
direksi sudah mengumpulkan 6.000 buruhnya untuk diberi
penjelasan. "Kita disuruh cuti satu bulan," ujar seorang buruh
mengutip seorang pejabat Kantor Resort Tenaga Kerja Malang.
"Selama cuti itu upah mingguan tetap diberikan, tapi cuma
separoh."
Perusahaan yang berdiri sejak 1947 itu, rupanya tak mampu
mengembalikan kredit dari BBD sebesar Rp 1,5 milyar. Di samping
itu masih ada hutang lain sebanyak Rp 750 juta sebagai
tanggungan pita cukai tembakau. Menurut seorang pegawai Grendel,
pihak BBD dalam perjanjian terakhir sudah setuju agar PT Grendel
melunasi sebagian besar hutangnya -- kira-kira Rp 900 juta --
pada akhir Mei ini. Sisa hutangnya boleh dicicil dengan catatan
pihak BBD akan menempatkan orangnya dalam PT itu sampai semua
hutangnya lunas. Ternyata itu di luar kesanggupan pabrik
Grendel.
Tapi kemarahan BBD rupanya tak sampai di situ. Selain menunggak
hutang, mereka dianggap telah menyalahgunakan kredit itu dan
telah memasukkan laporan yang tidak benar. Apa betul? Dengan
hati berat, sebuah sumber yang dekat dengan PT itu membenarkan
tuduhan BBD. Kredit Rp 1,5 milyar yang mereka peroleh untuk
pembelian cengkeh, ternyata telah dibelikan tanah. Mereka,
menurut sumber tersebut, melakukan itu karena ingin memperluas
pabrik, agar bisa meraih pasaran yang lebih luas. "Ya itu semua
rupanya terpaksa mereka lakukan, meskipun itu bertentangan
dengan maksud pemberian kredit eksploitasi," katanya.
Persoalan pun makin bertumpuk karena PT Grendel juga tak mampu
mengembalikan kredit jangka pendek untuk pita cukai. Perusahaan
rokok besar biasanya memang memperoleh kredit tiga bulan untuk
membayar pita cukai. Dalam jangka pendek itu, Grendel harus bisa
membayar kembali. Kalau tidak, mereka akan sulit mengulangi
kreditnya untuk pembelian cukai selanjutnya. Dan Grendel
ternyata tak sanggup membayar kredit tersebut.
Agar roda mesin tetap berputar, pihak direksi pun cari akal
dengan menghubungi para peminjam uang di luaran. Mereka berhasil
mendapat pinjaman non-bank, tapi tetap tak mampu menambal
hutangnya. Sementara hutangnya dengan para peminjam uang di Jawa
Timur, menurut sebuah sumber di sana, sudah mencapai sekitar Rp
6 milyar.
Suka Promosi
Sementara itu di Malang timbul tekateki di antara para
pegawainya. Mengapa pabrik yang seharinya mencetak 12 juta
batang rokok itu sampai tenggelam dalam hutang? Pabrik yang
berdiri sejak 30 tahun lalu itu populer di antara para konsumen
yang umumnya di Jawa Timur. Harganya pun tak semahal Bentoel
atau Gudang Garam. Hubungan Grendel dengan BBD juga sudah
terbina sejak 6 tahun lalu.
Koresponden Dahlan Iskan yang melaporkan dari Surabaya, tak
berhasil menemui Dir-Ut Grendel Hariyanto. Akhir-akhir ini
Hariyanto (Tan Bun Hauw), 32 tahun, kabarnya lebih sering di
Jakarta. Anak muda itui selama jadi Dir-Ut, terkenal berani. Di
bawah kepemimpinan Hariyanto itulah timbul rencana untuk
menggenjot produksi dan meluaskan pasaran. Punya hobi berburu,
dan pernah tampil sebagai wakil Ja-Tim dalam olahraga menembak
dalam PON yang lalu, adalah Hariyanto yang dikenal suka bikin
promosi antara lain lewat pameran.
Melihat semua itu, seorang karyawan tua Grendel di Malang jadi
garuk-garuk kepala. "Coba kalau engko Sie Dong ada, pasti tidak
begini," katanya. Yang ia maksud adalah Tan Sie Dong, ayah
Hariyanto, yang sejak lama berobat di Amerika. Tan tua terkenal
konservatif. "Dia memang pelit, tapi orangnya tenang dalam
mengambil keputusan," katanya. "Bukan seperti anak-anak muda
sekarang."
Apakah Grendel bakal diselot untuk selama-lamanya Pekan lalu
ada kabar baik yang mungkin bisa menolong pabrlk yang menampung
banyak buruh itu. Dari pihak kantor cukai kabarnya sudah setuju
untuk memberi dispensasi selama tiga bulan. Juga para peminjam
uang di Jawa Timur, menurut pihak Grendel, sudah ada pengertian
untuk menangguhkan tagihan mereka. Pimpinan kini juga sudah
beralih ke tangan Basuki (Tan Gan Siang), saudara sepupu
Hariyanto, yang dianggap lebih cakap. Manajemen yang selama ini
lebih bersifat keluarga, juga akan dirubah. Salah satu jalan
keluar adalah dengan memasukkan para kreditur swasta itu sebagai
pemilik saham sebesar 50%.
Agaknya persoalan kini terpulang pada kebaikan BBD juga. Seperti
kata seorang karyawannya, "kalau BBD bersedia mencabut
penyegelan, saya kira dalam tempo satu tahun kredit mereka sudah
bisa dilunasi." Konon pihak BBD juga sudah setuju. Tapi pabrik
yang sudah terlanjur membeli mesin filter itu pasti tak akan
bisa menampung buruh sebanyak dulu. Dari Surabaya diperoleh
kelerangan, pabrik akan mulai bekerja pertengahan Mei ini. Namun
separoh dari buruhnya terpaksa diberhentikan.
Penggunaan mesin filter memang tak dilarang. Tapi menurut
peraturan dari Departemen Perindustrian, produksi kretek filter
cuma boleh untuk ekspor saja. Nyatanya, hasil mesin yang bisa
menghemat buruh itu, banyak dijual di pasaran dalam negeri,
disertai tulisan export quality (kwalitas ekspor) pada
bungkusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini