Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Batu ujian piala dunia

Tvri mengeluarkan biaya rp 900 juta untuk penayangan pertandingan langsung piala dunia. rcti membayar rp 300 juta ke tvri untuk hak penyiaran. tapi rcti lebih banyak menyiarkan pertandingan tersebut.

16 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FILSUF itu benar: demokrasi memang mahal dan membuat kesal banyak orang. Contoh paling aktual adalah dilema yang harus dihadapi Televisi Republik Indonesia (TVRI). Di saat dunia dan Indonesia dilanda demam bola, sekitar dua juta pasang mata siap dipaksa melek, demi menyaksikan Piala Dunia Italia 1990. Ironisnya, TVRI justru mengkhawatirkan mereka yang bukan penggemar bola. "Orang bisa senang dengan sepak bola, tapi itu bukan segala-segalanya," demikian Drs. Alex Leo Zulkarnaen, Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan RI. Padahal, empat tahun terakhir ini TVRI bersusah payah mencicil biaya penayangannya yang Rp 900 juta itu. Artinya, TVRI harus membayar Rp 200 ribu untuk setiap menit tayangan yang menampilkan "mi keriting hitam" Ruud Gullit atau "mi keriting pirang" Carlos Valderrama. Menilik biaya yang mahal itu, seharusnya bintang Belanda dan bintang Kolombia tersebut bisa lebih sering tampil di layar TVRI. Nyatanya, dari tiga pertandingan Regu Oranye di babak penyisihan, tak satu pun yang dapat dilihat langsung oleh penonton TVRI. Demikian pula dengan pertandingan lainnya. Tidak usah repot- repot menyiapkan sahu pada 20 Juni nanti. Sabar sedikit, dan skor Brasil melawan Skotlandia bisa diketahui melalui acara subuh RRI atau di halaman depan harian pagi. Atau boleh juga mendaftar menjadi pelanggan Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). Dari 52 pertandingan televisi swasta milik Grup Rajawali dan Bimantara ini menyuguhkan 41 siaran langsung dan 11 rekaman. Bandingkan dengan TVRI yang cuma menayangkan langsung partai pembukaan, semifinal, perebutan juara tiga dan empat, serta final. "Kami berprinsip sebanyak mungkin melakukan siaran langsung," ujar Humas RCTI, Zsa Zsa Quamila Tanzil. "Selain up to date, dengan siaran langsung pemirsa lebih terlibat dengan pertandingan yang ditontonnya." Walhasil, sejak bulan lalu permintaan pemasangan dekoder RCTI melonjak tiga kali lipat. "Daftar tunggunya panjang," tutur Zsa Zsa. Beberapa radio swasta di Ibu Kota juga tidak mau ketinggalan. Ramako FM 106.15 Stereo melakukan siaran langsung setiap Kamis antara pukul 18.00 dan 18.45. Selama 30 menit, Sumohadimarsis, yang khusus dikirim ke Italia atas biaya Ramako dan mingguan Bola, mengulas tuntas jalannya pertandingan. "Rencananya, kami juga akan mewawancarai Ruud Gullit, Marco van Basten, atau tokoh sepak bola lainnya, dalam bahasa Inggris," demikian Ria Stephani, Kepala Bagian Siaran Radio Ramako. Sementara itu, Radio Sonora FM 100.9 Mhz. mengirim Ronny Pattinasarani, mantan bintang sepak bola Indonesia, sebagai korespondennya di negeri spagheti itu. "Kami bekerja sama dengan Kompas," kata Djoko Sungkono dari Radio Sonora. "Rekaman percakapan dengan Rony dari Italia kami udarakan dalam siaran 2 menit dan diulang setiap satu jam." Rupanya, kinilah masa jaya buat siaran swasta. Dan Piala Dunia menjadi kiat tersendiri untuk merebut pangsa pasar. Mereka yang sekarang mendaftar di RCTI, misalnya, akan menjadi pelanggan minimal untuk 1 tahun ke depan. Maka, Rp 300 juta yang dibayar RCTI kepada TVRI untuk hak penyiaran Piala Dunia boleh dibilang murah. Ongkos lain menurut Zsa Zsa, bisa ditutup oleh sponsor. Bandingkan dengan komentar Adi Kasno, Kepala Sub-Direktorat Pemberitaan TVRI. "Selama pertandingan Piala Dunia, kami rugi terus!" ujarnya. Selama itu, TVRI memang tidak berpeluang menghimpun pendapatan. Padahal, merekalah yang berunding dengan konsorsium Eropa dan Asian Broadcasting Union (ABU) selama berbulan-bulan. Biaya terbesar, Rp 600 juta, untuk hak penayangan dan biaya teknis juga keluar dari kocek mereka. Untuk itu, TVRI terpaksa memecah celengannya: masing-masing Rp 300 juta dari iuran dan SDSB. Selebihnya, Rp 300 juta untuk ongkos satelit, sudah tertutup dari pembayaran RCTI. Apa tidak mengenaskan bila kemudian sebagian besar tayangan TVRI hanya berupa rekaman ulang (25 paket) dan jurnal ringkasan (22 paket). Padahal, menurut Adi Kasno, biaya itu tetap Rp 900 juta, andai kata TVRI menyiarkan seluruh paket Piala Dunia secara langsung. "Tidak semua orang Indonesia menyukai sepak bola," demikian Alex Leo berusaha menjelaskan. "Kebijaksanaan ini terpaksa dilakukan, agar program TVRI lain seperti Negeri Tercinta Nusantara tidak terganggu." Menurut Adi Kasno, kebijaksanaan itu juga diterapkan di televisi Italia saat ini. "Ada sekelompok pemirsa yang tidak senang bola, dan menuntut agar televisi menyuguhkan acara lain selain sepak bola," katanya. Lalu, masih ada dalih lain, juga dari Adi Kasno. Akibat perbedaan waktu yang 7 jam, pertandingan pukul 21.00 di Italia baru berakhir pukul 04.00 WIB. "Itu sama dengan pukul 06.00 WIT," ujarnya. "Kalau siaran dini hari dipaksakan, selama satu bulan ini penonton di Wilayah Indonesia bagian Tengah dan Timur baru bisa tidur setelah pukul lima atau enam pagi. Kami tidak menginginkan adanya dampak negatif. Masyarakat tetap harus bekerja dan pergi sekolah." Mungkin Adi lupa bahwa hari-hari Piala Dunia persis jatuh pada masa liburan sekolah. Sejauh yang menyangkut orang dewasa, melek untuk Piala Dunia kan sudah dilatih, misalnya - dengan melek untuk sahur belum lama berselang. Lagi pula, kalau dampak negatif itu yang diperhitungkan, buat apa TVRI sampai memecah celengan? Kini tak bisa dicegah, bila sebagian dari 6,4 juta pemilik televisi di Indonesia digayuti kecewa berat. Sementara itu, 125 ribu pelanggan RCTI di Jakarta berhak memutuskan sendiri, apakah besok akan bangun terlambat atau tidak. Sesudah Piala Dunia, mungkin masih akan banyak batu ujian yang harus dihadapi TVRI. Yudhi Soerjoatmodjo, S. Nurbaiti, Sri Indrayati (Jakarta) & A.B. Hutasuhut (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus