PERU bagaikan terbelah. Bukan oleh gempa bumi yang menggoyang negeri Amerika Tengah itu Jumat pekan lalu, tapi oleh pemilihan presiden yang diadakan Ahad 10 Juni kemarin. Seorang kandidat yang terkenal secara internasional, Mario Vargas Llosa, didukung oleh para orang kaya. Sementara tu, tokoh akademis yang tak ternama dan baru terjun ke politik beberapa bulan lalu, Alberto Fujimori namanya, mendapat sim- pati lapisan bawah, lapisan yang dihuni sekitar dua pertiga dari 21 juta warga Peru. Sudah barang tentu Fujimori yang menang. Meski itu baru kemenangan lewat pol (pengumpulan pendapat): ia diduga akan unggul 9 sampai 19 persen. Tampaknya, hasil pol tak akan jauh dari hasil pemilu sebenarnya. Llosa, kini 54 tahun, di depan massa sudah mengakui kekalahannya. "Saya menghargai pilihan rakyat Peru. Saya ucapksn selamat pada kemenangan Fujimori," katanya. Fujimori, 51 tahun (tapi tampangnya lebih muda 10 tahun), sebenarnya bukan cuma harapan si miskin. Ia adalah harapan negeri dan bangsa Peru untuk mengembalikan nama baik negeri ini. Dalam pemerintahan Alan Garcia Perez, presiden yang segera turun, nama baik Peru di mata lembaga keuangan internasional, dan sejumlah negeri pemberi utang, jatuh. Salah satu janji kampanye dia, mengembalikan nama baik itu dan merebut kepercayaan kembali. Alan Garcia, di masa kampanye lima tahun lalu, menyatakan kesanggupannya menangguhkan pembayaran utang luar negeri Peru demi pembangunan nasional bila terpilih. Janji ini rupanya demikian memikat, hingga menanglah dia. Dan benar begitu naik kursi kepresidenan, segera ia membuat pernyataan bahwa Peru hanya akan mencicil utang paling besar 10% dari hasil ekspornya. Ini tentu saja membuat marah Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan sejumlah negeri pemberi kredit. Tapi se- mentara itu ia mendapat sambutan dari rakyat di dalam negeri. Kebijaksanaan nekat ini memang mula-mula me- nyejahterakan ekonomi dalam negeri. Tapi dana pembangunan yang diperoleh lewat surplus yang bukan sebenarnya itu tak lama kemudian menyeret Peru jatuh dalam keadaan yang sebenarnya. Sejak 1986 ekonomi negeri ini merosot jatuh. Produktivitas industrinya terus menurun, sementara inflasi terus membubung. Tahun lalu, menurut perhitungan, inflasi itu mencapai 3.000%. Celakanya, lembaga-lembaga keuangan internasional telanjur marah, juga sejumlah negeri dan pihak swasta yang biasanya memberikan utang. Dalam suasana seperti itulah pemilihan presiden kali ini dilangsungkan. Mario Vargas Llosa, novelis yang kaya raya karena buku- bukunya, berkampanye dengan mobil sedan mewahnya, dengan sejumlah pengawal dan pidato-pidato yang tak gampang dipaha- mi rakyat lapisan bawah. Padahal dulu ia pernah menulis bahwa ada kehidupan yang sangat berbeda daripada yang ia alami di kawasan elite Lima, ibu kota yang memang jauh lebih makmur daripada pedalaman negeri ini. Jutaan orang Indian, katanya, hidup dengan menyedihkan di pelosok. Tak jelas, adakah Llosa ingat semua itu ketika ia mulai menjual gagasannya tentang swastanisasi perusahaan negara yang merugi terus, dan dijalankannya ekonomi pasar bebas untuk menyaingi inflasi yang terus terbang. Yang pasti, Fujimori, bekas rektor Universitas Pertanian, anak imigran Jepang yang mendarat di Peru pada 1934, melabrak ide Llosa. Dengan cara unik -- berkampanye bersama istri dan empat anaknya dengan berkendaraan traktor, tak banyak pengawal -- ia menentang ide swastanisasi dan ekonomi pasar bebas untuk Peru dewasa ini. Ia menjanjikan perubahan bertahap, yakni setelah tak ada rakyat yang menderita kemiskinan. Fujimori, yang baru membentuk partainya, Cambio 90 -- artinya Perubahan 90 tahun lalu, terjun dalam dunia politik konon dengan niat mengubah taraf hidup rakyat kebanyakan. Ia, anak kedua dari lima bersaudara, memang tahu apa artinya miskin. Ayahnya meninggalkan Kawachi, kota pantai di bagian selatan Jepang, pada 1930-an, ketika kota itu ditimpa kesulitan ekonomi, dan banyak orang yang bangkrut, termasuk si ayah. (Warga Kawachi kini menunuggu kemenangan Fujimori. Akan mereka rayakan besar-besaran). Ketika Perang Dunia II meletus, Peru yang merdeka dari Spanyol pada 1824 ditimpa wabah kriminalitas. Banyak orang yang sedikit makmur dirampok, termasuk ayah Fujimori. Toh Fujimori sukses sebagai rektor dan juga sebagai pengusaha real estate. Kampanyanye ia biayai dengan menjual sebagian harta miliknya. Dan mungkin karena jalan hidupnya, ia bisa dengan enak berbincang-bincang dengan siapa pun, terutama dengan rakyat lapisan bawah. Sebaliknya, Llosa kaku berada di antara mereka. Fujimori menganggap Llosa tak layak menjadi presiden karena pada usia remaja ia pernah mengisap mariyuana. Seperti diketahui, Peru, yang bertetangga dengan Kolombia ini, adalah negeri penghasil narkotik yang termasuk besar. Llosa balik menyerang, Fujimori seorang demagog (orang yang berjanji muluk-muluk). Untunglah, sikap keras Llosa hanya pada masa kampanye. Kini ia menganjurkan agar rakyat Peru membantu Fujimori, yang sempat menelan kecaman berbau rasialis: "Peru hanya untuk orang Peru," kata sebuah spanduk lawannya. Siapa pun yang menang, empat masalah besar menunggu diselesaikan: gangguan gerilyawan Maois Sendero Luminoso (Lo- rong Bersinar), kecenderungan mogok para pekerja, perdagangan narkotik, dan ekonomi yang merosot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini