Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sengketa songket

Ny. nurni yang ingin mengembangkan songket pandai sikek ditentang ribuan orang. rumah ny. nurni dihancurkan. songket tersebut sudah berusia 400 tahun tidak boleh diajarkan kepada orang lain.

16 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NYONYA Nurni, 46 tahun, dari desa Baruah, Pandai Sikek. Tanah Datar, Sumatera Barat, berhasrat mengembangkan kerajinan songket. Akhir bulan lalu, ia sekeluarga berangkat ke Payakumbuh, 50 km dari kampung halamannya. di kaki selatan Gunung Singgalang. Malam itu, sekitar dua jam setelah keberangkatannya, rumahnya yang terletak di sebelah kiri Masjid Haji Miskin -- tokoh Gerakan Padri abad ke-18 -- itu diserbu. Sekitar 2.000 orang pemuda dan anak-anak, bersenjatakan pentungan dan golok, menghujani rumah itu dengan batu. Sejumlah anggota Polsek Koto Baru kewalahan. Tiga jam kemudian, baru datang sekompi Brimob dari Padang. Sekitar pukul 2 dini hari, kerusuhan baru bisa diatasi. Tapi rumah sudah berantakan. Untung, anggota keluarga selamat. Nurni dituduh melanggar adat-istiadat. Konon, kepandaian menenun songket di Pandai Sikek tak boleh diajarkan kepada orang lain. "Itu berarti memberikan nafkah orang Pandai Sikek kepada orang lain," ujar Mas'ud Datuk Rajo Mangkuto. Menurut Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Pandai Sikek itu, sumpah ninik-mamak tersebut sudah berusia 400 tahun. Songket Silungkang -- biasanya untuk bahan pakaian pengantin -- memang khas dan diwariskan turun-temurun. Harganya mencapai Rp 150.000. Kini sudah dikembangkan sebagai barang ekspor. Sempat dua kali mengundang Anugerah Upakarti dari Presiden Soeharto -- 1988 dan 1989. Adat yang bermaksud memonopoli keterampilan menyongket itu sudah dikukuhkan para pemuka adat pada 1970 dan awal tahun ini. Mas'ud diperkuat oleh empat kepala desa. Tapi Nurni tak surut, bahkan ancaman pengucilan, secara adat ditampiknya. Lalu Mas'ud mengumpulkan seluruh ninik-mamak dan ibu-ibu PKK. Ia menulis surat protes kepada para pejabat, minta agar usaha tenun songket Nurni ditutup. Menurut Ketua KAN, sanksi adat akan dicabut bila Nurni menjamu makan 60 penghulu adat sembari minta maaf. Sekaligus menutup usahanya di Payakumbuh. Tapi Nurni dan Asrul, suaminya, tak merasa melanggar adat. "Nenek-nenek saya masih hidup, tapi mereka malah menasihatkan agar kepandaian tenun songket diajarkan kepada siapa saja yang berminat," ungkap mereka. Kamis pekan lalu, Mas'ud bersama pemuka masyarakat menemui Wali Kota Payakumbuh, minta agar usaha Nurni ditutup. Nurni membuka usaha songket sejak 1963 dengan 20 orang penenun. Produksinya sekitar 20 kodi sebulan, melayani para langganan di Jakarta, Medan, dan Malaysia. Ia sempat menjadi anggota rombongan yang mewakili Indonesia mempromosikan seni kriya di beberapa negeri Eropa. Pulang dari luar negeri, bisnisnya dihambat. Banyak karyawan dihasut agar keluar. Tapi ia tabah. Bisnisnya kini ada di Kelurahan Ngalau, Payakumbuh, bahkan diresmikan oleh Wakil Gubernur Sumatera Barat Sjoerkani. Kiosnya ditempatkan di gedung promosi wisata, persis di gerbang obyek wisata Ngalau Indah. Usaha Nurni beromset sekitar Rp 5 juta sebulan. Itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan pengusaha besar di Pandai Sikek, seperti Mas'ud sendiri -- yang kabarnya juga memiliki perusahaan songket di pinggir jalan raya Padang-Bukittinggi di luar Pandai Sikek. Ada dugaan bahwa aturan adat yang memonopoli keterampilan songket itu tak lebih dari "aturan pribadi". Beberapa pemuka adat merasa tak pernah mendengar aturan seperti itu. "Di zaman modern seperti sekarang ini, mana ada aturan picik seperti itu," kata Gubernur Hasan Basri Durin, yang juga Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau itu. "Kami akan usut tuntas main hakim sendiri itu," kata Kapolres Tanah Datar Letkol. Liberty. "Saya tak punya hubungan lagi dengan para pemuka adat Pandai Sikek, karena itu mereka tak berhak mengganggu kami. Kami sudah bukan lagi orang sana," ucap Nurni. Fachrul Rasyid H.F.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus