REAKSI terhadap RUU Perubahan UU Pokok Pers tetap hangat.
Bahkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ikut meramaikannya dengan
mengadakan satu diskusi panel pekan lalu. Sementara di DPR
sendiri, pemandangan umum fraksi-fraksi atas RUU itu berlangsung
lima belas hari setelah Menpen Ali Moertopo mengajukannya.
Kini pembahasannya memasuki tingkat ketiga, yakni antara Panitia
Khusus DPR dan pemerintah. "Pembahasan berjalan lancar dan
telah menyelesaikan pasal 1 ayat 1 dari RUU yang diajukan
pemerintah," tutur Santoso Tosani, Ketua Panitia Khusus (Pansus)
RUU Pokok Pers. Pasal 1 itu antara lain mengenai peristilahan.
Misalnya, kata "alat revolusi" diubah jadi "alat perjuangan
nasional."
Tapi hal yang paling kontroversial dari RUU itu ialah
diperkenalkannya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Dan
hal yang melegakan ialah lembaga Surat Izin Terbit (SIT
ditiadakan, meskipun ada kekhawatiran kehidupan pers di
Indonesia masih akan dihinggapi ketidakpastian. Dengan SIT,
pembekuan sudah beberapa kali terjadi. Nanti, dengan SIUPP,
bagaimana?
Tosani, yang juga Wakil Ketua Komisi I (membidangi Hankam,
Penerangan dan Luar Negeri) DPR, mengumpama-kan kedua jenis
lembaga perizinan itu sebagai aliran sungai. SIT, katanya,
bagaikan bendungan yang menahan aliran sungai dan mengatur
lajunya air. Sedang SIUPP, menurut dia, justru memelihara
sumber/mata air sungai itu yang jernih dan bermanfaat.
"SIUPP akhirnya akan mensyaratkan wartawan harus ikut
handarbeni, ikut memiliki, misalnya saham perusahaan," kata
Rusli Desa, jurubicara Fraksi Karya Pembangunan dalam
pemandangan umum DPR itu. Kalau begitu, wartawan semestinya
gembira menyambut SIUPP.
Menpen Ali Moertopo ketika di DPR menyampaikan jawaban
pemerintah memang mengatakan, "kedua lembaga (SIT dan SIUPP)
tersebut mempunyai napas dan jiwa yang berbeda satu dengan yang
lain." SIT, katanya, suatu prevensi yang dirasakan terlalu ketat
terhadap kebebasan pers, mengingat situasi dan kondisi waktu
itu. Sedang SIUPP, katanya, bertujuan mengatur kehidupan pers
yang berjiwakan Pasal 28 UUD 1945, dan Pasal 33 mengenai
manajemennya.
Tapi SIUPP bagi banyak kalangan masih belum jelas. Misalnya,
"sampai di mana SIUPP ini diperlakukan dalam kehidupan pers,"
kata Drs. M.W. Mamarimbing, dari Fraksi PDI di DPR. "Jawaban
pemerintah tidak jelas," bagaimana "benda" (SIUPP) itu,
sasarannya ke mana dan dalam prakteknya nanti mau
dibagaimanakan.
Hal yang belum jelas itu -- perizinan usaha penerbitan pers dan
hubungannya dengan kebebasan pers -- justru paling ramai dibahas
dalam diskusi panel LBH. Pembicara Prof. Oemar Seno Adji SH
membahasnya dengan mengutip suatu hasil studi koparatif yang
diadakan Fernand Terrou. Lucien Solal dengan Sponsor Unesco.
Yaitu ada tiga jenis peraturan media informasi: Code of
publication, Code of profession dan Code of enterprise. Ini
dihubungkan dengan adanya istilah "perusahaan pers" dalam RUU
Pokok Pers itu.
Menurut Seno Adji, perusahaan pers dapat dikategorikan dalam
code of enterprise. Bukan code of publication, yang berkaitan
dengan kebebasan pers. Juga bukan code of profession yang
biasanya bersangkutan dengan kode etik atau perilaku profesi.
SIUPP jelas "masuk code of enterprise," kata Seno Adji, sebab,
SIUPP lebih menekankan faktor ekonomis dan manajemen
perusahaan. Maka, menurut dia, masih harus ada jaminan yang
cukup bagi kebebasan pers. Bagaimana jelasnya, suara pihak
pemerintah tentu saja layak didengar (lihat wawancara).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini