Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Beli obat, jual merk

Bisnis dalam dunia obat-obatan. terjadi persaingan diantara kalangan PBF, sehingga sering terjadi perbedaan harga yang menyolok. bahan baku yang mahal & tidak adanya kontrol, sehingga harga obat mahal.(eb)

17 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HITUNG-hitung, orang sakit zaman sekarang lebih banyak menyerahkan uangnya buat keuntungan kaum usahawan ketimbang "membeli khasiat" obat untuk penyembuhan. Terbukti, ada apotek di Jakarta yang memetik keuntungan sampai 137,5%. Untuk memperkecil biaya produksi obat, yang diharapkan meringankan beban si sakit, awal bulan ini Presiden soeharto menginstruksikan kepada Menteri Kesehatan Suwardjono Surjaningrat, agar segera mencari bahan baku yang murah. Tapi, Menteri Kesehatan pernah mengatakan salah satu faktor yang mendorong tingginya harga obat ialah tidak sehatnya cara-cara penetapan biaya produksi oleh pabrik. Tamakkah mereka mengambil laba? "Untuk mendapat keuntungan 5% saJa susahnya bukan main," kata Con Sradaputta, Direktur Pemasaran PT Ciba-Geigy di Jakarta. Induk semang 19 perusahaan farmasi, Wim Kalona, juga berpendapat demikian. Sudirman, 61, Direktur Utama PT Tempo, menyebut keuntungan perusahaan ketika memberikan obat ke distributor - perusahaan besar farmasi (PBF) - cuma 6,25%. Dana promosi juga disebut orang turut mendorong tingginya harga obat. Menurut Sudirman, porsi anggarannya hanya 10%. Tapi, menurut Kalona, mencapai 15%. Sumber TEMPO menyebutkan, ada perusahaan farmasi yang mengeluarkan dana promosi sampai 35% dari nilai obat jadi. Kebijaksanaan untuk menetapkan harga memang sangat beragam. PT Tempo misalnya, seperti kata Sudirman, menerapkan subsidi silang. Obat yang mendapat pasaran baik di jual dengan keuntungan tinggi. Yang kurang mendapat pasaran dijual dengan merugi. Menurut bekas Ketua Umum PBSI itu, jenis kedua itulah yang banyak. Baik tidaknya pasaran suatu obat turut menciptakan perbedaan harga suatu jenis obat suatu negeri dengan negeri lainnya. Keluhan tentang ini cukup banyak. Majalah farmasi Pharmacon Berichter, terbitan Belanda, melaporkan bahwa harga Aspirin 50 mg di negeri itu Rp 56. Di Indonesia, obat ini cuma Rp 27,50. Sebaliknya, obat wasir Anusol yang di Negeri Belanda berharga Rp 144 di Indonesia malah Rp 250. Dalam pcmasaran obat, kata Sudirman, bermain masalah psikologis. Yang dia maksud ialah sikap dan keyakinan konsumen terhadap suatu jenis obat. Antalgin, sebagai contoh, yang dibuat PT Dupa dengan memakai nama generik Antalgin, hanya dijual Rp 22 per tablet. Dari generik yang sama - khasiatnya tentu sama pula produk Hoesch dengan nama paten Novalgin masuk pasar dengan harga Rp 50 per tablet. "Orang ingin bayar nama. Obat dengan generik sama, dengan kepercayaan yang berbeda, dapat mempunyai khasiat yang berbeda 40%," kata Kalona. Faktor sugesti, katanya, berperan dalam penyembuhan. Nama dagang yang ditempelkan pada obat memang melahirkan harga berbeda, walaupun generik yang dipergunakan sama. Harga yang jauh berbeda pada beberapa apotek, untuk merk obat yang sama, dijumpai di Jakarta. Antibiotika Dumocycline, produksi Dumex dari generik Tetracyclinc, dijual di Apotek Titi Murni, Kramat, Jakarta Pusat, Rp 142,50. Tapi Apotek Fajar di Senen, Jakarta Pusat, dan Safari di Tebet, Jakarta Selatan, masing-masing menjualnya Rp 90 dan Rp 85 per kapsul. Sebuah toko obat di Pusat Perdagangan Senen, menjualnya tanpa izin, padahal obat ini harus dibeli dengan resep dokter. Harganya cuma Rp 75. Harga netto apotek (HNA) obat itu sebetulnya hanya Rp 60, dan biasanya PBF memberikan potongan harga lagi bagi apotek. Seandainya obat itu dibeli dengan HNA, dan dijual Rp 142,50 per kapsul, keuntungan sudah mencapai 137,5% - jauh di atas ketentuan Departemen Kesehatan (1980) yang mengizinkan apotek menarik laba tak lebih dari 33%. Perbedaan harga yang mencolok antarapotek ini pun terjadi di Surabaya. Salah satu apotek menjual pil KB, Ovostat, Rp 1.400 per kemasan, tapi di apotek lain harganya cuma Rp 400. Kedua harga ini berada di bawah standar informasi harga obat (IHO), yang mcncantumkan harga Ovostat Rp 1.600. Agaknya, ketentuan IHO - yang jauh lebih tinggi dari harga yang dapat diberikan apotek - mencerminkan bahwa tak ada orang yang mampu mengontrol harga obat. Keberanian apotek untuk banting harga pun mungkin pula jadi pertanda terjadinya persaingan tajam dalam bisnis ini. Persaingan pun terjadi di kalanga 860 PBF, yang berebut menyalurkan produksi 286 pabrik. Selain dari keuntungan pengusaha, kemasan yang mahal, dan dana promosi yang tinggi, mahalnya harga obat yang dikeluhkan masyarakat juga bersumber pada bahan baku obat. Hingga kini, produksi obat dalam negeri, yang sudah memenuhi 98% kebutuhan nasional, masih tergantung pada impor yang porsinya mencapai 95%. Usaha mencari bahan baku obat yang murah pun tampaknya tak gampang. "Tingginya ketergantungan klta pada impor," kata Utarto, Direktur Utama PT Kimia Farma, "terjadi karena sarana teknologi kita belum mampu untuk mengolahnya." PABRIK farmasi PMA, 37 buah, sekarang masih harus mendatangkan bahan baku dari pabrik induknya di luar negeri. "Ini menyangkut mutu dan nama perusahaan," kata Dr. Frans Tshai, Direktur Medis Ciba-Geigy. Konon, kewajiban memproduksikan bahan baku setelah beroperasi lima tahun tak pula sepenuhnya dipatuhi. Tapi tak berarti kalau dipergunakan bahan baku bikinan dalam negeri, harga obat lantas jadi murah. Ethambutol, bahan baku obat TBC, buatan dalam negeri sekarang Rp 52.600 per kg. "Ethambutol impor cuma Rp 50.500," ujar E. Nugroho, Direktur PT Wismo Husodo, importir bahan baku obat. Dari pabrik-pabrik farmasi, kini Indonesia dibanjiri lebih dari 7.200 macam obat. "Swasta sangat leluasa di bidang ini," kata Direktur Jenderal POM, Dr. Midian Sirait. Dari nilai obat yang beredar di Indonesia dalam setahun, Rp 500 milyar, yang disalurkan unit pelayanan kesehatan pemerintah cuma Rp 55 milyar. Dalam jumlah ini obat bikinan perusahaan farmasi negara cuma Rp 18,5 milyar, atau hanya 3,7% omzet dalam setahun. Medan usaha di bidang ini memang masih terbuka luas, apalagi kongres Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia di Semarang, minggu lalu, menaksir bahwa Indonesia masih harus menambah 2.000 apotek lagi, di samping 1.700 buah yang ada sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus