Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari jepang mengharap apa?

Kunjungan delegasi kerja sama ekonomi jepang, dipimpin oleh okita, 69. dalam repelita iv pemerintah indonesia mengharapkan agar jepang mempertahankan porsi impor minyak indonesia. (eb)

17 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENTU maklum, minyak bumi dan gas alam cair (LNG) masih akan merupakan sumber terbesar penerimaan Repelita IV, 1984/85-1988/89. Dan selama ini Jepang-lah pembeli terbesar: menglmpor minyak rata-rata 15% dan LNG sekitar 50% kebutuhannya per tahun dari sini. Itulah sebabnya, pekan lalu, Presiden Soeharto berpesan kepada delegasi kerja sama ekonomi Jepang agar tidak mengurangi porsi Impor minyak Indonesia. Tapi Jepang tidak mengumbar janji. "Kami datang untuk melihat kemungkinan kerja sama ekonomi dan teknik, terutama dalam Repelita IV Indonesia," tutur ketua delegasi, Saburo Okita, 69, yang pernah menerima Bintang Mahaputra dari pemerintah Indonesia. Bekas menteri luar negeri itu, yang pernah menjabat Kepala Perencanaan Umum di Badan Perencanaan Ekonomi dan Departemen Pos Giro Jepang, tahun lalu dua kali datang ke Jakarta untuk berdiskusi mengenai kerja sama ekonomi sehubungan dengan Repelita IV. Kali ini, penasihat Departemen Luar Negeri dan Rektor Universitas Internasional (Kokusai Daigaku) itu memimpin delegasi yang bertemu dengan Presiden, Bappenas, dan 12 menteri Kabinet Pembangunan IV, selama lima hari awal bulan ini. "Pokok permintaan pemerintah Indonesia, supaya kami jangan menurunkan persentase minyak Indonesia, malah kalau bisa meningkatkannya," kata Okita kepada wartawan TEMPO, Seichi Okawa, setelah delegasinya mendarat di lapangan udara Narita, Tokyo, Sabtu lalu. Impor minyak dari Indonesia, menurut data Departemen Perdagangan dan Industri Internasional Jepang (MITI), tahun lalu cuma 14,21%, persentase paling rendah selama lima tahun terakhir (lihat: Statistik). September lalu, PM Nakasone sendiri berjanji kepada Direktur Utama Pertamina, Joedo Sumbono, bahwa 15% kebutuhan minyak Jepang akan dipertahankan dari Indonesia. "Pemerintah hanya bisa menganjurkan, sebab importir adalah perusahaan swasta yang biasanya melihat keadaan pasar. Jika harga minyak Indonesia disesuaikan dengan keadaan pasar, mungkin porsi yang diimpor dari Indonesia tidak akan berkurang," kata Saburo Okita yang pernah menjabat Direktur Utama Pusat Riset Ekonomi Jepang JERC) dan Presiden OECF (Overseas Economic Cooperation Fund) itu. Maksudnya, agar Indonesia mau menjual minyaknya di bawah harga resmi US$ 29,5 per barel - seperti Iran. Ada gejala, belakangan ini, importir Jepang tertarik pada minyak RRC yang harganya "fleksibel" sdan juga "aman" - karena dekat. Minyak RRC, yang pada 1979 cuma diimpor 3,02% kebutuhan per tahun Jepang, meningkat hingga 5,22% tahun silam. Bahkan dari ladang minyak RRC di Laut Bohai, yang dikerjakan patungan dengan Jepang, akan berproduksi rata-rata 250.000 barel per hari sekitar 1985. Dan Jepang, menurut perjanjian, akan menerima separuhnya. Ancaman minyak RRC juga tampak dari permintaan perusahaan listrik: pemakaian dari 16,7% pada 1979 beringsut naik menjadi 32,64% tahun silam. Selain itu, sebuah sogo shosha (perusahaan dagang) mcmperhitungkan kebutuhan minyak untuk pembangkit tenaga listrik akan merosot dari 17,4 juta kiloliter tahun lalu menjadi 10,5 juta kiloliter pada 1987. Dari data itu, Jepang mungkin bisa mempertahankan impor minyak Indonesia dalam porsi 15%, walaupun jumlah tonasenya tak meningkat. Tapi, "tak perlu terlalu khawatir," kata Saburo Okita. Sebab, kebutuhan minyak dalam negeri RRC sendiri pasti akan meningkat, katanya, begitu pula kebutuhan Jepang pasti bertambah. Yang jelas, katanya lagi, perusahaan swasta akan berpaling pada penawaran yang menguntungkan. Tetapi, jika pemerintah Jepang campur tangan," mereka juga akan cukup mengerti kepentingan Indonesia." Selain diminta mempertahankan porsi impor minyak Indonesia, delegasi Okita diminta juga meningkatkan impor barang-barang nonminyak, seperti karet, gula, kayu, tekstil, dan pelbagai suku cadang elektronik. "Tapi itu buat seluruh dunia bukan uma Jepang. Dan yang menjadi penting baru-baru ini adalah aluminium dari Asahan," tutur Okita. Lebih dari itu, Jepang juga diminta mengkembangkan perusahaan kecil dan menengah, berikut latihan bagi orang yang berbakat. Sebab, seperti diakui duta besar Jepang di Jakarta, Toshio Yamazaki, di Seminar LIPI, Kamis pekan lalu, investor Jepang selalu memilih partner usaha di Indonesia dari kalangan nonpri. Namanya juga permintaan, tentu tak semuanya terpenuhi. Apalagi, kabarnya, pemindahan teknologi dan keahlian, di bidang perikanan misalnya, sulit sekali diharapkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus