KANTOR Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan Ali Wardhana, di Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, tampak lebih sibuk dan biasa, awal pekan ini. Beberapa menteri, terutama yang tergabung dalam tim Ekuin, sudah sejak dua pekan lalu menghabiskan harinya di sana, sering sampai larut malam. Maklum, mereka sudah harus siap membagikan Buku RAPBN 1988-89 kepada para menteri dan pejabat tinggi lain, di sidang pleno Kabinet, 30 Desember ini. Sementara sidang reguler OPEC di Wina, yang dibuka 9 Desember, ketika berita ini turun Selasa dinihari, belum dimulai. Dengan sendirinya, belum diketahui berapa harga sebarel minyak yang akan ditentukan sebagai perhitungan dalam anggaran pemerintah yang akan datang. Tentu semua orang berharap bisa di atas 15 dolar. Presiden sendiri telah menginstruksikan kepada Menteri Pertambangan dan Energi Subroto agar harga minyak tak bergeser dari 18 dolar per barel. Suatu instruksi yang tidak ringan, mengingat beberapa anggota OPEC masih memimpikan harga minimal yang 20 dolar, di tengah glut OPEC 1,5-2 juta barel sehari. Sementara di medan OPEC orang bertarung, para pengamat di Amerika masih diliputi rasa waswas, apakah keputusan untuk mengurangi defisit perdagangannya akan terus dilakukan dengan merendahkan nilai tukar dolar terhadap yen dan mark Jerman. Jika itu yang dilaksanakan -- untuk mencapai stabilitas nilai tukar yang menguntungkan -- sama saja artinya dengan penyunatan massal. Devaluasi yang mengejutkan dan segera memang tak nampak akan dilakukan. Pemerintah AS toh harus menjaga agar dolar tetap menarik untuk dicari dan ditabung, namun penyunatan tetap suatu penyusutan. Kalau benar dolar sampai disunat, akibatnya memang bisa merembet jauh, sampai ke Indonesia. Boleh dibilang, sepertiga dari hasil minyak Indonesia diekspor ke AS. Juga sebagian besar dari kayu lapis kita masih bergantung pada pasang-surutnya pasaran di negeri Madonna. Dan ekonomi Indonesia belum siap untuk menerima dolar yang berkurang banyak nilainya. Skenario jatuhnya dolar itulah yang, kabarnya, tak lepas dari perhitungan para "teknokrat". Di dalam negeri, lain lagi ceritanya. Kelebihan rezeki uang minyak, sekitar Rp 1,3 trilyun di atas yang dianggarkan, oleh banyak anggota DPR, termasuk dari Golkar, dilihat sebagai alasan tepat untuk menaikkan gaji pegawai negeri. Maklum, sang gaji memang sudah tak dikutak-katik selama tiga tahun. Dan, ini yang menyedihkan, sudah pula dipangkas oleh devaluasi nilai rupiah sebanyak 45% di bulan September tahun lalu. Jawaban dari pemerintah masih samar-samar. Dan Menteri Keuangan Radius Prawiro belum mau bicara banyak ketika ditodong dengan desakan gaji naik. "Masih perlu dihitung dulu," katanya dalam rapat kerja dengan DPR barusan. Pertanda gaji akan naik tadinya memang ada. Dan pertanda itu, tentunya, tak terlepas dari harga minyak. Dalam wawancara dengan TEMPO, beberapa waktu silam, Menteri Subroto masih merasa optimistis, harga minyak akan bisa didongkrak dua dolar, dari harga rata-rata yang ketika itu mencapai 18 dolar sebarel. "Bisa naik menjadi 19-20 dolar sebarel di akhir tahun ini," katanya. Tapi bayang-bayang naiknya harga minyak mendadak ambrol ketika bursa Wall Street diguncang gempa Senin Hitam. Nilai dolar segera merosot, dan sejumlah negara OPEC mulai berlomba menyedot minyaknya di atas kuotanya. Harga minyak pun mulai melemah, turun 1-2 dolar sebarel. Harganya bisa lebih merosot, kalau Iran tetap ngotot harga dasar minyak harus ditetapkan minimal 20 dolar sebarel. Dan Irak tetap bersikeras minta jatahnya dinaikkan paling kurang 2,4 juta barel sehari, setingkat kuota Iran. Adalah menarik mengapa pemerintah menginginkan agar harga minyak minimal dapat bertahan pada 18 dolar sebarel. Angka itukah yang menjadi ancer-ancer untuk perhitungan anggaran mendatang? Kalau benar, itu berarti kenaikan 50 sen dolar dari harga ekspor rata-rata yang 17,50 dolar per barel sekarang. Malangnya, tambahan yang sedikit itu, jika benar terjadi, akan tertelan oleh revaluasi mata uang kuat, seperti yen. Tapi Menteri Sumarlin sendiri buru-buru menutup spekulasi itu. "Saya belum berani meramalkan berapa harga minyak yang akan dipakai dalam perhitungan RAPBN," katanya. Namun, Sumarlin sempat memberi indikasi bahwa RAPBN 1988-89, "Akan naik sedikit." Adakah kenaikan itu, seberapa pun kecilnya, akan dilimpahkan ke pos anggaran rutin, untuk sekadar menambal gaji pegawai negeri ? Tak mudah jawabnya. Anggaran yang baru, seperti kata Sumarlin, masih akan tetap ketat sifatnya. Biasanya, di saat tipisnya dana, pemerintah agaknya tak begitu suka mendahulukan pos anggaran rutin, seperti belanja pegawai. Satu dan lain hal, karena tindakan itu, sedikit banyak, akan bisa melecut tingkat inflasi. Tapi alasan lain yang membuat orang berkerut, juga dikemukakan seorang pejabat ekonomi. Naiknya anggaran rutin dengan 10 persen saja berarti pemerintah mengorbankan anggaran pembangunan," katanya. Pembiayaan defisit? Nah, itulah yang agaknya ditunggu-tunggu sementara orang, sebagai upaya melunasi dunia bisnis, dan gaji pegawai. Tapi pendapat seperti itu, yang juga terlontar di DPR, mustahil akan ditempuh pemerintah yang, sejak 20 tahun silam, taat pada prinsip anggaran seimbang. "Asas ini tetap diikuti karena telah terbukti dapat membawa pembangunan klta tanpa diganggu oleh tingkat inflasi yang bersumber dari APBN," kata Radius. Menteri Radius boleh menambahkan, pemerintah akan rajin mencicil utang luar negeri, benkut bunganya, yang di tahun anggaran 1987-88 mencapai sekitar US$ 11 milyar. Dari sana pula agaknya orang menduga, sang gaji, untuk kesekian kalinya, akan parkir di tempat. Kecuali kalau pemerintah beranggapan, ada pertimbangan lain yang mengharuskan gaji naik. Fikri Jufri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini