SEBUAH kabar buruk buat mereka yang sedang membangun rumah: harga bahan bangunan naik. Harga besi beton, misalnya, sudah merangkak naik sejak bulan lalu: dari Rp 420 menjadi Rp 520 per kilogram. Menurut Presiden Direktur Krakatau Steel, Tungki Ariwibowo, kenaikan harga besi beton itu, karena "harga scrap (bahan baku besi beton) yang diimpor juga naik." Harga bahan baku besi beton itu naik, katanya, karena negara pemasok Amerika akhir-akhir ini cenderung memakainya untuk kebutuhan di dalam negeri. Tak heran bila harganya, Juni lalu masih US$ 110 per ton, dalam tempo lima bulan sudah berubah menjadi US$ 160 per ton. Sejak awal Desember, seperti diungkapkan Tungki pada acara dengar pendapat di depan Komisi VI DPR, pekan lampau, harga impor bahan baku itu sudah turun menjadi US$ 140 dolar per ton. Tapi, harga jual besi beton di dalam negeri tak ikut bergerak turun: tetap Rp 520 per kilogram. Maka, kontraktor besar, terutama yang mengerjakan proyek-proyek pemerintah, seperti bangunan rumah Perumnas banyak yang mengeluh. Apalagi, seperti dikatakan Menteri Perumahan Rakyat Cosmas Batubara, pemerintah tidak akan menaikkan harga rumah untuk rakyat. Bagaimana agar harga rumah tetap terjangkau rakyat kecil dan kontraktor tak rugi? Resep Cosmas: para kontraktor harus membangun rumah-rumah tipe kecil -- yang disebutnya sebagai rumah tumbuh. Rumah tipe ini tak perlu dibangun dengan bahan-bahan bangunan yang dlpakai untuk rumah-rumah real estate. Misalnya, "dindingnya tak perlu diplester, atau lantainya cukup dengan semen," kata Cosmas. Tipe yang dianjurkannya adalah tipe 15, 21, dan 28 m yang harga jual maksimum Rp 4,3 juta. Kenaikan harga-harga bahan bangunan, menurut Cosmas, tak berarti membuat harga jual rumah harus ikut naik. "Kan, tidak semua harga bahan bangunan naik," katanya. "Kalau permintaan REI (Real Estate Indonesia) diikuti terus, siapa yang mau beli rumah dengan harga yang tinggi?" Sebuah dilema pelik buat REI. Karena itu, REI, seperti diungkapkan Ketua III Enggarkiasto Lukito, menaikkan harga jual rumah tidak sebesar kenaikan harga bahan-bahan bangunan. "Agar harga rumah tetap terjangkau oleh masyarakat," katanya. Presiden Direktur PT Bangun Tjipta Pratama ini menambahkan bahwa harga bahan-bahan bangunan meningkat rata-rata 20%, sedangkan developer hanya menaikkan harga jual rumah 5% sampai 10%. Toh, pasaran rumah, terutama untuk kelas menengah, tetap sepi. "Banyaknya pengunjung mendatangi kompleks perumahan ternyata tidak mencerminkan realisasi pembeliannya," kata Enggarkiasto. Karena itu, pengurus REI mengimbau pemerintah agar menaikkan standar harga rumah, yang pembangunannya dilaksanakan dengan kredit Bank Tabungan Negara (BTN). Selama ini, harga standar itu dipatok 75% dari harga standar tipe C Cipta Karya tahun 1985. Untung, kerugian developer atas harga bangunan bisa dikompensasikan dengan harga tanah. Yang juga diharapkan REI adalah perubahan desain dan spesifikasi bangunan yang ditetapkan BTN. Kata Enggarkiasto, Direktur Utama BTN Sasonotomo sudah memberi lampu hijau mengenai desain dan spesifikasi rumah sederhana yang bisa disamakan Perum Perumnas. "Tapi, itu baru keluar dari omongan," katanya. "Belum dituangkan sebagai peraturan pemerintah." Penurunan standar bestek pembangunan perumahan non-Perumnas, terutama untuk tipe rumah 36 m2 ke bawah, sudah diperkenankan September lalu. Tembok, misalnya boleh tak dibobok. Bahkan langit-langit pun tidak perlu dipasang, kecuali permintaan konsumen lain. Itu, kata Sasonotomo, terserah kesepakatan konsumen dengan developer. "Yang penting," katanya, "developer membangun sesuai dengan persetujuan BTN, seperti tertuang dalam CL." Ketika ditanya mengenai patokan 75% dari standar harga bangunan Cipta Karya, Sasonotomo mengelak untuk menjawab. "Itu yang menentukan Ditjen Cipta Karya, Departemen PU," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini