CADANGAN devisa di Bank Sentral bagaikan air Danau Toba yang senantiasa harus dijaga ketinggiannya. Jika turun terlalu banyak, bisa timbul krisis. Kalau danau devisa di BI turun drastis, orang pun cemas memikirkan kemungkinan devaluasi. Dalam dengar pendapat dengan DPR pekan silam, Menteri Keuangan J.B. Sumarlin mengatakan bahwa cadangan devisa sudah mencapai US$ 6 milyar lebih. Nah, apakah pada ketinggian itu, cadangan devisa masih bisa dibilang aman? Jawabnya barangkali "ya", karena angka Sumarlin tadi sudah lebih baik dibandingkan posisi devisa di Bank Sentral pada Oktober 1988 yang sempat turun sampai US$ 5,8 milyar (lihat Grafik). Bank Dunia, dalam laporannya yang diterbitkan April lalu, menyebutkan cadangan devisa kita diperkirakan malah sudah turun sampai US$ 5,5 milyar. "Devisa sebanyak itu hanya cukup untuk menutup kebutuhan impor netto 3,8 bulan," kata Bank Dunia. Impor netto adalah semua pembelian luar negeri, yakni barang-barang migas dan nonmigas. "Target yang harus dicapai adalah cadangan devisa yang bisa menutup kebutuhan impor netto lima bulan," kata Bank Dunia. Itu berarti, cadangan yang mesti dipelihara kini haruslah sekitar US$ 7,2 milyar. Pemerintah biasanya memang memelihara cadangan devisa yang cukup untuk menutup kebutuhan enam bulan impor barang-barang bukan migas. Pakdes (paket deregulasi Desember 1988), yang memangkas benteng-benteng impor, rupanya telah menambah besar pembayaran barang-barang dari luar negeri. Lihat saja angka-angka impor yang keluar dari sidang-sidang Kabinet (Ekuin) belakangan ini -- naik menjadi rata-rata US$ 1,2 milyar per bulan. Jika danau devisa di Bank Sentral harus menutup kebutuhan impor enam bulan, cadangan yang harus dipelihara minimal US$ 7,2 milyar. Ini cocok dengan perhitungan Bank Dunia di atas. Tapi, otoritas moneter -- yang dijabat Menko Ekuin Radius Prawiro, Menkeu Sumarlin, dan Gubernur Bank Sentral Adrianus Mooy -- kelihatannya belum merasa perlu mengisi cadangan devisa denan menarik standby loan alias pinjaman tunggu. Tak jelas mengapa. Hanya pekan silam Sumarlin mengatakan, pinjaman tunggu alias kredit yang telah disiapkan oleh sindikat bank internasional itu masih belum ditarik. Jumlahnya di atas US$ 2 milyar. Pinjaman tunggu itu tentu saja ada bunganya (tak sampai 1% per tahun) karena dananya tak bisa diputarkan bank-bank tadi. Kalau ditarik oleh pemerintah pinjaman itu akan menjadi kredit komersial (bunganya mahal, dan harus dicicil dalam jangka waktu yang relatif singkat). Jelas akan menambah beban debt service ratio selisih nilai cicilan utang luar negeri berikut bunga, dengan total ekspor -- yang dirasakan cukup berat (39,9%). Untuk sementara, Pemerintah agaknya mengharapkan swasta lebih berperan, khususnya lembaga-lembaga keuangan. Gebrakan Departemen Keuangan 25 Maret 1989 -- yang membebaskan bank-bank devisa meminjam dari luar negeri, sekaligus membatasi bank-bank dan LKBB memegang valuta asing -- telah menyebabkan dolar terus mengalir ke Bank Sentral. Buktinya, seperti kata Sumarlin, cadangan devisa ada US$ 6 milyar lebih. Selain itu, defisit neraca pembayaran (neraca perdagangan plus neraca jasa) pada tahun anggaran 1988/1989 "hanya" sekitar US$ 1,9 milyar. Angka itu belum terlalu parah karena hanya sekitar 2,5% dari produk nasional kotor (GNP). Defisit itu, menurut Laporan Bank Dunia, bisa ditutup dengan special assistance loan (pinjaman khusus bersyarat lunak) dari IGGI sebesar US$ 2,1 milyar. Naiknya harga minyak sejak Januari lalu telah meredam kekhawatiran orang pada devaluasi. Sidang IGGI, yang akan berlangsung pekan ini, diduga juga masih akan memberikan pinjaman khusus yang bisa memperkuat cadangan devisa di Bank Sentral. Tak terlalu jelas mengapa cadangan devisa dalam tahun anggaran lalu bisa susut sampai di bawah US$ 6 milyar. Bank Dunia sendiri tak menemukan penyebabnya. Barangkali saja karena investasi pengusaha Indonesia di luar negeri, dan pengriman uang oleh pribadi-pribadi (untuk keperluan sekolah, misalnya) ke mancanegara yang semakin meningkat. Yang pasti, memburuknya harga minyak sekitar Oktober lalu telah memacu spekulasi valuta asing di Jakarta. Bagaimanapun, cadangan devisa US$ 6 milyar itu, menurut juru bicara BI Dahlan Sutalaksana, masih cukup aman. "Kenaikan bahan baku impor belum menyebabkan cadangan devisa akan terkuras," katanya. Lagi pula, Menteri Keuangan menjelaskan, peningkatan impor terjadi pada barang-barang modal dan bahan-bahan baku. "Itu perlu untuk peningkatan ekspor nonmigas kita. Di sini, yang menjadi point adalah nilai tambah," kata Sumarlin.Max Wangkar, Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini