Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Vonis mati untuk hidup

Hidup, 27, seorang lelaki bego dan matanya buta sebelah, dikeroyok karena memegang alat vital anak perempuan, yusni. hari kemudian, hidup, meninggal. polsek cileduk, tangerang, mengusut para penganiaya.

17 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENIN sore pekan lalu, Hidup, 27 tahun, dalam keadaan babak belur diantarkan orang ke Polsek Ciledug, Tangerang. Semalam di kantor polisi, keadaannya semakin gawat. Polisi pun membawanya ke Rumah Sakit Makna Jakarta Selatan. Tapi hidup Hidup berakhir. "Sore itu juga ia meninggal," kata Kapolres Tangerang, Letkol. Pol. Soebono Adi. Itulah hukuman yang diterima Hidup dari warga Jalan Damai, Desa Larangan Utara, Ciledug. Lelaki itu diduga warga pada Jumat pekan lalu telah memperkosa seorang bocah berusia tujuh tahun, kita sebut saja Yusni. "Anak itu bercerita pada ibunya bahwa dia habis dibegituin oleh seorang laki-laki," kata Soebono. Menurut Yusni kepada ibunya, Nyonya Abdul Gafur, semula ia dibujuk seorang lelaki membeli es. Tapi setelah makan es, ia diajak lelaki itu ke sebuah rumah kosong. Di situ mulutnya dibekap dan pakaiannya dilucuti. Dan laki-laki itu mengutak-atik kemaluannya. Nyonya Gafur tentu saja naik pitam mendengar cerita anaknya. Ia mencari lelaki yang dituduh anaknya itu. Belakangan ia mengetahui bahwa lelaki itu tak lain dari seorang buruh bangunan tetangganya, Hidup. Ayah Yusni, Abdul Gafur, segera mencari Hidup ke rumah istrinya, seorang pembantu rumah tangga. Tapi Hidup, ketika itu, berada di rumah orangtuanya, Marzuki, di Kebayoran Lama. Pada Senin siang itu dua orang mendatangi gubuk Marzuki. Kedua tamu, yang mengaku sebagai orangtua Yusni, bercerita bahwa Hidup telah mencium anaknya dua kali. Karena itu, para tamu itu mau membawa Hidup ke rumah Abdul Gafur untuk menjernihkan perkara. "Tidak apa-apa. Tenang-tenang saja, anak Bapak mau dibawa untuk didamaikan," ujar Marzuki, menirukan ucapan tamunya, waktu itu. Semula Marzuki, 60 tahun, bersama menantunya, Samsi, bermaksud ikut menemani anaknya. Tapi tamu itu mengajak Hidup berangkat lebih dahulu dengan sepeda motor, sementara Marzuki dan menantunya diiringi tamu yang satu lagi naik angkutan umum. Sesampai Marzuki di pintu rumah Abdul Gafur, ia melihat anaknya tengah dihajar. "Saya lihat ada tiga orang yang ngerjain," kata Marzuki. Bahkan menurut seorang saksi mata kepada Kompas, tubuh Hidup diinjak-injak dan dipukuli ketiga orang itu. Melihat kejadian itu, Marzuki pingsan dan tak ingat apa-apa lagi. Menantunya, Samsi, sambil menangis menatih orangtua itu kembali pulang. Malamnya baru Marzuki kembali mencari anaknya, yang sudah diserahkan ke Polsek. Di tempat itu, kata Marzuki, anaknya tak mampu lagi berdiri dan berbicara jelas. Seluruh badannya benjol. "Si Hidup cuma memanggil 'Abah, Abah'," ujar Marzuki. Dua hari kemudian orangtua itu mendapat kabar anaknya itu udah meninggal dunia. "Bayangkan bagaimana rasanya kalau punya anak jadi begitu," ujar Marzuki. Padahal, katanya, anaknya itu fisiknya kurang normal karena matanya buta sebelah. "Dia juga kayak orang bego. Tidak kenal bangku sekolah," ujarnya terus terang. Anaknya itu, katanya, bahkan tak tahu membedakan uang Rp 50 dengan uang seribuan. Sebab itu, katanya, ia akan memperkarakan kematian anaknya. Abdul Gafur sendiri, ketika ditemui TEMPO di rumahnya, menolak wawancara. Di rumah petaknya, ketika itu, tengah berkumpul empat lelaki, salah satunya berseragam tentara. "Sudah, urusannya sudah selesai, tak usah diperpanjang lagi," kata si baju hijau. Namun, pihak Polsek Ciledug tengah meminta keterangan beberapa orang yang diduga menganiaya. "Perkara ini tengah dalam penyidikan," kata Kapolres Tangerang, Soebono Adi. Berdasarkan penyidikan, Kapolres dan stafnya yakin bahwa alat vital Yusni hanya dipegang-pegang Hidup. "Tidak sampai diperkosa," ujar Soebono. Dan hanya untuk kesalahan itu Hidup membayar dengan nyawanya.Laporan G. Sugrahetty Dyan K.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum