ORANG asing yang mau membeli karet atau kopi kini tak perlu repot-repot berkelana ke pelosok Nusantara. Cukup datang ke lantai IV gedung bursa Jakarta, setiap Selasa dan Kamis, mengacungkan tangan dan meneriakkan harga atas sejumlah karet atau kopi yang dilelang di situ. Itulah salah satu manfaat Bursa Komoditi Indonesia (BKI), yang diresmikan Menteri Perdagangan Rachmat Saleh, pekan lalu. Yang dijual di situ mendapatkan perlakuan harga yang sama, baik untuk partai besar maupun kecil. Juga disesuaikan dengan tempo penyerahan barang: 15 hari kemudian bulan di muka, atau dua bulan di muka. Sementara itu, harga boleh saja berubah-ubah selama belum jatuh tempo penyerahan, dan ini merupakan arena yang menarik bagi para pemilik modal untuk ikut mengadu untung. Selama masa Uji coba, dari April hingga Desember 1985, BKI ternyata belum mengundang spekulan. Transaksi hanya bernilai Rp 1,8 milyar. Sedangkan transaksi pada hari peresmian, Kamis pekan lalu, mencapai Rp 1 milyar, dengan jumlah terbesar (Rp 800 juta lebih) dari transaksi kopi. Di bursa, kopi dijual per lima ton untuk satu paket (lot). Harga penawaran dalam rupiah, bisa dinaik-turunkan dalam kelipatan Rp 5 per kg. Kopi, baru dijual di bursa sejak pekan lalu tampak telah menarik pemilik uang untuk ikut main. Rupanya, pasar internasional sedang krisis stok, sehingga harganya melambung. Di negara-negara importir terbesar anggota ICO (Organisasi Kopi Internasional) harga telah naik dari US$ 2.3 menjadi US$ 4 per kg pada hari-hari ini, sedangkan di pasar non-lCO, naik dari US$ 1,5 menjadi US$ 3,6 per kg. Di pasar lokal pun, misalnya di Medan, November lalu masih Rp 1.500 per kg, bulan ini telah naik Rp 4.000 per kg. Panen kopi baru diharapkan bulan Maret, sedangkan kuota Indonesia di ICO, menurut Ketua AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia), untuk tahun ini telah dinaikkan dari 141.000 ton menjadi 156.600 ton. Berarti stok dalam negeri masih akan menipis dan harga bisa naik. Wajar kalau kopi untuk penyerahan 15 hari kemudian dan untuk penyerahan bulan depan diperebutkan di bursa dengan harga sekitar Rp 4.230 per kg. Transaksi Kamis pagi mencapai 36 lot (180 ton) dengan nilai Rp 761 juta. Sorenya, juru lelang sempat menawarkan harga dari pembeli Rp 4.245, tak ada pemilik stok yang mau melepaskan. Hanya untuk penyerahan Maret, harga menurun mula-mula dua lot kopi Lampung seharga Rp 3.900 per kg, disusul satu lot kopi Surabaya dengan harga Rp 3.800. Bila harga cenderung turun terus atau stabil, bursa tampaknya tak menggairahkan, seperti yang dialami komoditi karet sejak April. Harga karet SIR 20, misalnya, April lalu masih US$ 0,70 dan sempat turun hingga US$ 0,66 di akhir Desember. Kamis lalu terjadi penawaran US$ 68,5 sen per kg, karena pasar karet memang agak membaik. Namun, Direktur Gapkindo (Gabungan Pengusaha Karet Indonesia), Harry Tanugraha, memperkirakan bahwa paling harga pekan ini hanya akan naik satu sen dolar. Sepinya pasar komoditi karet di bursa, rupanya, karena diam-diam cukup banyak produsen yang melemparkan karetnya di bursa gelap - mungkin dengan harga lebih miring. Ada kecurigaan bahwa mereka juga tak suka menjual di bursa untuk memanipulasikan pembukuan di mata banknya dan petugas pajak. Harry Tanugraha meminta kepada pemerintah supaya mengharuskan semua karet yang hendak diekspor dijual di bursa. Namun, Ketua Badan Pelaksana Bursa Komoditi, Paian Nainggolan, tak setuju: "Kalau begitu, apalagi yang mau dihedging" Karena bursa sebenarnya hanya unsur penunjang yang menjadi asuransi atau hedging. Di situ pemilik barang sedikit akan cepat dapat uang tunai atau, yang kekurangan stok, mudah mendapatkan tambahan barang untuk menutup kontrak ekspor. Max Wangkar Laporan biro Jakarta dan Medan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini