Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sampai 2003

Freeport Indonesia inc. Dibilang teladan dalam hal Indonesianisasi. Tercermin dari pengangkatan Ali Budi Ardjo sebagai dirut. Kini Ali digantikan Usman Pamuntjak yang bisa memperpanjang usia sampai 2003.

18 Januari 1986 | 00.00 WIB

Sampai 2003
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DALAM hal Indonesianisasi, perusahaan modal asing pertama yang masuk di Zaman Orde Baru, Freeport Indonesia Inc. (FII), boleh disebut teladan. Sejak berdiri, 1967, perusahaan merasa terikat kewajiban melaksanakan program Indonesianisasi. Hal itu tercermin dari pengangkatan Ali Budiardjo sebagai Wakil Dirut FII, 1970, yang kemudian menjadi Dirut sejak 1973 hingga akhir tahun lalu, dan digantikan Usman Pamuntjak. "Indonesianisasi di sini paling mengesankan saya," tutur Ali, 72, yang kini menjadi Wakil Ketua Dewan (Komisaris) FII. Menurut Ali Budiardjo, bangsa kita tak kurang mampu dibandingkan tenaga asing, "asal mau belajar." Ia sendiri, sarjana lulusan Rechts Hooge School Jakarta (1937) dan ahli manajemen industri lulusan Institut Teknologi Massachusetts AS (1961), pernah berkecimpung sebagai pejabat pemerintahan RI dari 1945 hingga 1965, menjadi konsultan hukum hingga 1970, kemudian diterima sebagai pimpinan FII. Usman Pamuntjak, yang menggantikannya, adalah insinyur pertambangan ITB, 1962. Ia pernah berkecimpung di pertambangan batu bara Ombilin hingga 1970, dengan jabatan terakhir Wakil Kuasa Direksi. Kemudian ia hijrah ke FII dan berani meniti karier mulai dari inspektur konstruksi dan mandor buruh tambang di proyek FII di Irian Jaya. Setelah diangkat menjadi Asisten Manajer Umum, 1981, Usman diperbantukan di FII New York. Tahun 1983 ia kembali ke Jakarta dan menjabat Wakil Dirut hingga terangkat ke puncak seperti sekarang. Dirut berusia 48 tahun ini tampaknya diandalkan mampu memperpanjang usia Freeport hingga akhir masa konsesi 2003. Tantangan utama yang dihadapinya, masalah harga tembaga di pasar internasional yang US$ 0,6 yang sebenarnya sudah dihadapi sejak 1984. Untuk menjaga pendapatan di atas titik impas, FII menjalankan kiat: menggenjot produksi dari 7.500 ton konsentrat menjadi 13.500 ton per hari. Masalahnya, produksi FII itu masih ditambah dari tambang Gunung Bijih dan Gunung Bijih Timur, yang diperkirakan akan habis 1991. Lagi pula, kalau semua negara eksportir tembaga melakukan itu, harga akan terus melorot. Tak diungkapkan berapa pendapatan FII. Namun, menurut laporan mingguan Bank Indonesia, nilai ekspor tembaga tahun 1985 rata-rata US$ 11,4 juta per bulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus