Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejadian itu sudah sebulan berlalu, tapi Muharto belum sepenuhnya bisa menghilangkan kegalauannya. Maklum, Kepala Divisi Regional Perum Bulog Jawa Timur itu nyaris ketanggor perkara gara-gara gula.
Kejadian yang masih membekas di benak Muharto itu berawal dari info akan masuknya gula dari Pelabuhan Pontianak sebanyak 1.600 ton yang diangkut kapal MV Kurniawi ke Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Gula itu disebut sebagai bagian dari movement stock alias pemindahan cadangan dari Kalimantan Barat ke Jawa Timur. Sebagai pejabat yang berwenang, Muharto sigap mem-buat surat rekomendasi kepada Gubernur Imam Utomo. Surat itu sebetulnya prosedur yang biasa di sana. Berbekal surat tersebut, kapal yang membawa barang eks impor boleh bersandar di Pelabuhan Tanjung Perak dan melakukan pembongkaran barang.
Namun masalah timbul karena kapal dan muatannya ternyata tak dilengkapi surat perintah pembongkaran barang dan surat izin berlayar. Tanpa menunggu lama, petugas Bea Cukai dan Administrator Pelabuhan Tanjung Perak langsung menahan kapal itu berikut gula yang diangkutnya.
Awak kapal segera diperiksa Bea Cukai. Tak cuma itu, aparat Bea Cukai juga memanggil Muharto, yang menerbitkan surat rekomendasi tersebut. Muharto terenyak. Ia segera memerintahkan agar anak buahnya melakukan pengecekan. Hasilnya? Gula tersebut ternyata bukan stok milik Bulog, melainkan gula Bulog yang sudah dikuasai swasta.
Tanpa adanya dokumen, gula tersebut dianggap sebagai barang selundupan. Dan sebagai orang yang menerbitkan surat rekomendasi, Muharto bisa dituduh berusaha memutihkan barang selundupan.
Bagaimana Muharto bisa kebobolan? "Saya teledor," ujarnya sambil menyedot rokok kreteknya. Ia mengaku salah persepsi. "Saya pikir itu stok Bulog," katanya lagi. Tadinya ia mencadangkan gula tersebut untuk menambah persediaan di Jawa Timur, yang cuma 18 ribu ton. Padahal kebutuhan Jawa Timur mencapai 40 ribu ton per bulan.
Sebagai langkah koreksi, Muharto langsung mencabut surat rekomendasi yang telah dikeluarkannya. Gula ter-sebut akhirnya dikembalikan ke Pontianak. Tapi Muharto tetap kena tegur Gubernur Imam Utomo. "Lain kali mbok ya hati-hati," begitu kata Gubernur seperti ditirukannya.
Dari Jakarta, Direktur Utama Bulog Widjanarko Puspoyo menunjuk kejadian di Jawa Timur itu sebagai contoh betapa lihainya cara kerja penyelundup gula. "Kapal itu tak hanya menggunakan nama Bulog, tapi juga Koperasi Angkatan Darat. Jadi, dia memang sudah biasa begitu," ujarnya.
Namun siapa sebetulnya yang mem-berikan info akan masuknya gula dari Pontianak tersebut kepada Muharto? "Ia mendapat permohonan dari pedagang yang mengatakan membawa gula kita," ujar Widjan, panggilan akrab Widjanarko. Ternyata gula itu bukan milik Bulog, melainkan punya si pedagang sendiri.
Widjan berkali-kali memang menyebut peran para pedagang dalam kasus pe-nyelundupan gula. Modus mereka, menurut dia, antara lain dengan meng- gandakan dokumen sah yang dikeluarkan Bulog yang mestinya hanya berlaku sekali. "Mereka memfotokopi dan menggunakannya untuk melegalkan barang-barang selundupan," ujarnya. Jadilah dokumen "aspal", asli tapi palsu.
Modus itu diakui pula oleh Kepolisian Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Dalam salah satu operasi, misalnya, mereka telah menangkap kapal Tanto dari Belawan, yang tak dilengkapi dokumen, yang mengangkut 50 peti kemas gula selundupan. Setelah kapal ditahan dan diperiksa, barulah datang dokumen dan perizinan dari Bulog Sumatera Utara. "Modusnya biasanya begitu. Ditangkap, diperiksa, lalu datang dokumen aslinya," kata Kepala Satuan Reserse Kepolisian Pelaksana Pengamanan Pelabuhan Tanjung Priok, Ajun Komisaris Polisi Sarjiyo, kepada Putri Alfarini dari Tempo News Room.
Awal Desember lalu, Kepolisian Pelabuhan Tanjung Priok kembali mendapati 4 peti kemas gula selundupan di atas kapal Caraka Jaya Niaga III. Kali ini tumpukan gula yang lagi-lagi diangkut dari Pelabuhan Belawan, Medan, tersebut dilengkapi dokumen surat perintah pembongkaran barang dari Bulog Sumatera yang diduga palsu.
Si kristal manis selundupan yang tertangkap biasanya berasal dari Thailand atau Malaysia. Mereka masuk ke Jawa, yang kebutuhan gulanya tinggi, dari berbagai pelabuhan kecil di Indonesia. Ke-banyakan lewat Pontianak atau Batam. "Setelah itu, minta izin ke Bulog, kemudian ditransfer ke Jakarta. Itu yang sedang diteliti dan disidik oleh polisi untuk menelusuri kebenarannya," kata Sarjiyo.
Penyelundupan sendiri dipicu murahnya harga gula impor dibandingkan dengan harga gula dalam negeri, yang cukup tinggi. Di Kalimantan Barat, misalnya, Bulog menetapkan harga dasar gula Rp 3.600 per kilogram. Namun, di supermarket Ligo Mitra di Pontianak, harga kristal putih yang jelas-jelas memam- pangkan tulisan "made in Malaysia" hanya Rp 2.900 sekilo. Sedangkan di pasar rakyat dan warung-warung kecil, harga gula cuma sekitar Rp 3.000 per kilogram.
Kebutuhan gula masyarakat Kalimantan Barat sendiri mencapai 5.000 kilogram sebulan. Dan di sana tak pernah ada cerita kelangkaan gula. Bahkan si kristal manis selalu melimpah. Maklum, gula selundupan hampir tiap hari mengalir dari negeri jiran, Malaysia. Di beberapa pintu lintas batas seperti di Entikong dan Jagoi Babang, tiap hari puluhan truk terlihat melintas mengangkut gula dalam terpal tertutup.
Kendati mencolok mata, praktek penyelundupan itu berlangsung aman. Upeti atau yang di sana biasa disebut "uang sopoi" tampaknya sudah terjalin rapi antara petugas dan pemilik gula. Di beberapa pos penjagaan, sopir truk ter-lihat terang-terangan memberikan uang rokok sebesar Rp 50 ribu-Rp 100 ribu kepada petugas.
Mirja, seorang sopir truk, kepada TEMPO mengaku sering mengangkut gula pada malam hari. Biasanya ia mem-bawa gula dari gudang di kawasan Entikong, Balai Karangan, menuju gudang di kawasan Sikatan, Pontianak Utara, dan sampai di sana dini hari sekitar pukul 5 WIB. Menurut dia, hal itu dilakukan atas perintah bosnya. "Kalau malam hari tidak terlalu mencolok dan aparat di jalanan tak terlalu banyak. Hitung-hitung mengurangi sopoi atau masalah yang tak diinginkan," ujarnya.
Bagi masyarakat Kalimantan Barat, praktek penyelundupan itu menjadi pemandangan biasa. Mereka sendiri merasa diuntungkan karena murahnya harga gula di sana ketimbang di daerah lain. Harga gula selundupan dari Malaysia, jika diterima di kawasan perbatasan, contohnya di Entikong, cuma Rp 1.600 per kilogram.
Tak aneh, seorang pengusaha, sebut saja namanya Dhecil, mengaku berani membeli seharga Rp 1.800 per kilo bila gula tersebut dapat diterima di salah satu gudangnya di Pontianak. "Berapa pun banyak gula akan saya beli. Saya akan bawa gula itu ke Surabaya dan Madura dengan kapal laut," ujarnya.
Dhecil membayangkan keuntungan menggiurkan yang bisa diraupnya dari kegiatan haram tersebut. Harga eceran gula di pasar Jawa Timur saat ini berkisar Rp 3.800-Rp 4.000 per kilogram. Bila harus keluar biaya angkut dan berbagai upeti hingga mencapai Rp 1.200 saja, harga pokok gulanya cuma Rp 3.000 per kilogram.
Alhasil, jika dilempar ke pasar dengan harga Rp 3.200 saja (yang pasti akan segera ludes dibeli orang), Dhecil sudah mengantongi laba Rp 200 per kilogram. Terbayang keuntungan yang luar biasa untuk bisnis yang ukurannya mencapai ribuan ton tersebut.
Sebaliknya, terbayang kesulitan Widjanarko, yang instansinya bertugas menjadi penyangga harga gula di tengah situasi seperti itu. Apa yang bisa diperbuatnya? Widjan mengaku akan menindak tegas pedagang yang terbukti menggandakan dokumen Bulog dan terlibat penyelundupan dengan mencabut izinnya.
Terhadap anak buahnya yang terlibat kegiatan haram tersebut, Widjan berjanji akan memecat. Sebelum itu, mungkin ada baiknya bila ia juga memperbaiki administrasi di kantornya untuk mencegah penggandaan dokumen. Dan bila tak terlalu perlu, praktek pemindahan stok gula pun sebaiknya dihentikan. Sebab, pola itu terbukti rawan penyelewengan.
Nugroho Dewanto, Dara Meutia Uning, Kukuh S. Wibowo, Adi Mawardi (Surabaya), Harry Daya (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo