Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMANYA tak kesohor benar. Tapi, siapa nyana, Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) yang bermarkas di Bandung ini diperebutkan banyak pihak. Berdiri pada 1958 dengan nama Bank Pegawai Pensiunan Militer (Bapemil), bank ini dikabarkan bakal jatuh ke pangkuan Northstar Pacific milik Patrick S. Walujo, menantu Theodore P. Rachmat—mantan Presiden Direktur PT Astra International.
Northstar adalah kepanjangan tangan Texas Pacific Group di Indonesia. Raksasa investasi asal Amerika Serikat yang bermodalkan US$ 14 miliar (sekitar Rp 127 triliun) ini merupakan pemegang saham utama Newbridge Capital (AS), yang pernah membidik Bank Central Asia lima tahun lalu.
Isu ini kian santer setelah Debtwire, Senin dua pekan lalu, melansir bahwa Recapital Advisors, pemilik saham BTPN, telah mendapat kucuran kredit US$ 120 juta (Rp 1,1 triliun) dari Noonday Assets Management (AS). Menurut sumber Tempo, Noonday masuk berkat ”undangan” Northstar.
Jika tak ada aral melintang, Northstar nantinya akan membeli saham BTPN. Duit hasil penjualan itulah yang akan digunakan Recapital untuk melunasi utang dari Noonday, yang jatuh tempo pada 2009. ”Kesepakatan Noonday dan Recapital dibuat pada 7-8 Maret lalu,” ujar sumber tadi.
Seperti halnya Texas Pacific, Noonday juga berasal dari Amerika Serikat. Perusahaan ini masih terafiliasi dengan Farallon Capital Management yang berpusat di California, dan merupakan hasil peleburan Farallon Asia dan Farallon International. Sekadar mengingatkan, pada 2002 Farallon bersama Grup Djarum membeli BCA lewat FarIndo Investments (Mauritius).
Masih menurut Debtwire, sekitar US$ 46 juta dari pinjaman Noonday rencananya akan digunakan Recapital untuk menutup (refinance) utang lamanya ke Credit Suisse First Boston (CSFB), yang diperoleh pada akhir 2005. Sisanya bisa jadi akan digunakan Recapital untuk membiayai tambak udang Dipasena Citra Darmaja.
Urusan Dipasena memang bikin puyeng Recapital. Perusahaan investasi milik duet Sandiaga S. Uno (Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) dan Rosan P. Roeslani ini pada akhir Februari lalu dinyatakan default alias gagal bayar oleh pemerintah. Gara-garanya, Recapital tak kunjung bisa menambal kekurangan dana injeksi modal ke Dipasena dan para petambak udang sekitar Rp 1,8 triliun (Tempo, 5 Maret 2007).
Kembali ke soal BTPN, sebelum Noonday masuk, Northstar sesungguhnya telah lebih dulu kerja bareng de-ngan Quvat Management, yang didirikan oleh Tom Lembong dan eks karyawan FarIndo lainnya. Konsorsium ini melibatkan pula Citigroup, Goldman Sachs, dan Government Investment Corporation (Singapura). Tapi niat patungan ini belakangan bubrah, setelah Northstar balik badan ke Noonday.
Di balik kegagalan pembentukan konsorsium inilah ternyata ada sejumput cerita seru. Menurut sumber Tempo, Quvat ditinggalkan karena tak berani segera masuk ke BTPN. Penyebabnya, masih ada segudang persoalan di bank itu yang masih perlu dibereskan.
Ceritanya begini. Pada akhir 2005, Recapital, yang saat itu menguasai 22,6 persen saham BTPN, mendirikan Admiro Corporation, perusahaan tunggangan (special purpose vehicle) yang khusus dibentuk untuk membeli mayoritas saham bank eks milik Grup Bakrie ini. Pemegang saham lainnya di BTPN adalah Fuad Hasan Masyhur, pemilik perusahaan perjalanan haji Grup Maktour (20 persen), PT Danatama Makmur Securities (19 persen), PT Bakrie Capital Indonesia (10 persen), dan pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (28,4 persen).
Banyak kalangan menduga, saat itu Bakrie lewat Recapital ingin kembali menguasai penuh BTPN. Recapital yang dulu bernama PT Rifan Financindo dan Danatama memang dikenal dekat dengan Grup Bakrie. Rifan pernah mengucurkan kredit buat PT Bumi Resources—juga milik Bakrie—ketika mengakuisisi perusahaan batu bara PT Arutmin Indonesia. Sedangkan Danatama merupakan penasihat keuangan Bumi saat penjualan Arutmin dan Kaltim Prima Coal.
Sebagai bagian dari rencana itu, disepakatilah CSFB yang akan mendanai akuisisi Admiro. Tapi belakangan rencana ini batal setelah Dewan Gubernur Bank Indonesia tak merestuinya.
Bank sentral mensyaratkan pembeli bank harus perusahaan yang telah memiliki laporan keuangan selama tiga tahun berturut-turut. ”Jika belum tiga tahun, harus ultimate shareholder atau pemegang saham utamanya yang maju dan menjalani uji kelayakan,” kata Oey Hoey Tiong, Deputi Direktur Hukum BI.
Soal pembelian dengan dana pinjaman? Tidak ada masalah, kata Oey, sepanjang datang dari luar negeri. ”Karena ini berarti ada aliran modal masuk.” Singkat cerita, upaya Recapital dan Admiro saat itu mentok. Lantas, apa yang terjadi? Di sinilah kemudian muncul dua versi.
Menurut Rosan, Presiden Direktur Recapital, akibat terganjal peraturan BI, rencana akuisisi oleh Admiro dibatalkan. Kredit CSFB pun tak jadi dicairkan. Jika melihat komposisi saham BTPN di situsnya, memang masih seperti dulu. Porsi saham Recapital tak berubah: 22,6 persen.
Itu sebabnya Rosan membantah ada penjualan saham ke Northstar. ”Dari kami sih tidak, saya tidak tahu pemilik saham lainnya,” ujarnya, Rabu pekan lalu. Meski begitu, ia tak menyangkal adanya keterlibatan Northstar. ”Betul mereka yang mengenalkan Noonday,” kata master lulusan Belgia ini.
Rosan juga menampik telah terjadi pembiayaan kembali utang CSFB oleh kredit baru dari Noonday. ”Itu hanya line of credit dari Noonday,” ujarnya. Namun ia tak menyangkal kemungkinan dana itu akan dialokasikan untuk Dipasena. ”Ya..., begitulah,” katanya, sambil berharap pemerintah kembali membukakan pintu untuk Recapital.
Versi lain menyebutkan, transaksi Admiro sebetulnya tak sepenuhnya batal. CSFB tetap mengucurkan pinjaman, bahkan sekitar 76,1 persen saham BTPN—di luar milik pemerintah—secara tidak langsung berada dalam genggaman Recapital.
Karena itulah Noonday bisa masuk dan menggantikan CSFB. Hanya, kata sumber Tempo, Recapital tidak bisa mengungkapkan terus terang karena pelaporan ke BI telah menyebutkan transaksi Admiro dibatalkan. Selain itu, masuknya pengendali baru ke sebuah bank harus melewati uji kelayakan BI.
Untuk menyiasati aturan itulah, sebuah jalan keluar semula sudah disiapkan Quvat. Dengan menggandeng Goldman, Citigroup, dan GIC, nantinya tidak akan ada pemilik mayoritas di antara empat investor baru itu atas 71,6 persen saham BTPN. Dengan begitu, calon pemilik baru pun tidak perlu menjalani uji kelayakan BI.
Sayang, baik manajemen Northstar maupun Quvat memilih tak menjelaskan secara terbuka kesimpangsiuran ini. Salah seorang eksekutif Northstar hanya menegaskan, perusahaannya belum masuk ke BTPN.
Menurut Oey Hoey Tiong, BI kini tengah melakukan penelitian intensif atas BTPN. Meski begitu, Oey menegaskan kinerja bank beraset sekitar Rp 6,4 triliun dengan lebih dari 300 kantor cabang ini cukup bagus.
Rasio kredit seretnya (non-performing loan) hanya kurang dari 1 persen—jauh di bawah ketentuan maksimal BI 5 persen. Padahal, loan to deposit ratio (LDR)-nya mencapai lebih dari 90 persen, yang berarti hampir seluruh dana pihak ketiga di bank itu telah dikucurkan dalam bentuk kredit.
Tak mengherankan jika cukup banyak pemodal asing dan lokal yang juga dikabarkan pernah membidik bank ini. Beberapa di antaranya Khazanah Nasional Bhd. dan ICB Financial Group dari Malaysia, MAA Insurance, Bank Panin, Nusantara Capital, dan ABN Amro.
Metta Dharmasaputra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo