Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mereka yang Tergiur

Ribuan nasabah perusahaan investasi Dressel menuntut duitnya kembali. Mengapa mereka tergiur?

23 April 2007 | 00.00 WIB

Mereka yang Tergiur
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Apa boleh buat. Tak semua korban Dressel Investment Limited mau buka mulut soal Dressel. Tidak hanya malu lantaran tertipu, terus terang saja, sebagian besar korban ini masih syok. Ada yang bengong. Pasrah. Atau malah langsung kena serangan jantung.

Syahdan, Berliem, 53 tahun, adalah pengusaha yang langsung saja kena serangan jantung. Berdomisili di Bandung, ia meninggal beberapa hari setelah crisis center mengumpulkan nasabah Dressel, Maret lalu. Dalam pertemuan itu dijelaskan bahwa kondisi perusaha-an Dressel sedang seret.

Hari itu Berliem baru saja mengunjungi makam ayahnya di Cikadut. Da-lam perjalanan, Berliem sempat pingsan. Ia pun dibawa ke Rumah Sakit Boromeus, Bandung. Sekitar 15 menit kemudian, Berliem mengembuskan napas terakhir. Putrinya, Eva, mengatakan Berliem kena serangan jantung mendadak. Tapi agen pemasaran PT Wahana Bersama Globalindo, Damayanti, menduga itu ada kaitannya dengan duit yang nyangkut di Dressel. ”Bisa jadi dia syok,” kata Damayanti.

Pengalaman getir berinvestasi di Dressel juga dirasakan seorang anggota DPR yang tak mau disebut namanya. Kita sebut saja Anton. ”Malu, kayaknya tolol banget, nanti diketawain orang,” kata Anton, anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berasal dari partai besar.

Pria bertubuh ramping itu memang lazimnya bermain obligasi atau deposito. Tapi bunga tinggi yang ditawarkan Dressel sangat memikatnya. Ia pun memasang US$ 20 ribu atau sekitar Rp 182 juta. ”Kan lumayan, bunganya 2 persen per bulan, bisa untuk konstituen,” ujarnya sambil tertawa.

Seorang mantan duta besar Indonesia untuk Jepang juga terpeleset Dressel. ”Bodoh, saya tertipu,” ujarnya. Penyesalan juga dirasakan Arifin Dianica, pengusaha yang menanamkan sekitar Rp 6 miliar di Dressel pada 2004.

Nita, 62 tahun, adalah korban lain yang tak bersedia diwawancarai wartawan. Tapi ia tak berkeberatan kisahnya diceritakan kawannya, Mai, sesama korban Dressel.

Nita pensiunan sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Bertahun-tahun ia menabung hingga tabungannya mencapai sekitar US$ 200 ribu (Rp 1,8 miliar).

Setahun silam, Nita memutuskan menanamkan duitnya di Dressel, perusahaan investasi yang berbasis di British Virgin Islands. Dalam kontrak perjanjian, ia akan mendapatkan yield (bunga) 24 persen setahun atau 2 persen per bulan. Baru beberapa bulan berjalan, eh, tambang duitnya kolaps.

Dressel tersandung masalah di Indonesia. Pembayaran bunga atas produk yang diterbitkannya tersendat sejak akhir tahun lalu. Ini memicu rush atau penarikan dana besar-besaran oleh nasabah. Awalnya terjadi di cabang Surabaya, lantas merembet ke Jakarta, Makassar, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Angan-angan Nita memetik bunga setiap bulan lenyap seketika. Jangankan bunga, pokok simpanannya pun raib. Padahal dua pekan sekali ia mesti memeriksakan diri ke dokter. Saraf di lutut kanannya bermasalah.

Mai, 36 tahun, juga nasabah Dressel, tapi tidak semalang Nita. Ia menanamkan modal US$ 5.000 (Rp 45 juta) pada 2000. Setiap bulan, selama enam tahun lebih, karyawan perusahaan swasta di Jakarta itu menikmati bunga 2 persen. Kucuran mandek pada Februari 2007. Artinya, modal sudah kembali plus bunga lebih dari 144 persen. ”Tapi kan uang saya masih ada di sana. Saya ingin itu kembali, dong,” ujarnya.

Kisah Nina, 60 tahun, lain lagi. Dosen sebuah universitas di Bandung itu baru saja menjual apartemennya di Jakarta senilai hampir Rp 1 miliar. Rencananya, duit itu akan dipakai untuk membeli apartemen baru yang lebih bagus. Tapi rayuan maut agen pemasaran PT Wahana membelokkan duit Nina ke Dressel. Setoran dilakukan empat tahap mulai Agustus sampai Desember 2007.

Toh, ibu tiga anak ini tetap membeli apartemen baru melalui kredit. Dalam benaknya, bunga bulanan dari Dressel bisa dipakai untuk mencicil apartemen. ”Jadi apartemen dapat, duit simpanan tetap ada,” pikirnya. Padahal, sejak November, rush sudah terjadi di Surabaya, disusul Makassar dan Jakarta.

Kenyataannya, tidak satu persen pun bunga diterima Nina. Malah ia diuber-uber untuk menyelesaikan kredit apartemennya. Padahal gaji bulanannya pas untuk mencicil kredit koperasi, yang duitnya telah dipakai untuk membiayai kuliah anaknya di luar negeri.

Retno Sulistyowati, Agoeng Wijaya, Rinny Srihartini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus