Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yopie Hidayat*
BOLEH saja pasar keuangan di seluruh dunia guncang karena Brexit. Lewat referendum 23 Juni lalu, rakyat Inggris memutuskan hengkang dari Uni Eropa. Tapi, bagi Indonesia, Brexit tak sepenuhnya berdampak negatif, bahkan bisa jadi juga ada berkah karenanya.
Misalnya, Brexit tampaknya akan memaksa The Federal Reserve mengkaji ulang rencana kenaikan suku bunga rujukannya. Kita tahu, jika bunga The Fed naik, rupiah akan terpukul keras. Sebaliknya, dampak Brexit secara langsung terhadap rupiah sejauh ini lunak saja. Turunnya nilai rupiah sejak Brexit lebih karena dolar Amerika Serikat yang menguat.
Sejak Brexit, investor memang mencari tempat aman. Salah satunya adalah dolar Amerika atau obligasi pemerintah Amerika. Walhasil, dolar Amerika menguat, terutama terhadap pound sterling yang terpuruk begitu dalam. Di Bank Indonesia, harga satu dolar Amerika naik dari Rp 13.364 sehari sebelum referendum menjadi Rp 13.562 pada Senin, 27 Juni lalu. Ini jelas dampak yang tak seberapa jika dibandingkan dengan efek pada rupiah jika ada kenaikan bunga The Fed. Harga satu dolar Amerika bisa melambung hingga mendekati Rp 14 ribu.
Ketika majalah ini naik cetak, Ketua The Fed Janet Yellen sedang berembuk dengan para pemimpin bank sentral terkemuka dunia di Sintra, Portugal. Yellen akan memberi sinyal soal suku bunga The Fed di forum yang digelar Bank Sentral Eropa ini. Jika tak ada kenaikan bunga The Fed dalam tempo dekat, ada angin segar yang akan menguatkan rupiah.
Ke pasar modal Indonesia pun Brexit tak terlalu menohok. Harga saham sudah kembali membal naik pada awal pekan setelah referendum. Senin, 27 Juni, indeks harga saham gabungan naik 0,03 persen atau 1,483 poin menjadi 4.836. Yang paling penting, investor asing selama sepekan terakhir hingga Senin itu justru lebih banyak membeli ketimbang menjual saham, dengan nilai pembelian bersih Rp 785,9 miliar. Ceteris paribus, jika hal-hal lain dianggap tak berubah, Brexit malah berdampak positif ke bursa saham Indonesia.
Di luar pasar keuangan, investor di Indonesia harus menghitung dampak Brexit dalam jangka menengah-panjang. Jika Brexit memicu kelesuan ekonomi global berkepanjangan, pemulihan ekonomi Indonesia, yang sekarang melamban, akan semakin sulit. Porsi ekspor Indonesia ke Uni Eropa, tak termasuk Inggris, mencakup 11,4 persen dari total ekspor. Pelemahan yang terjadi di sana bakal mengurangi kebutuhan akan komoditas Indonesia.
Ancaman yang lebih konkret: Brexit membuat harga komoditas kembali luruh berjatuhan. Sehari setelah referendum, harga minyak Brent ataupun West Texas Intermediate anjlok 5 persen hanya dalam sehari, masing-masing menjadi US$ 48,41 dan US$ 47,64 per barel. Padahal naiknya harga komoditas merupakan prasyarat awal yang sangat penting bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Sebab, motor utama pertumbuhan negeri ini masih berupa pemasukan ekspor sawit dan batu bara, yang harganya relatif seiring sejalan dengan harga minyak dan kondisi ekonomi global.
Menimbang hal ini, ada baiknya jika pemerintah menghitung lagi segala asumsi revisi anggaran yang akan dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Dari asumsi pertumbuhan ekonomi hingga target pemasukan dari program pengampunan pajak rasanya menjadi semakin tidak realistis setelah ada kejutan Brexit. Atau mungkin pemerintah memang lebih suka terjerat lagi oleh target yang terlampau tinggi demi mempertahankan gengsi. *) Kontributor Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo