Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Trik Jitu Petani Tebu

14 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERDIRI di pematang sawah, Agung mengawasi para penebang tebu yang menyusup di antara batang-batang tanaman penghasil gula itu. Terik mentari yang tepat berada di atas kepala tak menggoda pria 33 tahun itu beranjak. Sesekali ia berteriak, ”Ruas tebu kudu genep 10 lho,” kata pemilik 30 hektare lahan tebu di Desa Boyolali, Kecamatan Purwoasri, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, itu Kamis pekan lalu.

Siang itu, Agung memimpin pemangkasan tanaman yang baru berumur enam bulan tersebut. Setiap batang yang telah memiliki 10 ruas, setinggi dua meter, dipangkas tepat di atas gundukan tanah tanpa mengupas daun. Agung tak hendak menyetor hasil kebunnya ke pabrik gula. Tebu ”remaja” ini akan dijual sebagai bibit. Seorang pengepul Cirebon telah memesan untuk ditanam di daerahnya.

Tren ini marak dilakukan sejak harga gula jeblok pada 2007-2008. Para petani memilih menjual tanaman sebagai bibit. Menurut Agung, cara ini jauh lebih menguntungkan ketimbang menunggu panen sembilan bulan lagi. Petani juga tak perlu repot merawat tanaman hingga usia matang 15 bulan. Ongkos produksi pun susut tinggal 70 persen. Mereka juga tak perlu khawatir harga akan jeblok ketika musim panen tiba.

Kini, setelah harga gula melambung tinggi, bisnis bibit pun ikut menangguk untung. Setiap batang tebu dihargai Rp 40 ribu, naik dua kali lipat dibanding tahun lalu. Selain bibit, kata Agung, petani masih bisa menyetor tebunya ke pabrik gula dari bagian yang tumbuh kembali dari sisa-sisa tunggul tebu. Agung sudah berhitung. Dari panen pertama ia akan mengantongi Rp 40 juta per hektare dengan menjualnya ke petani tebu. Lantas di panen kedua, kira-kira bisa memperoleh Rp 30 juta per hektare dari pabrik gula. Bandingkan, bila Agung setia hanya menyetor tebu masak ke pabrik, ia cuma memperoleh Rp 50 juta per hektare.

Lonjakan harga gula memang berdampak luas. Di Kediri, para petani ramai-ramai menancapkan bibit tebu ke area sawahnya. Salah satunya Muksin, petani asal Kecamatan Wates. Ia berpaling dari padi, palawija, dan hortikultura yang telah bertahun-tahun ditekuni. ”Menanam palawija cukup rumit,” kata pria 45 tahun ini. Padi, misalnya, Muksin menambahkan, ketika musim hujan, tanaman terancam terserang larva yang mengurangi kualitas bulir padi. Ini lantaran kelembapan udara meningkat saat hujan pada malam hari. Padi juga harus dipupuk tepat waktu.

Sangat berbeda dengan tebu. Pemupukan tebu bisa ditunda beberapa hari. Faktor inilah—selain harga—yang membikin Muksin terpikat. ”Menanam tebu lebih santai.” Hanya, harga tebu masih suka naik-turun, tergantung hasil panen. Apalagi imbas melambungnya harga gula terhadap para petani acap kali hanya sedikit.

RS, Hari Tri Wasono (Kediri)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus