Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATUSAN peserta konferensi minyak sawit Indonesia di ruang utama Westin Resort Nusa Dua, Bali, awal Desember silam terenyak. John Baker, analis pangan dan pertanian dari Rabobank International, yang menjadi panelis, saat itu melontarkan pernyataan provokatif seputar pasokan minyak sawit ke Amerika. "Indonesia, tanda tanya besar," ujarnya singkat.
Hadirin terenyak, sebagian malah bertepuk tangan. "Seharusnya Indonesia, yang memiliki produksi minyak sawit mentah lebih besar dibanding Malaysia, bisa lebih ekspansif menembus pasar Amerika," kata Baker melanjutkan kalimatnya, dan ruangan separuh lapangan bola itu pun kembali bergemuruh. Bekas petinggi Deutsche Asset Management Asia ini juga memaparkan grafik yang menunjukkan jomplangnya nilai pasokan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia dan Malaysia di Amerika.
Dalam lembar power point bertajuk "US CPO Import 2004- 2008" itu, pasokan Malaysia dan Indonesia bak bumi dengan langit. Agaknya Baker gemas. Menurut dia, Indonesia seperti tak memanfaatkan ceruk pasar minyak sawit di Amerika yang saat ini tengah naik daun. Konsumsi di sana pada 2008 mencapai 1,1 juta ton dan naik menjadi 1,2 juta ton tahun ini. Penyebabnya ialah tergesernya minyak kedelai oleh minyak sawit karena kandungan trans fatty acid yang tinggi.
Namun Indonesia hanya menyuplai 20 ribu ton atau 5 persen dari pasar yang sedang terbuka. "Peluang ini seharusnya dimanfaatkan," kata dia. Tak hanya Baker yang melontarkan pernyataan semacam itu. Peixian Hu, petinggi perusahaan kimia Cina, Liaoning Huaxing Group, juga mempertanyakan kecilnya ekspor CPO Indonesia ke negaranya. "Dari kebutuhan 6 juta ton setahun, pasokan Indonesia kurang dari separuhnya. Malaysia mengisi 60 persen lebih," ujarnya.
Ini sebuah ironi. Indonesia, yang menyandang predikat sebagai produsen CPO terbesar di dunia, seperti tak memiliki kemampuan menguasai pasar. Padahal kebutuhan dunia terus meningkat seiring dengan berkembangnya produksi biodiesel. Thomas Mielke, analis dari Oil World, lembaga peneliti minyak nabati internasional, memperkirakan kebutuhan dunia mencapai 35 juta ton pada 2010 karena terdongkrak permintaan biodiesel.
Harganya pun diramalkan bakal terus naik. Tahun depan harga CPO bisa mencapai US$ 900 per ton, naik dari tahun ini yang baru US$ 700. Produksi Indonesia tahun ini diperkirakan menembus 20 juta ton. "Lebih dari separuh pasar dunia," kata Mielke. Namun data Oil World menunjukkan ekspor minyak sawit Indonesia 2007 hingga 2009 selalu di bawah Malaysia meskipun produksi Indonesia sudah di atas Malaysia (lihat tabel).
Data Gabungan Produsen Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan, pada 2009 ekspor Malaysia diperkirakan mencapai 15,75 juta ton. Melampaui Indonesia yang diramalkan menjual 15,55 juta ton CPO. Dari sekian banyak negara tujuan ekspor, Indonesia hanya mengungguli Malaysia di India. Yang lain keok.
Derom Bangun, Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, tak heran dengan kondisi ini. Para pengusaha Indonesia, menurut dia, hanya pandai menjual CPO, produk yang masih mentah, ketimbang komoditas turunannya seperti minyak goreng dan beberapa produk lemak nabati lain. "Jadi pangsa pasar kita hanya negara yang butuh bahan mentah seperti India," ujarnya.
Selain itu, kata Derom, Malaysia unggul telak karena memiliki sistem bisnis yang solid. Secara kelembagaan, industri minyak sawit Malaysia sudah mapan sejak dulu. Pada dekade 1970, Malaysia sudah memiliki organisasi yang mengurus riset kelapa sawit bernama Palm Oil Research Institute of Malaysia (PORIM). Keberadaan lembaga ini kemudian dilengkapi oleh Palm Oil Registration License and Authority atau PORLA, yang memiliki kewenangan kuat menentukan regulasi industri ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, PORLA dan PORIM melebur menjadi Malaysian Palm Oil Board atau MPOB, yang memiliki kewenangan jauh lebih kuat, bisa mencabut izin pengusaha yang dianggap melanggar. Selain itu, dibentuk pula Malaysia Palm Oil Council atau MPOC, yang berfungsi sebagai armada pemasaran produk di luar negeri. "Dari situ bisa dilihat, Malaysia pemain lama, sedangkan kita baru bisa menyusul belakangan ini," kata dia.
Derom pun bertutur mengenai pengalaman 20 tahun lalu, manakala lonjakan permintaan minyak sawit mulai terjadi di dunia. Waktu itu ia menjadi eksekutif di sebuah perusahaan minyak nabati asing, persaingan pasar Indonesia dan Malaysia sudah amat terasa. Namun penetrasi pasar pengusaha Indonesia amat lemah. "Pengusaha Malaysia masuk ke negara tujuan melalui asosiasi dan pemerintah, sedangkan kita berjuang sendiri," katanya.
Karena memiliki lembaga dan pendanaan yang jelas, Derom menggambarkan saat itu lobi pengusaha sawit Malaysia amat sulit ditandingi. Berbagai peluang digarap, mulai pendekatan pribadi antarpengusaha, penyelenggaraan ajang promosi yang teratur, hingga penyebaran atribut pemasaran yang rapi. "Mereka bisa bikin acara makan malam mewah dan brosur berbahasa negara tujuan ekspornya, semisal brosur bahasa Rusia. Waktu itu kita mana bisa, karena enggak ada duit," ujarnya sambil tergelak.
Sekretaris Jenderal Gapki, Joko Supriyono, mengatakan lembaga semacam MPOC menjadi sebuah keunggulan komparatif bagi Malaysia. Penetrasi pasar terbantu karena lembaga itu memiliki perwakilan di banyak negara. "Pengusaha jadi tak bergulat sendiri untuk menembus pasar internasional," ujarnya.
Dengan tak adanya lembaga berkekuatan super semacam itu, perjuangan pengusaha sawit Indonesia untuk memasarkan produk di luar negeri amat berat. Joko menuturkan, selain mesti membangun jejaring yang memakan waktu dan ongkos, pengusaha harus menjalankan intelijen pasar sendiri. Belum lagi biaya riset yang mahal untuk meningkatkan kualitas produk. "Sedangkan di sana (Malaysia) ada pembagian tugas yang jelas, pengusaha berkonsentrasi pada produksi, sementara pemasaran sudah ada yang membantu," kata Direktur Perkebunan PT Astra Agro Lestari ini.
Tapi tentu tak ada makan siang gratis. Semua ada ongkosnya. Derom mengungkapkan, di Malaysia lembaga pengurus industri sawit memungut retribusi 11 ringgit untuk tiap ton produksi. Dengan duit itu, lembaga sawit Malaysia gencar melakukan berbagai riset, ekspansi, dan promosi. "Bayangkan berapa jumlah dana itu jika produksi mereka 17 juta ton setahun. Mungkin kita pun perlu menirunya," ujarnya.
Selain persaingan yang ketat, hambatan lain yang kini menghadang ekspor minyak sawit Indonesia ialah isu lingkungan. Produsen sawit dituding ditengarai melakukan perluasan lahan tanam dengan cara membakar hutan. PT Sinar Mas Argo Resources & Technology, pemasok 20 persen minyak sawit Indonesia, adalah salah satu yang terkena imbas isu itu. "Kampanye negatif minyak sawit menutup celah ekspor, terutama ke negara-negara Eropa," kata Gandhi Sulistyanto, Direktur Eksekutif Sinar Mas Group.
Anehnya, hal seperti itu tampaknya tak mempengaruhi Malaysia. Gandhi mengatakan, itu ada sebabnya. Malaysia memiliki duta khusus lingkungan yang menjembatani masalah ini. "Sedangkan di sini, pada saat pemerintah turun tangan malah dianggap berkolusi dengan pengusaha. Seakan-akan melegitimasi perusakan hutan," ujarnya mengeluh. Solusi masalah ini rencananya akan dibahas dalam forum konferensi perubahan iklim internasional di Kopenhagen, Denmark.
Dengan sekian banyak hambatan dan kekalahan itu, toh ada optimisme Indonesia bakal merajai sawit dunia. Dorab E. Mistry, analis dari perusahaan sawit India, Godrej International, mengatakan Indonesia berpeluang menguasai lebih dari 50 persen pasar dunia mulai 2010. Sebab, Malaysia tak punya peluang memperluas lahan. "Sedangkan Indonesia bisa memanfaatkan lahan di Kalimantan," ujarnya.
Bayu Krisnamurti, Wakil Menteri Pertanian, menambahkan bahwa upaya itu bisa diwujudkan melalui pembangunan tiga kawasan industri terpadu minyak sawit. Proyek itu tengah digarap pemerintah di kawasan Maloi, Kalimantan Timur; Sei Mangke, Sumatera Utara; dan Kuala Enok, Riau. Nanti pengembangannya akan didanai oleh para pengusaha melalui retribusi. "Negara tak akan ikut campur. Mereka sendiri yang akan membentuk semacam dewan komoditas," kata Bayu.
Hal itu dimungkinkan karena dalam Undang-Undang Perkebunan Nomor 18 Tahun 2004 ada klausul yang mengatur pungutan bagi pengusaha untuk kemudian disalurkan kembali demi pembiayaan riset industri, promosi, dan pembinaan sumber daya manusia. Sayangnya, hingga kini belum ada ketentuan pelaksanaan berupa peraturan pemerintah. Pembahasannya, kata Bayu, kerap tertunda karena banyak tentangan dari kalangan pengusaha sendiri. "Padahal pungutan yang diusulkan relatif kecil, US$ 1 per ton produksi sawit," ujarnya.
Bisa jadi, ketidakkompakan seperti itulah yang membelenggu industri sawit di Indonesia. Bagaimana mau berlari kencang kalau di dalam negeri saja masih terus gontok-gontokan. Bukan hal yang aneh jika Indonesia terus tertinggal dari Malaysia.
Fery Firmansyah, Desy Pakpahan (Nusa Dua)
Data Produksi Minyak Sawit Dunia
(juta ton)
  | 2007 | 2008 | 2009 | 2010 | 2011 |
Malaysia | 15,82 | 17,74 | 17,75 | 18,00 | 20,00 |
Indonesia | 17,27 | 19,20 | 20,70 | 22,40 | 33,00 |
Negara Lain | 5,77 | 6,34 | 6,53 | 7,09 | 9,80 |
TOTAL | 38,86 | 43,28 | 44,98 | 47,49 | 62,80 |
Data Ekspor Minyak Sawit Dunia
(Juta ton)
  | 2007 | 2008 | 2009 | 2010 | 2011 |
Malaysia | 13,75 | 15,41 | 16,17 | 16,03 | 17,00 |
Indonesia | 12,65 | 14,61 | 15,68 | 17,00 | 25,70 |
Negara Lain | 3,44 | 3,73 | 3,35 | 3,99 | 5,30 |
TOTAL | 29,84 | 33,75 | 35,20 | 37,02 | 48,00 |
Perbandingan Ekspor Indonesia-Malaysia Berdasarkan Negara Tujuan SUMBER: OIL WORLD
(Januari-Oktober, ribu ton)  Malaysia Indonesia Negara Tujuan 2008 2009 2008 2009 Uni Eropa 1.633 1.460 1.367 1.780 Rusia 458 421 195 112 Mesir 195 551 235 300 Negara Afrika 1.172 1.083 656 686 Amerika 825 754 48 20 Cina 3.157 3.275 1.235 1.805 India 623 1.120 2.822 3.314 Malaysia - - 443 652 Pakistan 1.018 1.542 315 154 Negara Asia Lain 3.072 2.697 1.324 1.157 Negara Lain 282 251 79 85 Total 12.435 13.154 8.719 10.065 Pertumbuhan 12% 6% 15% 15%
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo