Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bermain api dengan garam

Dua ribu ton garam non-yodium milik pt pantja nia- ga sibolga tak bisa dijual di sum-ut. sk gubernur menetapkan bahwa yang berhak mengatur tata niaga garam adalah perum garam niaga sum-ut.

6 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua ribu ton garam non-yodium milik Pantja Niaga tak boleh dijual di Sum-Ut. Apa hubungannya dengan SK Gubernur? "GARAM tak lagi asin," pekik Freddy Latuserimala. Maklum, Kepala Cabang PT Pantja Niaga Sibolga itu lagi nahas. Bayangkan saja, dua ribu ton garam non-yodium yang didatangkan BUMN ini dari Surabaya akhir Mei lalu tak bisa dipasarkan di Sumatera Utara. "Harus dipulangkan pula ke Jawa," kata Freddy, memelas, kepada TEMPO. Pantja Niaga dianggap tak patuh kepada SK Gubernur yang diterbitkan pada September 1988. Instruksi itu menetapkan, satu-satunya yang berhak mengatur tata niaga garam di Sum-Ut adalah Perum Garam Niaga Sum-Ut. Karena Pantja Niaga tak punya rekomendasi dari Perum Garam, bencana itu pun tak terelakkan lagi. Padahal, BUMN itu justru mengemban SKB 4 Menteri tertanggal 22 Mei 1985 -- yang menyebutkan distribusi garam dilakukan Perum Garam, KUD, swasta, dan pesero niaga -- tak terkecuali Pantja Niaga. Lagi pula, mahalnya harga garam di Sibolgalah yang membuat Freddy mau "bergaram-garam". Itu pun atas usul Kadin Sibolga, yang direstui Muspida Sibolga. Maklum, sejak keluarnya SK Gubernur tadi, harga garam di Sibolga naik dari Rp 115 ke Rp 140 -- Rp 170 per kilo. Tragisnya, SK Gubernur itu justru dimaksudkan agar harga garam stabil. Untuk itu Perum Garam ditunjuk sebagai pemberi rekomendasi. Entah mengapa, sebagai penyalurnya, Perum Garam menunjuk PT Grahareksa Manunggal dan PT Tosishindo Makmur Lestari, keduanya berdomisili di Medan. Ternyata, kedua perusahaan tersebut hanya berperan sebagai "bapak angkat". Mereka pada gilirannya menunjuk UD Andalas sebagai perwakilan di Sibolga. Harga pun bergolak karena Andalas "main api". CV Usaha Horas, misalnya, menjual Rp 115 per kilo karena membelinya Rp 110 per kilo dari Andalas. Anehnya, kepada penyalur lain Andalas menjualnya dengan harga rendah. Akibatnya, Usaha Horas gulung tikar. "Saya rugi ratusan juta rupiah," kata Johannes Manullang, Direktur Usaha Horas, kepada TEMPO. Tapi penyalur yang lain tak hilang akal. Mereka membeli garam dari PT Tani Makmur Padang, Sum-Bar, dengan harga hanya Rp 90 per kilo. "Di Sum-Bar yang berlaku hanya SKB 4 Menteri itu," kata Ramlan Hoesin, Ketua Kadin Sibolga. Maka, setiap hari tak kurang 10 ton garam Padang mengalir ke Sibolga. Andalas akhirnya mundur, apalagi harga dari "bapak angkat" naik terus. Terakhir ia dihajar Rp 136 per kilo. Ditambah dengan biaya lainnya, ia termodal Rp 140 per kilo. Lalu ia menjual garam Rp 150 per kilo, dan kalah bersaing dengan garam Padang yang hanya Rp 126 per kilo. Inilah yang diherankan Freddy. "Garam Padang kok boleh, dan kami dilarang," keluhnya kepada TEMPO. Maka, ia bertekad mengedarkan garam itu awal Juli ini. Jika garam tak dipasarkan, yang rugi negara juga. "Kami kan membelinya dengan uang negara juga," sambung tokoh Pantja Niaga itu. "Jika Pantja Niaga menjualnya, saya yang pertama membeli," kata Jonggara Lumban Tobing, Direktur CV Lautan Mas Sibolga, yang punya 100 perahu bermotor penangkap ikan. Ia memerlukan 150 ton garam sebulan, sedang kebutuhan Sibolga sekitar 1.500 ton. Tapi, seperti dijelaskan Sekwilda Sum-Ut, Syarifuddin Harahap, SK Gubernur itu tak bertentangan dengan SKB 4 Menteri. Dalam SKB disebutkan, penderita gondok masih banyak di Indonesia. Itulah sebabnya, SK Gubernur itu menunjuk Perum Garam Sum-Ut sebagai pengawas, agar garam non-yodium tak merembes ke masyarakat. Baiklah. Tapi mengapa harga Perum Garam lebih tinggi dibanding tarif Pantja Niaga? "Itu sudah soal lain yang di luar SK Gubernur itu," katanya, ketika diserbu sejumlah wartawan di Medan, 24 Juni lalu. Artinya, harga boleh asin asal peraturan tetap jalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus