Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mungkin tak banyak orang yang berani "berjudi" dengan nasib seperti Suhardiman. Di usia yang tak lagi muda, menapak 37 tahun, pria berdarah Melayu Sambas, Kalimantan Barat, itu nekat melakoni jalan hidup baru.
Berhenti dari pekerjaan di sebuah ºkilang karet di Siantan, Pontianak, yang telah digelutinya selama 14 tahun, ia menekuni profesi baru sebagai pengusaha restoran. Alasannya sederhana. "Saya merasa tak mengalami kemajuan bekerja di tempat lama."
Jangan bayangkan restoran pertama yang dikelolanya megah dan sejuk ber-AC. Berbekal pesangon Rp 7 juta, pria yang akrab disapa Adi itu cuma mampu membuka kedai di tepi jalan untuk berdagang nasi goreng. Ketika itu tahun 1992. Warung Adi persis berada di depan kantor Himpunan Mahasiswa Islam, Jalan Wahid Hasyim, Pontianak.
Mengapa memilih nasi goreng? "Dulu saya cuma bisa membuat menu itu," tuturnya.
Diberi nama "Mak Kundil"—diambil dari nama tokoh kartun di harian setempat—warung milik Adi tak seketika memikat pembeli. Saking sepinya, pernah dalam sehari dia hanya bisa membawa pulang Rp 15 ribu.
Keadaan mulai berubah memasuki tahun kedua. Pelan-pelan pembeli mulai berdatangan dan Adi menambah jumlah karyawan menjadi 14 dari semula hanya dua orang. Meski miskin pengalaman, ayah tiga anak ini memang jeli dalam urusan memanjakan lidah konsumen.
Bahan baku masakannya selalu yang berkualitas. Sementara pedagang lain memasak dengan minyak goreng biasa, Adi memakai mentega merek terkenal. Karena itu, harga nasi gorengnya lebih mahal ketimbang buatan pedagang lain. Toh, pembeli tetap berdatangan. Termasuk beberapa pejabat pemerintah yang menjadi pelanggan tetapnya. "Dari dulu saya yakin," tuturnya, "barang berkualitas pasti dibeli orang, berapa pun harganya."
Bintang keberuntungan Adi makin moncer setelah datang tawaran dari Kepala Taman Budaya Pontianak, A. Rasyid, untuk memindahkan warungnya ke Taman Budaya di Jalan Ahmad Yani. Ia kemudian mengubah nama restorannya menjadi Warung Dangau. Nama itu berasal dari kenangan manis semasa kecil makan di pondok tengah sawah dengan alas daun pisang bersama bibi tercinta.
Di tempat baru, bisnis rumah makan Adi makin maju. Dagangannya tak lagi melulu nasi goreng, ia juga menyediakan berbagai jenis masakan Indonesia lain. Yang unik, tak seperti penjual makanan lain, ia tak pernah merahasiakan resep masakan. Bila ada pembeli yang ingin tahu resep sebuah masakan, Adi akan mengajaknya ke dapur untuk melihat cara memasak dan menanyakan resepnya kepada koki.
Namun, jalan yang dilalui Adi tak selamanya mulus. Ada pengalaman pahit yang tak akan pernah dilupakannya ketika Presiden Soeharto berkunjung ke Pontianak pada tahun 1995.
Pemerintah Daerah Kalimantan Barat meminta warungnya dibongkar karena dinilai mengganggu keindahan, dan dikhawatirkan Presiden tak menyukai pemandangan itu. Beruntung, wakil rakyat di parlemen Kalimantan Barat membelanya. "Mereka menilai bangunan saya tak mengganggu."
Setelah melewati cobaan itu, bisnis Adi tak tertahankan lagi. Ia terus berekspansi. Mula-mula dengan mendirikan Warung Dangau II di kota kelahirannya, Singkawang, Kalimantan Barat. Kemudian Warung Dangau III didirikan di Jalan Ahmad Yani Baru, Pontianak.
Di kompleks Warung Dangau III itu, Adi juga mendirikan berbagai fasilitas lain seperti taman bermain anak, kolam, Kafe Tanggui, serta Restoran Randayan, yang menyajikan musik hidup dengan band lokal yang bermutu.
Interior restoran pun dilengkapi galeri yang memamerkan lukisan serta aneka benda seni lain. Pendeknya, cita rasa restorannya tak kalah dengan tempat makan serupa di Jakarta ataupun Bali.
Jerih payah Adi tak sia-sia. Warung Dangau kini menjadi tempat makan favorit warga Pontianak maupun wisatawan. Omzet usahanya pun ditaksir ratusan juta rupiah per bulan dengan karyawan mencapai ratusan orang. Ia tercatat pula sebagai satu dari sedikit warga Pontianak yang memiliki sedan mewah Jaguar. Toh, ia mengaku tak semata mengejar keuntungan dalam berbisnis. "Saya ingin ikut membangun Kalimantan Barat lewat bisnis restoran."
Cita-cita itu boleh dikatakan telah tercapai. Dan, ini yang luar biasa, Suhardiman merengkuhnya hanya dalam tempo 11 tahun.
Nugroho Dewanto, Harry Daya (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo