Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mohammad Syahrial kurang beruntung. Tak seperti bekas pejabat BPPN lainnya, ia belum bisa menikmati pensiun dengan tenang. Kesibukan bekas Deputi Ketua BPPN Bidang Asset Management Credit ini tak surut sejak ditunjuk menjadi Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Berbagai rapat, workshop, dan seminar mesti diikutinya untuk persiapan pelaksanaan tugas lembaga baru tersebut.
Bila tak meleset, perusahaan tersebut akan mulai bekerja 30 April mendatang. Sebelum itu Syahrial akan meneken kontrak manajemen dengan Menteri Keuangan. Isinya, perjanjian bahwa PPA akan mengelola sejumlah aset negara bekas BPPN. Jenisnya beraneka macam. Ada properti, saham bank, ataupun kredit. Semua aset itu dikategorikan "bersih dan jelas", artinya dokumennya lengkap dan tak tersangkut perkara di meja hijau.
Nilai bukunya ditaksir mencapai Rp 108,4 triliun. Tapi, ketika dialihkan ke PPA, untuk sementara cuma dinilai Rp 10,7 triliun alias 10 persen saja.
Menteri Keuangan Boediono telah meminta Badan Pemeriksa Keuangan agar mengaudit aset tersebut untuk memperoleh nilai sebenarnya. Hasil audit itulah yang akan menjadi pegangan Departemen Keuangan.
Di tangan PPA, aset-aset tersebut akan dikelola persis seperti praktek di BPPN dulu, yaitu melalui restrukturisasi, kerja sama operasi, penagihan, penyewaan, dan penjualan.
Syahrial sudah ancang-ancang akan mengoptimalkan keuntungan aset yang dikelolanya. Tingkat pengembalian (rate of return) harus mencapai 3-5 persen di atas bunga deposito per tahun.
Jika menengok bunga deposito yang saat ini mencapai 8 persen, keuntungan PPA setidaknya 11 persen. Ini memang masih lebih tinggi dari nilai pengalihan yang cuma 10 persen.
Biaya operasional diharapkan bisa diperoleh dari sisa keuntungan. "Jadi, tak mengganggu modal disetor yang Rp 300 miliar," kata Syahrial.
Di atas kertas, rencana Syahrial agaknya bakal mudah diraih. Betul, di perusahaannya memang terdapat beberapa aset busuk yang dulu tak kunjung laku dijual, seperti Dirgantara Indonesia, Bakrie Nirwana Resort, dan PT Dipasena Citra Darmaja. Namun, di sana juga ada saham bank dan properti yang mestinya bisa dijual mudah dengan harga bagus.
Apalagi target minimal pengembaliannya kelewat kecil: hanya 10 persen. Di situ masalahnya. Gatot Arya Putra, ekonom yang pernah bekerja di BPPN, mempertanyakan parameter nilai pengalihan itu. Soalnya, tingkat pengembalian di BPPN saja masih mencapai 28 persen.
Dia yakin tingkat pengembalian masih bisa dikatrol lebih tinggi seandainya perusahaan itu diisi orang-orang profesional. Ia terang-terangan tak setuju dengan struktur manajemen sekarang yang lebih banyak diisi bekas karyawan BPPN. "Mereka berpotensi conflict of interests," katanya tegas.
Maksudnya, tindakan moral hazard seperti ketika dokter perbankan itu masih buka praktek bisa terus berlanjut. "Mereka bisa mengulangi kesalahan atau melindungi kesalahan sendiri atau teman mereka selama di BPPN," ujar Gatot.
Bagi ekonom Dradjad Wibowo, BPPN itu seperti bengkel yang dititipi sepeda motor rusak tapi tidak direparasi. "Malah dipereteli dan dijual satu per satu onderdilnya dengan harga murah," ujarnya.
Jadi, menurut dia, PPA seharusnya tidak mengikuti jejak "seniornya" yang gemar mengobral aset tersebut. Masalahnya, kata Gatot, "Apa jaminannya orang yang sama akan bisa melakukan restrukturisasi di PPA?"
Kekhawatiran seperti itu sebelumnya terucap pula dari Menteri Kwik Kian Gie. PPA, kata Kwik, mestinya diisi kalangan profesional yang bersih, "Bukan orang-orang lama yang terbukti tak berprestasi."
Mungkin tak ada salahnya bila Menteri Boediono merombak skuad PPA. Lagi pula, bila aset yang diserahkan memang "bersih dan jelas", mestinya memang tak sulit bagi siapa pun untuk menangani perusahaan tersebut.
Nugroho Dewanto, M. Syakur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo