Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bersaing dengan sepi

Kurs cap kujang turun terus. para pemegang saham bakal mendapat perolehan rendah di th 1984. (eb)

9 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JATUHNYA kurs saham PT Semen CiI binong hari-hari ini tampaknya sudah tak tertahankan lagi. Pekan lalu, kurs semen cap Kujang itu anjlok lagi ke tingkat harga Rp 15.800 - terendah dalam enam bulan terakhir ini. Tanda-tanda kemerosotan Cibinong sesungguhnya mulai terlihat sejak beberapa bulan sebelum rapat umum pemegang saham perusahaan itu, yang diselenggarakan di Denpasar, awal tahun ini. Pada akhir tahun lalu, kurs Kujang mendadak jatuh dari tingkat Rp 19.000 jadi Rp 18.550. Sejak itu, kurs semen yang pernah mencapai Rp 21.000 ini secara berangsur, di tengah berkurangnya minat orang membeli saham di Pasar Modal, makin turun. Apalagi pada awal tahun ini, bulan Januari sampai Maret, banyak bank menawarkan deposito berjangka dengan tingkat bunga rata-rata di atas 19%. Baru, sesudah rapat umum pemegang saham diselenggarakan, sebab-sebab jatuhnya kurs semen itu bisa diketahui. Laba semen cap Kujang pada tahun 1983 itu, yang ditutup pada Oktober, ternyata turun sebesar 49% dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut hasil pemeriksaan keuangan Kantor Akuntan Publik Darmawan and Co., keuntungan bersih PT Semen Cibinong tahun lalu hanya Rp 5,2 milyar. Padahal, sebelumnya, ketika semen masih diuber-uber di pasar, laba bersihnya mencapai Rp 10,2 milyar. Jeleknya penampilan perusahaan yang sampai terdengar keluar itu, tentu saja, menyebabkan banyak saham Cibinong dilepas. Menurut J.A. Sereh, direktur utama PT Danareksa, para pemegang saham itu khawatir, pada tahun buku 1984 ini bakal mendapat perolehan (yield) rendah dibandingkan bunga deposito. Akibatnya, "Harga Cibinong dibanting terus," ujar Sereh. Kata Rachman Mohammad, wakil direktur PT Semen Cibinong, penurunan kurs saham itu memang berkaitan erat dengan menurunnya pendapatan perusahaan. Pada 1983 itu, memang, penjualan bersih perusahaan naik dari sebelumnya Rp 52,4 milyar menjadi Rp 57,46 milyar. Tapi, ternyata, harga pokok penjualan juga ikut naik: dari Rp 30,9 milyar menjadi Rp 40 milyar. Kenaikan ini agaknya tak bisa dihindari lagi sesudah pada awal Januari BBM dinaikkan, dan pada akhir Maret 1983 itu rupiah didevaluasikan. Gaji karyawan pun perlu dinaikkan untuk mengejar inflasi. Sesudah itu, hasil laba operasi ini masih perlu dikurangi dengan pencicilan bunga utang perusahaan, dan rugi karena selisih kurs akibat devaluasi. Perusahaan ini, sama halnya banyak perusahaan lain yang punya pinjaman dolar, jelas harus mengeluarkan rupiah lebih besar karena devaluasi 38% itu. Tahun 1983 saja, biaya bunga atas utang-utangnya mencapai Rp 2,57 milyar, sedangkan tahun sebelumnya hanya Rp 1,65 milyar. Pukul rata, menurut Rachman Mohammad, setiap tahun perusahaan harus mencicil utang Rp sekitar Rp 4,9 milyar. "Ini tidak bisa ditunda, sebab sudah ada perjanjiannya," ujar Rachman, yang juga menjadi sekretaris perusahaan. Dalam laporan keuangan 1983 itu juga tampak bahwa Cibinong kelihatan ingin segera secara sekaligus menyelesaikan beban rugi karena selisih kurs. Menurut J.A. Sereh dari Danareksa, yang menguasai sekitar 9% saham Cibinong, tindakan itu punya alasan cukup kuat mengingat pada tahun mendatang banyak pabrik semen lain diperkirakan akan bekerja dengan kapasitas penuh. Dengan cara ini, jika beban utang perusahaan sudah bisa diperkecil, Cibinong tentu bisa lebih bersaing menjual semennya. "Tahun berikut ini, perusahaan diharapkan tidak perlu mengurangi labanya untuk menutupi rugi karena perbedaan kurs," ujar Sereh. Tapi soalnya tidak sesederhana itu. Menurut Rachman Mohammad, pasar sekarang sedang kelebihan suplai semen. Entah mengapa, katanya, semen Indarung eks Padang sejak Agustus 1983 bisa merembes memasuki wilayah edar Cibinong di Jakarta. Tentu pasar jadi kenyang mengingat di sini ada juga semen eks Indocement yang beredar dalam jumlah cukup besar. "Sekalipun lamban, semen Cibinong bisa juga terjual habis, dengan harga sedikit turun," ujarnya. Penghasil semen cap Kujang itu rata-rata setiap hari mampu menjual 3.500 ton - hampir 2.000 ton di antaranya terjual di Jakarta. Kendatl demikian, menurut Rachman, pabriknya hanya bekerja 90% dari seluruh kapasitas terpasang yang 1,2 juta ton setahun. Keadaan lesu seperti ini dibenarkan pula oleh Peter Tanuwidjaja, manajer pemasaran Indocement. Dalam sebulan, penghasil semen Tiga Roda milik kelompok Liem Sioe Liong itu rata-rata menjual 280.000 ton untuk wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi - yang 110.000 ton di antaranya masuk Jakarta. Tapi Peter menduga, keadaan pasar yang sepi kini, yang menyebabkan harga Jual Indocement di eceran turun dari Rp 3.350 jadi Rp 3.250 per zak, akan pulih kembali sesudah Lebaran. Direksi Cibinong tentu juga punya harapan serupa. Kata Sereh, penghasil semen ini sedang berusaha mengincar beberapa pembangunan jalan bebas hambatan yang dikelola PT Jasa Marga, dan gedung Danareksa. Jika upaya menjual semen dalam Jumlah besar itu berhasil, pemegang saham tentu akan tetap senang mengantungi sertifikat saham Cibinong.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus