Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Biarkan Dolar Jatuh

Rontoknya harga saham di AS akibat tingginya defisit anggaran dan defisit perdagangan. Salah satu jalan keluarnya adalah memperkecil defisit anggaran. Nilai dolar terus melorot.

7 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAHAM jatuh, dolar jatuh. Apa lagi? Dalam kecemasan yang menular ke mana-mana kini, orang dipaksa berpikir untuk menghindar dari kemungkinan terjadinya lagi depresi besar dalam perekonomian dunia. Sebab pokok rontoknya harga saham dua pekan yang lalu, menurut pelbagai analisa, dianggap cukup jelas: perekonomian AS di bawah kepengurusan Presiden Reagan sebenarnya rapuh. Di balik rona merah optimisme di Gedung Putih -- dan suasana pesta uang di Wall Street sebelum harga saham rontok -- dua macam defisit, yang sekaligus merundung AS, kian lama kian mengancam. Defisit pertama, defisit anggaran. Ini memang di tahun fiskal yang baru berakhir kabarnya agak rendah, di luar dugaan, yakni US$ 148 milyar (menjelang tahun fiskal 1986, angka itu dikabarkan sampai di atas US$ 220 milyar). Namun, dengan jumlah yang mengecil itu pun, masih jauh lebih besar pasak daripada tiang. Untuk menutup selisih antara anggaran belanja dan anggaran pendapatan itu, diperkirakan pemerintah AS maslh harus mengutang. Utang itu menyedot dana dari perbankan AS, dan dana pun jadi mahal -- sesuai dengan hukum penawaran dan permintaan. Berarti suku bunga bank naik. Naiknya suku bunga itu, terutama di awal tahun 80-an, sckaligus merupakan daya tarik bagi para pemilik uang di luar AS, untuk mendepositokan dana mereka di pelbagai bank dalam dolar. Cara lain mereka mencari dan memperoleh untung ialah dengan membeli surat-surat berharga yang punya nilai dolar. Ramai-ramai mencari dolar itu menyebabkan nilai mata uang AS itu naik. Di awal tahun 80-an, dolar jadi begitu perkasa: dengan secuil dari pendapatan mereka, yang mereka terima dalam dolar, orang-orang Amerika dapat memperoleh banyak sekali mata uang asing. Dengan itu, mereka pun sibuk membeli barang dari luar negeri, termasuk berpesiar dan belanja di Eropa atau Asia. Sebuah kartun dari masa itu menggambarkan seorang turis Amerika di Paris menawar Menara Eiffel. Dalam keadaan macam itu, jumlah barang dari luar negeri yang dibeli orang Amerika pun jadi membesar -- lebih besar ketimbang ekspor mereka. Lahirlah defisit perdagangan -- defisit jenis kedua yang memusingkan AS kini. Dengan nilai tukar dolar yang lebih mahal, barang-barang yang dibuat di AS tak bisa bersaing dengan barang ymg dibuat di Jerman atau di Jepang. Pasar modal, yang selalu peka kepada getaran ekonomi, agaknya gelisah dengan defisit neraca perdagangan yang besar itu. Apalagi diturunkannya nilai tukar dolar, sampai 0%, sejak 1985, tak banyak mengurangi lesunya ekspor AS. Di tahun 1986, defisit itu mencapai US$ 156 milyar, dan tahun ini ada yang memperkirakan bisa mencapai US$ 171 milyar. Kerapuhan seperti itulah yang membuat saham-saham di New York Stock Exchange itu dua pekan lalu dengan gampang tersentak, ambyar, dan menimbulkan gempa di mana-mana. Kini, bagaimana mengoreksinya? Semangat yang timbul di Washington ialah keinginan dengan segera memperkecil defisit anggaran. Presiden Reagan dan Kongres -- dengan gengsi di kedua belah pihak -- tampak saling mendekat untuk melakukan tindakan itu. Biarpun mengurangi defisit berarti menaikkan pajak, satu cara yang tak dikehendaki Reagan untuk menaikkan pendapatan. Biarpun mengurangi defisit berarti juga mengurangi belanja negara, satu tindakan yang tak selamanya disukai Kongres. Para ahli ekonomi sebaliknya lebih suka berhati-hati Paul Davidson, seorang guru besar ekonomi politik dan redaktur Journal of Post-Keynesian Economics, memperingatkan bahwa setelah harga saham jatuh, tindakan menaikkan pendapatan -- dengan menarik pajak lebih tinggi -- dan sekaligus mengurangi belanja negara, bisa berbahaya. Itu akan memperburuk kecenderungan resesi yang sedang tampak, dan, kata Davidson, "bahkan dapat menciptakan Depresi Besar kedua dalam abad ke-20." Di tahun 1930-an, di masa Depresi Besar pertama, itulah yang terjadi. Presiden Hoover, setelah ambyarnya harga saham di tahun 1929 dan mencoba menyeimbangkan budget, menimbang-nimbang untuk menaikkan pajak. Di tahun 1932 itu dilakukannya. Pengeluaran di masyarakat pun menurun, dan deflasi harga-harga bertambah memburuk. Sementara itu, karena takut inflasi, bank sentral Amerika, Federal Reserve, memperketat peredaran uang dan kredit. Seperti ditulis oleh Leonard Silk dalam The New York Times pekan lalu keadaan jadi kian sumpek oleh ditegakkannya tembok proteksionisme. Undang-Undang Tarif Smoot-Hawley tahun 1933 menimbulkan balasan proteksionis di negara-negara lain. Sistem keuangan dan perdagangan dunia pun ambruk. Pengangguran melambung. Depresi menjalar. Dengan pengalaman pahit itu, Silk menawarkan jalan keluar. Memperkecil defisit anggaran bagaimanapun harus dilakukan. Tapi hal yang menentukan ialah bahwa langkah mengurangi defisit anggaran itu harus "diimbangi oleh tindakan Federal Reserve untuk melonggarkan kebijaksanaan moneter, dan dengan begitu menurunkan suku bunga." Suku bunga yang rendah akan memudahkan konsumen meminjam dan berbelanja, dan ini akan merangsang dunia bisnis untuk investasi, dan pada gilirannya akan memperkuat pasar modal dan obligasi. Tetapi bagaimana menurunkan suku bunga tanpa melicinkan jalan buat inflasi? Banyak ahli sebenarnya menyarankan agar dolar tak bertahan seperti sekarang Prof. John Kenneth Galbraith dan Martin Feldstein, misalnya, seperti terbetik dari dengar pendapat dengan Komisi Perbankan House of Representatives di Washington akhir pekan lalu, menganjurkan dolar biar saja turun terus. Sampai sekitar 30% selama lima tahun mendatang. Soal bagaimana cara turunnya, hingga tak timbul kecemasan akan inflasi yang akan mendorong kembali naiknya suku bunga, itulah yang belum dirinci. Sementara itu, defisit perdagangan AS kini bergantung juga pada pertumbuhan ekonomi negara lain. Bukan cuma Jepang dan Jerman, tapi juga negeri yang, di Dunia Ketiga, dirundung utang, dan didorong untuk memperoleh dana dari ekspor buat mencicil. Bagi negara seperti Indonesia, yang dari ekspornya mendapatkan dolar yang sudah turun nilainya, soal tak bertambah mudah. Tapi siapa tahu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus