MENDUGA-DUGA apa dampak krisis Wall Street bagi Indonesia memang tak gampang. Paling-paling ikut waswas. Dari segi ekspor, kesulitan juga belum muncul. Hanya saja, para eksportir agaknya perlu lebih jeli menyimak isi kantung langganan mereka, terutama di Amerika Serikat. Di atas kertas, dengan terpotongnya 10 persen harga saham di negara superpower itu, boleh dibilang daya beli masyarakatnya anjlok 30 milyar dolar, atau 0,7 persen dari Produk Domestik Bruto. Sedangkan anjloknya kekayaan mereka juga tak kalah seru. Kalau ditotal berdasarkan rontoknya harga saham dari Agustus sampai Oktober, menurut Data Resources Inc., kekayaan mereka sudah menguap satu trilyun dolar. Nah, di sini tentu terserah para eksportir. Apakah mereka berencana untuk pindah pasar atau malah tambah bernafsu mencari peluang di sana. Yang pasti, Amerika masih merupakan pasar terbesar bagi ekspor nonmigas Indonesia. Sejak pekan lalu, persoalan baru muncul: dolar ikut rontok di pasar. Sehingga, bursa-bursa valuta asing kalang kabut melayani penjualan yang menggebu. Sementara, para eksportir di Jepang dan negara maju lainnya yang mata uangnya menguat juga belingsatan. Mereka khawatir, jangan-jangan barangnya jadi kelewat mahal di Amerika. Tapi bagi Indonesia, persoalannya bisa jadi lain. Berikut ini analisa beberapa tokoh perbankan dan pengamat ekonomi makro. ARIFIN SIREGAR, Gubernur Bank Indonesia Saya sendiri sebenarnya sudah menangkap kemelut di bursa saham dunia sebelum peristiwa itu meledak. Gejalanya sudah muncul dalam beberapa tahun belakangan, ketika pertumbuhan ekonomi negara-negara maju hanya berkisar 2-3 persen per tahun, sementara harga-harga saham melonjak sampai puluhan persen per tahun. Sebuah pelonjakan yang, menurut saya, bersifat psikologis semata. Sedangkan gejolak yang terjadi saat ini bersifat koreksi terhadap kenaikan itu. Dan saya kira, proses itu tak akan berlangsung lama, karena adanya usaha bank-bank sentral untuk membantu perusahaan atau perorangan yang mengalami kesulitan likuiditas. Paling tidak sekitar sebulan lagi sudah pulih. Demikian pula dengan dolar. Tak akan merosot terus, Kelompok 7 pasti mematuhi kesepakatan Louvre. Tapi, bagaimanapun Juga, kami terus memonitor setiap perubahan di pasar uang dan modal internasional. Kalau peristiwa ternyata berlangsung lama, masyarakat di Amerika dan Eropa tentu akan lebih berhemat. Sehingga, permintaan barang dan jasa akan menurun, yang bisa menimbulkan resesi, bahkan depresi. Selanjutnya dapat menimbulkan dampak negatif bagi Indonesia. Kendati demikian saya percaya bahwa Amerika tak akan memberlakukan pembatasan impor dari Indonesia. Sebab, pemerintahan Reagan tak menyukai hal itu. SJAHRIR, pengamat ekonomi Saya melihat, rontoknya dolar berarti makin beratnya beban utang Indonesia. Ada dua penyebabnya. Pertama, karena besarnya komponen yen dan mark dalam struktur utang kita, yang nilainya makin menguat terhadap dolar dan rupiah. Kedua, sebagian besar ekspor kita dihitung dalam dolar, sedangkan impornya masih didominasi mata uang yang menguat terhadap dolar. Selain itu, kalau sampai pemotongan defisit anggaran belanja pemerintah Amerika dilakukan, ekspor Indonesia ke sana bisa menyusut. Habis, mau bagaimana lagi? Selain menaikkan pajak, itu kalau dilakukan, Reagan tentu harus mengurangi anggaran belanjanya, yang bisa berarti pengurangan impor. Kalau kemelut bursa saham terus terjadi, keadaan akan makin runyam. Tak hanya ekspor kita yang akan dihadang oleh turunnya daya beli masyarakat Amerika dan Eropa, tapi investasi dalam negeri juga bisa kena. Seperti kita ketahui, banyak perseorangan atau perusahaan Indonesia yang "kena" di bursa internasional. Tapi kemelut itu juga membuktikan kebenaran teori Peter Drucker ketiga, tentang kemungkinan ketidakterkaitan antara arus perdagangan dan modal. Bukankah stabilnya bursa saham di Jakarta menunjukkan kekebalannya terhadap virus Wall Street? ROY E. TIRTADJI, Presiden Direktur Bank Perniagaan Indonesia Dampak gejolak Wall Street di Indonesia cukup luas dan tak hanya mengena pada mereka yang ikut bermain di sana. Tapi seluruh ekspor Indonesia, baik migas maupun nonmigas, akan cukup menderita. Jepang, sebagai pasar terbesar migas, akan nnenurun daya serapnya. Itu sulit dihindari, karena masyarakat dan pengusahanya banyak yang rugi, karena mereka sudah "bursa minded". Jadi, mereka akan lebih berhemat. Komoditi nonmigas otomatis juga akan mengalami penderitaan yang sama. Berdasarkan pertimbangan itulah Bank Perniagaan sekarang mulai membatasi kredit untuk proyek ekspor. SOEDRADJAD DJIWANDONO, pengamat ekonomi dari Bappenas Perkembangan bursa saham belum normal. Dampaknya terhadap ekonomi dunia termasuk Indonesia -- tak akan terhindarkan. Soal berapa besar dan bagaimana bentuknya belum jelas. Yang pasti, apa yang terjadi di Amerika selalu punya pengaruh di banyak negara lain. Misalnya, gara-gara besarnya defisit dalam neraca perdagangan luar negeri Amerika, seluruh jumlah defisit perdagangan dunia jadi lebih besar daripada surplusnya. Lemahnya struktur ekonomi dunia sekarang ini tak lain adanya kecenderungan bersifat "besar pasak dari tiang". Pada pengamatan saya, jumlah penanaman modal di dunia sekarang jauh lebih besar ketimbang jumlah tabungan. Gejala ini bisa juga diartikan masyarakat tak memanfaatkan kapital untuk produksi, tapi langsung memakai untuk konsumsi. Di tingkat internasional, penyelesaian konflik ekonomi sebenarnya tak hanya sebatas pada kemauan dan kemampuan. Konflik itu baru bisa diselesaikan kalau pandangan soal ketergantungan yang sangat bersifat "merkantilis" hilang. Yakni pandangan yang menganggap bahwa hanya negara yang mengalami defisit dalam neraca pembayarannya yang harus memperbaiki diri. Itu tidak adil, karena defisit sebuah negara berarti surplus bagi negara lain. Praginanto & Sidartha P. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini