HENDRA Suryaseputra dari PT Bentoel Malang mengusap kedua
telapak tangannya. "Kami gembira dengan keputusan itu," katanya
kepada Dahlan Iskan dari TEMPO pekan lalu. Yang dimaksud orang
Bentoel itu jelas keputusan pemerintah yang mengurungkan niatnya
untuk membuat harga rokok pas bandrol sampai di tingkat pengecer
mulai 1 September lalu. Menurut keputusan yang dikeluarkan akhir
Agustus lalu, harga rokok masih diperbolehkan di atas bantrol
meskipun di tingkat agen sudah harus pas bandrol.
Kegembiraan Hendra memang beralasan. Berbeda dengan rokok putih,
rokok kretek ini amat tergantung dari pengadaan cengkeh yang
sebagian besar masih diimpor, dan keharusan memakai tembakau
dalam negeri. Kini pabrik kembali tenang dapat menjual ke
pasaran dengan kalkulasi harga lebih tinggi.
Seperti di PR Djarum, terbesar di Jawa Tengah, mereka bisa
melepaskan kreteknya dengan memberi keuntungan buat agen hanya
4% dari harga bandrol. Dengan demikian, harga af pabrik untuk
merek Djarum 76 yang bandrolnya Rp 225 adalah sebesar Rp 216 per
bungkus. Laba Rp 9 ini dibagi antara agen dan sub agen.
Kapal Cengkeh
Di samping itu para agen masih mendapat bonus dari pabrik lewat
perwakilam Sub agen boleh menaikkan harga sesuai dengan
kalkulasinya sendiri. Tapi para pengecer yang kemudian mendapat
harga sedikit di atas bandrol paling tidak mengharapkan Rp 20
per bungkus.
Itu sebabnya di pasaran, Djarum yang bandrolnya Rp 225 per
bungkus sudah mencapai Rp 275 di Kudus. Di Yogya malahan Rp 300.
Asmawi, yang sejak lama membuka kios rokok di dekat bioskop
Mcnteng, Jakarta, mengaku keuntungan itu berkisar antara Rp 20
sampai Rp 75. Tapi yang bisa masuk kantong sebanyak Rp 75 itu
berasal dari rokok kelas impor. Seperti merek Dunhill yang
dibelinya Rp 450, bisa dijualnya seharga Rp 525. "Banyak juga
yang bersedia membeli Rp 550, tanpa banyak .ribut," katanya.
Tapi kritik masih saja terdengar dari pabrik kecil. Mungkin
dengan maksud untuk mengimbangi pabrik besar, Hariyanto dari
Pabrik Sriti di Kediri menyatakan "akan tetap menjual pas
bandrol sampai pengecer." Menurut Hariyanto, pabrik kecil itu
umumnya tak mengenal agen."
Moh. Thoha dari PT Jangkar Agung, Nganjuk, akan merasa gembira
kalau saja pabriknya bisa memperoleh pita secepat mungkin.
"Sudah dua bulan kami memesan bandrol, tapi belum juga datang,"
katanya. Padahal kalau nanti datang, sudah tak cocok lagi
dengan kalkulasi. Banyak pengusaha bersepakat, selama harga
cengkeh masih angin-anginan, selama itu pula sulit dibuat
kalkulasi yang bisa berlaku lama."
Sekalipun demikian, dibandingkan tiga bulan lalu pabrik rokok di
Ja-Tim umumnya sudah mendingan sekarang. Ini akibat turunnya
harga cengkeh dari Rp 15.000/kg menjadi Rp 13.000/kg. "Kini kami
sudah bisa menggunakan cengkeh seratus persen, tak lagi yang
sintetis," ujar seorang pabrikan kecil. Dia beranggapan,
turunnya harga cengkeh ini baru bisa menolong untuk
mempertahankan mutu.
Adakah harga cengkeh akan turun terus? Itu tentunya tergantung
pada kepandaian impor dan distribusi dari dua perusahaan yang
menikmati monopoli impor cengkeh PT Mercu Buana dan PT Mega.
Pada 6 September lalu kapal yang rnembawa cengkeh itu memang
sudah merapat di Tanjung Perak Sebuah sumber memperkirakan ada
6.000 ton, tapi belakangan diduga baru 3.000 ton.
Itupun, menurut sumber TEMPO, sebanyak 2.000 ton akan dilever
ke Kudus lewat pelabuhan Semarang dan yang 1.000 ton untuk Jawa
Timur. Tapi yang pasti, banyak juga pabrikan kecil di Jawa Timur
gembira karena sudah mendapat jatah cengkeh dari PT Mercu Buana
masing-masing 2 kwintal/bulan dengan harga Rp 8.160/kg.
Bagaimanapun, injeksi cengkeh itu sedikit banyak akan melumlsi
roda pabrik kretek. Sekalipun kegiatan masih terasa kendor. Di
Kudus hanya Djarum yang tampaknya tidak goncang karena punya
persediaan cengkeh cukup. Tapi produksinya, seperti kata manajer
Djarum Budi Santoso, 35 tahun, kepada Putu Setia dari TEMPO,
turun 20-30% dibandingkan produksi tahun lalu.
Namun PR Jambu Bol, milik H. Asnawi yang pribumi dan tergolong
lumayan di Kudus, toh sempat mergurangi jam kerja. Setiap buruh
hanya mendapat jatah melinting 2.000 batang, sedang dulu bisa
mencapai 7.000 batang sehari. Sukun dan Nojorono kabarnya
senasib dengan Jambu Bol.
Di luar 4 besar di Kudus itu, kelas menengah seperti cap Langsep
menurut pihak PPRK di Kudus sudah "Senin-Kemis". Sedang yang
kecil seperti PR Delima sudah 2 bulan tutup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini