Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bila cengkeh mulai mengalir

Keputusan pemerintah mengenai harga rokok pas bandrol sampai ke tingkat pengecer yang diurungkan, di sambut positif, terutama oleh pabrik rokok besar, selain itu harga cengkeh sudah turun. (eb)

15 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HENDRA Suryaseputra dari PT Bentoel Malang mengusap kedua telapak tangannya. "Kami gembira dengan keputusan itu," katanya kepada Dahlan Iskan dari TEMPO pekan lalu. Yang dimaksud orang Bentoel itu jelas keputusan pemerintah yang mengurungkan niatnya untuk membuat harga rokok pas bandrol sampai di tingkat pengecer mulai 1 September lalu. Menurut keputusan yang dikeluarkan akhir Agustus lalu, harga rokok masih diperbolehkan di atas bantrol meskipun di tingkat agen sudah harus pas bandrol. Kegembiraan Hendra memang beralasan. Berbeda dengan rokok putih, rokok kretek ini amat tergantung dari pengadaan cengkeh yang sebagian besar masih diimpor, dan keharusan memakai tembakau dalam negeri. Kini pabrik kembali tenang dapat menjual ke pasaran dengan kalkulasi harga lebih tinggi. Seperti di PR Djarum, terbesar di Jawa Tengah, mereka bisa melepaskan kreteknya dengan memberi keuntungan buat agen hanya 4% dari harga bandrol. Dengan demikian, harga af pabrik untuk merek Djarum 76 yang bandrolnya Rp 225 adalah sebesar Rp 216 per bungkus. Laba Rp 9 ini dibagi antara agen dan sub agen. Kapal Cengkeh Di samping itu para agen masih mendapat bonus dari pabrik lewat perwakilam Sub agen boleh menaikkan harga sesuai dengan kalkulasinya sendiri. Tapi para pengecer yang kemudian mendapat harga sedikit di atas bandrol paling tidak mengharapkan Rp 20 per bungkus. Itu sebabnya di pasaran, Djarum yang bandrolnya Rp 225 per bungkus sudah mencapai Rp 275 di Kudus. Di Yogya malahan Rp 300. Asmawi, yang sejak lama membuka kios rokok di dekat bioskop Mcnteng, Jakarta, mengaku keuntungan itu berkisar antara Rp 20 sampai Rp 75. Tapi yang bisa masuk kantong sebanyak Rp 75 itu berasal dari rokok kelas impor. Seperti merek Dunhill yang dibelinya Rp 450, bisa dijualnya seharga Rp 525. "Banyak juga yang bersedia membeli Rp 550, tanpa banyak .ribut," katanya. Tapi kritik masih saja terdengar dari pabrik kecil. Mungkin dengan maksud untuk mengimbangi pabrik besar, Hariyanto dari Pabrik Sriti di Kediri menyatakan "akan tetap menjual pas bandrol sampai pengecer." Menurut Hariyanto, pabrik kecil itu umumnya tak mengenal agen." Moh. Thoha dari PT Jangkar Agung, Nganjuk, akan merasa gembira kalau saja pabriknya bisa memperoleh pita secepat mungkin. "Sudah dua bulan kami memesan bandrol, tapi belum juga datang," katanya. Padahal kalau nanti datang, sudah tak cocok lagi dengan kalkulasi. Banyak pengusaha bersepakat, selama harga cengkeh masih angin-anginan, selama itu pula sulit dibuat kalkulasi yang bisa berlaku lama." Sekalipun demikian, dibandingkan tiga bulan lalu pabrik rokok di Ja-Tim umumnya sudah mendingan sekarang. Ini akibat turunnya harga cengkeh dari Rp 15.000/kg menjadi Rp 13.000/kg. "Kini kami sudah bisa menggunakan cengkeh seratus persen, tak lagi yang sintetis," ujar seorang pabrikan kecil. Dia beranggapan, turunnya harga cengkeh ini baru bisa menolong untuk mempertahankan mutu. Adakah harga cengkeh akan turun terus? Itu tentunya tergantung pada kepandaian impor dan distribusi dari dua perusahaan yang menikmati monopoli impor cengkeh PT Mercu Buana dan PT Mega. Pada 6 September lalu kapal yang rnembawa cengkeh itu memang sudah merapat di Tanjung Perak Sebuah sumber memperkirakan ada 6.000 ton, tapi belakangan diduga baru 3.000 ton. Itupun, menurut sumber TEMPO, sebanyak 2.000 ton akan dilever ke Kudus lewat pelabuhan Semarang dan yang 1.000 ton untuk Jawa Timur. Tapi yang pasti, banyak juga pabrikan kecil di Jawa Timur gembira karena sudah mendapat jatah cengkeh dari PT Mercu Buana masing-masing 2 kwintal/bulan dengan harga Rp 8.160/kg. Bagaimanapun, injeksi cengkeh itu sedikit banyak akan melumlsi roda pabrik kretek. Sekalipun kegiatan masih terasa kendor. Di Kudus hanya Djarum yang tampaknya tidak goncang karena punya persediaan cengkeh cukup. Tapi produksinya, seperti kata manajer Djarum Budi Santoso, 35 tahun, kepada Putu Setia dari TEMPO, turun 20-30% dibandingkan produksi tahun lalu. Namun PR Jambu Bol, milik H. Asnawi yang pribumi dan tergolong lumayan di Kudus, toh sempat mergurangi jam kerja. Setiap buruh hanya mendapat jatah melinting 2.000 batang, sedang dulu bisa mencapai 7.000 batang sehari. Sukun dan Nojorono kabarnya senasib dengan Jambu Bol. Di luar 4 besar di Kudus itu, kelas menengah seperti cap Langsep menurut pihak PPRK di Kudus sudah "Senin-Kemis". Sedang yang kecil seperti PR Delima sudah 2 bulan tutup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus