NASIB baik jarang mampir ke alamat pandai besi. Berbagai
kesulitan selalu menghadang, seperti membanjirnya pacul impor.
Juga mengalirnya traktor tangan dan traktor mim yang mulai
digemari para petani kaya di Sulawesi Selatan, Bali dan Jawa
Barat.
Untuk impor traktor, importir mendapatkan fasilitas bank dengan
bunga 1% sebulan. Bea masuknya dipungut 20%. Fasilitas serupa
belum ditawarkan kepada pandai besi. Bahkan sekitar 80 buah
tempat pembuatan pacul di Kabupaten Tegal, Ja-Teng, dewasa ini
terancam punah. Kenapa?
"Tak ada perhatian dan pembinaan dari pemerintah," kata Tadjam,
40 tahun, seorang pandai besi di Tegal. Tadjam yang membikin
pacul bersama Karlito saudara iparnya sudah belasan tahun
prihatin. Peralatan yang diwariskan orang tuanya belum berobah
dapur pembakaran plat besi yang di Tegal disebut Ububan, dua
buah tabung kayu penghembus api arang, digerakan dengan tangan
atau kaki, sebuah landasan berikut martil besar penempa besi.
"Hidup kami tergantung pesanan tengkulak," katanya kepada Aris
Amiris dari TEMPO.
Untuk setiap pesanan mereka menerina uang muka dari tengkulak
yang kemudian dipergunakannya untuk membeli bahan baku seperti
plat besi, arang kayu atau batubara. "Kini, kami lebih banyak
menganggur dari bekerja," tambahnya." Paling banyak produksinya
5 pacul per hari. Itupun tak menentu." Dulu, di tahun 50-an,
ketika usha pembuatan pacul ini dijalankan mertuanya, rata-rata
produksinya 8 buah sehari.
Mereka tak punya modal. Bantuan dari pemerintah daerah atau bank
tak pernah ada. "Pasarannya sangat terbatas," ujar pejabat Pemda
Kab. Tegal. Pembinaan dari Dinas Perindustrian setempat baru di
arahkan ke sektor industri rumah yang menghasilkan alat-alat
kebutuhan rumah tangga seperti kompor, periuk, kuali atau
industri kaleng. Lagi pula di hampir semua daerah di Indonesia,
terutama Jawa punya tempat-tempat pembuatan pacul seperti di
Tegal itu.
Di Jawa Timur banyak sentra pro.luksi alat-alat pertanian
tradisional yang sudah bisa membuat baut, per, kunci pas dan
suku cadang lainnya, seperti terdapat di Waru, Kediri dan
Pasuruan. Tapi desa Sewulan, 7 km selatan Madiun tetap menjadi
pusat produksi pacul. Ada 120 unit pandai besi di Sewulan yang
berpenduduk sekitar 3000 jiwa itu, dengan produksi tak kurang
dari 700.000 pacul setahun. Pasarannya masih terbatas di
kalangan petani kelas bawah.
Jalan Pintas
Impor alat pertanian ini cukup besar, bahkan terus meningkat
terutama traktor dalam bentuk terurai (CKD). Menurut data Biro
Pusat Statistik impor pacul 1976 mencapai lebih 1.3 juta buah
dengan harga $1.061.463. Pada 1977 meningkat menjadi 1.353.000
tapi dengan harga $865.000, sementara tahun lalu turun menjadi
710.000 buah seharga lebih kurang $552.000.
Menurunnya impor pacul rupanya diganti dengan naiknya impor
traktor. Tahun 1976 misalnya impor traktor ini berjumlah 1.099
unit, naik menjadi 1.45o unit pada tahun 1978 lalu yang masuk
dari Jepang, Amerika Serikat, Inggeris, Jerman Barat, RRC,
Hongkong dan Australia. Penggunaannya tersebar di berbagai
daerah. Menurut data dari Direktorat Bina Produksi Tanaman
Pangan, Deptan 1977 di Ja-Bar ada 560 unit, Ja-Teng 98 unit dan
Ja-Tim 65 unit. Sedang di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sul-Sel
ada sekitar 160 unit traktor.
Pemerintah tampaknya memilih jalan pintas untuk mencukupi
kebutuhan pacul dalam negeri. Bukan dengan meningkatkan
kemampuan sentara sentra pandai besi. Tapi mendirikan pabrik
pacul mekanis yang mampu membuat 1 juta pacul setahun. Yakni
dengan mengembangkan PT Boma dengan modal DM 22,5 juta plus Rp
4,5 milyar dengan membeli lisensi pacul cap Mata dari Jerman
Barat yang terkenal itu. Tahun lalu Boma di Pasuruan itu telah
memasarkan paculnya sebanyak 700.000 buah ke pasaran dengan
harga Rp 1.400 - Rp 2.000 per buah. Sedang pacul Sewulan
misalnya hanya Rp 700 per buah.
Seperti di Tegal, pandai besi di Sewulan pun tergantung nasibnya
kepada pedagang (tengkulak). Mansur, 29 tahun, yang memiliki
industri pacul di Sewulan untuk membeli bahan baku harus minta
persekot kepada tengkulak, sehingga keuntungannya tipis sekali.
Berbagai tamu mulai dari anggota DPR, sampai Gubernur BI Rachmat
Saleh pernah datang meninjau Sewulan. "Tapi hingga sekarang
belum ada hasilnya yang nyata," kata seorang empu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini