Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tergantung pesanan tengkulak

Pandai besi, pembuat pacul di ja-teng terdesak oleh banyaknya impor traktor. mereka tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemda ataupun bank, sementara pemerintah mendirikan pabrik pacul mekanis. (eb)

15 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB baik jarang mampir ke alamat pandai besi. Berbagai kesulitan selalu menghadang, seperti membanjirnya pacul impor. Juga mengalirnya traktor tangan dan traktor mim yang mulai digemari para petani kaya di Sulawesi Selatan, Bali dan Jawa Barat. Untuk impor traktor, importir mendapatkan fasilitas bank dengan bunga 1% sebulan. Bea masuknya dipungut 20%. Fasilitas serupa belum ditawarkan kepada pandai besi. Bahkan sekitar 80 buah tempat pembuatan pacul di Kabupaten Tegal, Ja-Teng, dewasa ini terancam punah. Kenapa? "Tak ada perhatian dan pembinaan dari pemerintah," kata Tadjam, 40 tahun, seorang pandai besi di Tegal. Tadjam yang membikin pacul bersama Karlito saudara iparnya sudah belasan tahun prihatin. Peralatan yang diwariskan orang tuanya belum berobah dapur pembakaran plat besi yang di Tegal disebut Ububan, dua buah tabung kayu penghembus api arang, digerakan dengan tangan atau kaki, sebuah landasan berikut martil besar penempa besi. "Hidup kami tergantung pesanan tengkulak," katanya kepada Aris Amiris dari TEMPO. Untuk setiap pesanan mereka menerina uang muka dari tengkulak yang kemudian dipergunakannya untuk membeli bahan baku seperti plat besi, arang kayu atau batubara. "Kini, kami lebih banyak menganggur dari bekerja," tambahnya." Paling banyak produksinya 5 pacul per hari. Itupun tak menentu." Dulu, di tahun 50-an, ketika usha pembuatan pacul ini dijalankan mertuanya, rata-rata produksinya 8 buah sehari. Mereka tak punya modal. Bantuan dari pemerintah daerah atau bank tak pernah ada. "Pasarannya sangat terbatas," ujar pejabat Pemda Kab. Tegal. Pembinaan dari Dinas Perindustrian setempat baru di arahkan ke sektor industri rumah yang menghasilkan alat-alat kebutuhan rumah tangga seperti kompor, periuk, kuali atau industri kaleng. Lagi pula di hampir semua daerah di Indonesia, terutama Jawa punya tempat-tempat pembuatan pacul seperti di Tegal itu. Di Jawa Timur banyak sentra pro.luksi alat-alat pertanian tradisional yang sudah bisa membuat baut, per, kunci pas dan suku cadang lainnya, seperti terdapat di Waru, Kediri dan Pasuruan. Tapi desa Sewulan, 7 km selatan Madiun tetap menjadi pusat produksi pacul. Ada 120 unit pandai besi di Sewulan yang berpenduduk sekitar 3000 jiwa itu, dengan produksi tak kurang dari 700.000 pacul setahun. Pasarannya masih terbatas di kalangan petani kelas bawah. Jalan Pintas Impor alat pertanian ini cukup besar, bahkan terus meningkat terutama traktor dalam bentuk terurai (CKD). Menurut data Biro Pusat Statistik impor pacul 1976 mencapai lebih 1.3 juta buah dengan harga $1.061.463. Pada 1977 meningkat menjadi 1.353.000 tapi dengan harga $865.000, sementara tahun lalu turun menjadi 710.000 buah seharga lebih kurang $552.000. Menurunnya impor pacul rupanya diganti dengan naiknya impor traktor. Tahun 1976 misalnya impor traktor ini berjumlah 1.099 unit, naik menjadi 1.45o unit pada tahun 1978 lalu yang masuk dari Jepang, Amerika Serikat, Inggeris, Jerman Barat, RRC, Hongkong dan Australia. Penggunaannya tersebar di berbagai daerah. Menurut data dari Direktorat Bina Produksi Tanaman Pangan, Deptan 1977 di Ja-Bar ada 560 unit, Ja-Teng 98 unit dan Ja-Tim 65 unit. Sedang di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sul-Sel ada sekitar 160 unit traktor. Pemerintah tampaknya memilih jalan pintas untuk mencukupi kebutuhan pacul dalam negeri. Bukan dengan meningkatkan kemampuan sentara sentra pandai besi. Tapi mendirikan pabrik pacul mekanis yang mampu membuat 1 juta pacul setahun. Yakni dengan mengembangkan PT Boma dengan modal DM 22,5 juta plus Rp 4,5 milyar dengan membeli lisensi pacul cap Mata dari Jerman Barat yang terkenal itu. Tahun lalu Boma di Pasuruan itu telah memasarkan paculnya sebanyak 700.000 buah ke pasaran dengan harga Rp 1.400 - Rp 2.000 per buah. Sedang pacul Sewulan misalnya hanya Rp 700 per buah. Seperti di Tegal, pandai besi di Sewulan pun tergantung nasibnya kepada pedagang (tengkulak). Mansur, 29 tahun, yang memiliki industri pacul di Sewulan untuk membeli bahan baku harus minta persekot kepada tengkulak, sehingga keuntungannya tipis sekali. Berbagai tamu mulai dari anggota DPR, sampai Gubernur BI Rachmat Saleh pernah datang meninjau Sewulan. "Tapi hingga sekarang belum ada hasilnya yang nyata," kata seorang empu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus