TURUNNYA penerimaan pajak minyak, ternyata, belum akan mengeringkan sama sekali isi kantung pemerintah. Kendati APBN 1987-88 bakal lebih ramping, program pemberian kredit kendaraan bermotor murah bagi pegawai negeri nyatanya tetap diisi bensin. Sikap tak menyerah itu sebenarnya sudah terlihat sejak Keppres No. 48/86, yang mengatur pemberian fasilitas itu bagi anggota DPR, MPR, DPA, MA, dan BPK, diturunkan September lalu. Dan seperti sudah diduga, di hari-hari ini cerita mengenai kredit kendaraan murah itu kembali dipercakapkan di pelbagai lapisan termasuk para anggota DPR. Apalagi setelah hari Minggu dua pekan lalu, sejumlah dealer yang nekat mendadak saja mengubah kompleks Wisma DPR-RI di Senayan sebagai ajang pameran mobil. Dengan cara begitu, mereka berharap para anggota Dewan yang tergoda, setelah menonton, akan segera menjatuhkan pilihannya. Hasilnya memang ada. Seusai pameran, tidak kurang dari 240 unit mobil masuk ke dalam daftar pesanan. Dari jumlah ini, Toyota Astra Motor (TAM), yang memamerkan Corolla, Corona, dan Starlet, berhasil meraih angka terbanyak dengan 180 unit. "Memang, dengan adanya peraturan itu, kami mengharapkan adanya peningkatan volume penjualan," kata Soemitro Soerachmad, Direktur TAM. Di instansi lain, meskipun sudah ada pameran, penjualan yang terjadi biasa-biasa saja. Belum jelas, memang, berapa jumlah mobil yang terjual di kalangan pegawai negeri. Tapi harus diakui, tawaran itu sangat menggoda. Siapa tak mimpi kalau Corolla baru bisa dikredit dengan hanya Rp 17 juta karena Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn BM) atas kendaraan yang seluruhnya Rp 11 juta itu ditanggung Pemerintah. Namun, tidak semua orang bisa memilih Corolla dan berhak mendapat subsidi besar. Sebab, pemberian fasilitas ditentukan pula oleh tinggi-rendahnya kursi seseorang. Eselon IV (setingkat kepala seksi), misalnya hanya berhak mendapat kredit mobil seharga Rp 10 juta, dan subsidi Rp 350 ribu-Rp 1,09 juta. Lalu eselon I (setingkat dirjen) kreditnya Rp 35 juta dengan subsidi Rp 5,1 juta - Rp 17,69 juta. Yang jadi soal, bagaimana pengaruh pemberian subsidi BM, PPn BM, dan PPN itu. Tidakkah sasaran ketiga jenis penerimaan untuk tahun anggaran 1987-88 sebesar Rp 4,2 trilyun itu kelak bakal terganggu? Kalau jumlah mobil yang dikreditkan mencapai 10.000 dan rata-rata subsidi dihitung Rp 10 juta, maka uang yang sudah ditarik Dirjen Pajak Salamun, tapi harus dikeluarkan lagi, tak kurang dari Rp 100 milyar. Lumayan besar, tapi sebagai pelaksana Dirjen Salamun tentu tak bisa protes. "Tanggung jawab kami hanya terbatas pada penerimaan pajak," katanya. Ternyata, bukan hanya itu yang diberikan. Pemerintah juga menanggung selisih bunga yang dikenakan para dealer. Dalam keputusan itu disebutkan, kepada pegawai negeri yang menggunakan fasilitas tersebut hanya akan dikenakan bunga 12% per tahun. Artinya, 8% lebih murah dari suku bunga kredit yang normal, dan ini menjadi tanggungan Pemerintah. Tak syak lagi, ini fasilitas yang menyenangkan. "Saya mengambil juga, karena ini bukan hasil meminta-minta atau korupsi, tapi benar-benar halal," kata Rusli Desa, Ketua Komisi I dari FKP. Menurut Rusli, setiap anggota Dewan yang belum pernah menikmati fasilitas seperti itu mempunyai hak untuk mengkredit. "Soal nanti mau dijual lagi, atau dipakai sendiri, itu terserah masing-masing," ujarnya lebih lanjut. Dijual lagi? Bukan hal yang tidak mungkin, memang, kalau cicilannya sudah dilunas. Seperti yang dikemukakan seorang anggota DPR, yang menilai, "Fasilitas semacam ini sangat menguntungkan bagi anggota Dewan yang berjiwa bisnis." Caranya mudah. Taruhlah, seorang anggota Dewan mengambil Corolla yang harganya Rp 28 juta. Kalau kebetulan ada uang, ia bisa membayar tunai Rp 17 juta. Nah, kemudian mobil itu bisa dijualnya dengan cepat Rp 24 juta. Untungnya lumayan. Ah, ternyata jeli juga Pak Dewan ini. Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini