CEPAT atau lambat, sistem cetak jarak jauh (CJJ) akan menyemarakkan pers Indonesia. Gagasan itu dulu pernah bergema, tapi baru Selasa pekan silam Menteri Penerangan Harmoko menyuarakannya kembali dalam jumpa pers di Palu. Diakui oleh Harmoko bahwa Indonesia dituntut menghadapi era sistem CJJ, yang tergolong teknologi canggih. Sejalan dengan itu, Menteri berpendapat bahwa sudah saatnya CJJ dibicarakan bersama oleh Serikat Grafika Pers (SGP), Serikat Penerbit Pers (SPS), untuk selanjutnya dimatangkan dalam forum Dewan Pers. Ucapan Harmoko terdengar bagaikan "gong". Soalnya, sekitar dua tahun lalu, sebuah koran besar Ibu Kota minta izin pada pemerintah untuk membangun sistem modern itu. Alasannya. supaya bisa bersaing dengan koran lokal. Memang, dengan sistem itu surat-surat kabar Jakarta tak perlu lagi mengirimkan berton-ton korannya ke daerah. Mereka cukup mengirim copy halaman via facsimile, untuk kemudian dicetak di tempat yang dituju. Majalah Time, misalnya, untuk edisi Asia-nya? cukup mengirim copy halamannya lewat satelit ke Singapura, lalu dicetak di situ, dan kemudian disebarkan ke kawasan sekitarnya. Benar-benar menghemat waktu dan biaya. Jika pemerintah belum mengizinkan sistem canggih itu, tak lain karena mengingat kepentingan koran-koran daerah. "Tidak semudah itu, dong," tukas Harmoko, yang ditanya TEMPO seusai salat Jumat pekan lalu di Deppen. Ditegaskannya, pengoperasian CJJ harus dibicarakan dulu di antara orang pers. Nanti kalau sudah ada kesepakatan, pemerintah tinggal mengaturnya. Dirjen PPG Janner Sinaga juga berkomentar seirama, "Pemerintah masih mempertimbangkannya." Diingatkannya tentang nasib yang menghadang pers daerah, bila CJJ diizinkan. "Kalau misalnya koran Ibu Kota datang ke daerah, apalagi dengan harga yang sama. koran-koran setempat takkan dibeli orang." Kecil dan lemahnya modal koran daerah jadi alasan utama pemerintah untuk belum mengizinkan CJJ. Memang, sebagian besar koran daerah keberatan terhadap CJJ. Ir. Budi Santoso, Ketua SGP yang juga Pemimpin Umum Harian Suara Merdeka Semarang, berpendapat, "Saat ini belum waktunya menggunakan teknologi baru itu, karena jelas akan mempercepat kepunahan pers daerah." Demikian juga pendapat H. Abdul Rauf Syaf, Dewan Pelaksana Redaksi Harian Waspada Medan. Tampaknya hanya Jawa Pos (JP) koran Surabaya yang beroplah 280 ribu yang siap menghadapi era teknologi percetakan modern. Pemimpin Redaksinya, Dahlan Iskan, tahun lalu sudah pergi ke Jepang untuk meninjau dan melihat kemungkinan itu. Di Jepang, katanya, tak satu pun koran lokal yang terbunuh oleh kehadiran koran nasional -- karena CJJ. Andai kata Kompas, misalnya, datang ke Surabaya lewat SJJ, dan terbit bersamaan dengan JP, mungkin itu hanya mempengaruhi pemasaran di Jawa Timur. Soalnya, dengan CJJ juga, JP pun bisa merasuk ke daerah lain. "Jadi, imbang," kata Dahlan. Namun, pada pendapatnya, kalaupun CJJ diizinkan beroperasi, paling cepat terlaksana dalam waktu tiga tahun ini. Alasannya, sarana telekomunikasi kita belum mampu. Kendati demikian, JP toh siap. Lain lagi pendapat Dr. Sutarno, Wakil Pemimpin Umum Suara Pembaruan. Pihaknya sudah sejak dua tahun lalu mengadakan pemantauan, tapi kemudian "patah semangat" lantaran tak diizinkan. Katanya, alasan pemerintah itu kurang tepat. "Dengan CJJ, bukan hanya koran Ibu Kota yang datang ke daerah, tapi koran daerah bisa juga menembus Ibu Kota." Ia menunjuk perkembangan pesat JP, yang berpotensi mendesak koran-koran Jakarta. Menurut Sutarno, dengan CJJ, maka di daerah, koran pusat akan jadi pelengkap, seperti juga koran daerah akan jadi pelengkap di pusat. Singkatnya, kehadiran CJJ takkan menenggelamkan pers daerah. Bagaimana, setuju? Atau masih ragu?A. Dahana, dan Biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini