DIAM-diam ada sesuatu yang sedang berproses di tubuh mingguan JakartaJakarta (JJ), majalah berita bergambar yang terkenal dengan slogan: Panas Gambarnya Hangat Beritanya. Dan proses itu, Senin pekan ini, telah mencapai puncaknya. Noorca M. Massardi, pendiri yang menjadi Pemimpin Redaksi JJ, resmi mengundurkan diri. Ada apa ? "Saya mundur bukan lantaran adanya petisi yang dibuat anak-anak JJ. Tapi karena saya diminta mundur," jawab Noorca, yang menjadi pemred selama tiga tahun. Lho? Memang, pada prosesnya Jacob Oetama-lah, pimpinan Kelompok Kompas Gramedia (sebagai induk JJ), kabarnya yang menganjurkan agar Noorca mengundurkan diri. Tapi, jauh sebelum permintaan itu muncul, sebagian besar karyawan JJ sudah resah. Dan ujung-ujungnya, mereka mengajukan petisi yang meminta agar pemimpin redaksi mereka diganti. Menurut Kurniawan Junaedhie wakil pemred, konflik bermuara ketika Noorca mengubah JJ menjadi mingguan -- sebelumnya JJ terbit dua minggu sekali. Ketika itu, September 1987, hampir sebagian besar anggota redaksi tak setuju. Alasannya, oplah JJ sudah mencapai ribu eksemplar. "Seharusnya jumlah itulah yang dipertahankan" katanya. Tegasnya, Kurniawan dkk., khawatir oplah akan turun, kalau JJ diubah menjadi mingguan. Alasan lain, wartawan JJ ketika itu belum memadai untuk mengisi 112 halaman JJ. Kendati banyak halamannya memuat foto dan kutipan atau saduran dari media asing. Tapi Noorca tetap pada tekadnya untuk menerbitkan JJ sebagai mingguan. Dengan perhitungan paling buruk, oplah JJ hanya akan turun 25%. Akibatnya, menurut beberapa wartawan JJ, hubungan antara pemred dan anggota redaksinya menjadi kurang baik. Konon, sejak itu pula Noorca mengemudikan kendali JJ agak sendirian. Termasuk dalam menetapkan jabatan di lingkungan redaksi. Seno Aji Gumira, misalnya, yang semula redaktur pelaksana, pernah diangkat menjadi wakil pemred. Tapi kemudian Seno dikembalikan lagi pada jabatan semula. Fotografer Desiree Harahap juga diangkat menjadi wakil redaktur visual. Dan tak lama setelah itu, langsung dinaikkan menjadi redaktur foto liputan dan visual. Kemudian jabatannya berubah menjadi penyunting foto. Sementara itu, tugasnya sehari-hari, menurut Desiree, tak pernah berubah, yakni sebagai fotografer dan periset foto. Jadi, "kriteria jabatan itu tak pernah jelas," katanya. Keadaan, kabarnya, makin resah ketika pemimpin redaksi merekrut sendiri beberapa karyawan baru, dan memberi jabatan yang cukup penting. Itulah agaknya yang memacu sebagian karyawan JJ menuntut agar Noorca diganti, dalam suatu pertemuan di antara mereka awal tahun ini. Tapi, konon, Jakob menolak usul tersebut. Ia yakin, manajemen JJ masih bisa dibenahi. Caranya, dengan mengutus Budiarto Danudjaja, wartawan Kompas, sebagai jembatan antara Noorca dan anak buahnya. Lumayan, komunikasi berjalan. Tapi sayang tak bertahan lama, hanya sampai pertengahan tahun 1988. Entah apa sebabnya. Perginya Budiarto membuat suasana semakin runyam. Hanya dalam waktu enam bulan, 20 karyawan bagian redaksi langsung keluar. Sementara untuk menentukan berita pun tak pernah ada lagi rapat perencanaan. Semua berita yang naik cetak hanya berdasarkan rapat di tiap-tiap rubrik (di JJ ada 9 rubrik). Ujung-ujungnya, tiga pekan lalu, petisi serupa muncul kembali, yang ditandatangani oleh 18 anggota redaksi (termasuk wakil pemred dan para redaktur pelaksana). Kali ini pimpinan Grup Kompas Gramedia mengajak Noorca untuk berembuk. Dan hasilnya, Noorca bersedia mundur dengan beberapa syarat. Antara lain, meminta jabatan pemred di majalah Senang (yang akan diterbitkan Kompas Gramedia), disertai hak atas distribusi, pemasaran, iklan, dan promosi selama setahun. Dia juga minta agar SIUPP JJ dikembalikan, plus pesangon yang konon sebesar 500 ribu dolar AS. Tapi manajemen Kompas Gramedia hanya menyetujui tuntutan pesangonnya kabarnya Rp 100 juta bersih. Dan Noorca menerima. "Saya anggap Gramedia masih menghargai saya, kendati jumlah pesangon itu tak sebesar yang saya tuntut," ujarnya. Tentang tuduhan-tuduhan yang dilontarkan bekas anak buahnya, ia berucap, "Saya sendiri tak ada konflik dengan rekan-rekan." Noorca mengaku bahwa semua jabatan di redaksi langsung diatur olehnya. "Tapi itu dilakukan dengan prinsip profesional," ujarnya. Juga soal rekrutmen, itu dilakukan demi kepentingan JJ, "bukan untuk saya," ucapnya. Sebab, tanpa adanya orang-orang baru sebagai cadangan, JJ akan menjadi bergantung pada beberapa orang saja. "Melalui JJ, sebenarnya saya ingin menciptakan pembaca baru," kata eks pemred yang mengaku mengambil konsep majalah Paris Match untuk JJ. Lantas, turunnya oplah yang kini menjadi sekitar 40 ribu eksemplar, menurut seniman berputra dua itu, dikarenakan daya beli masyarakat yang turun. Jadi, bukan karena berubah menjadi mingguan. Dan kendati begitu, "Saya kira selama ini JJ tidak merugi," ujarnya. Benarkah? "Tidak. Sejak jadi mingguan, JJ rugi terus," kata Arswendo Atmowiloto. Pemred mingguan tabloid Monitor itu, oleh Pimpinan Kompas Gramedia, diterjunkan ke kandang JJ, untuk memberi napas baru, agaknya. Apakah di bawah tangan terampil Arswendo, JJ akan semakin hangat beritanya dan panas gambarnya, mari kita tunggu. Tapi yang pasti, temperatur yang tadinya terasa panas di dalam tubuh JJ kini boleh dibilang telah kembali normal.Budi Kusumah, Sri Pudyastuti, Budiono Darsono, Y. Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini