Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisa 0% Dengan Indeks Kuno

Pemerintah menyatakan bahwa tingkat inflasi menurun karena indeks bahan makanan turun. Dilain pihak peredaran uang bertambah akibat naiknya jumlah kredit bank. Pemohon kredit KMKP & KIK meningkat. (eb)

15 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU kejutan untuk ekonomi Indonesia. Bukan devaluasi atau revaluasi rupiah seperti dihebohkan kembali pekan lalu. Bukan pula "kebijaksanaan baru di bidang moneter", seperti dikatakan Menpen Ali Moertopo di Bina Graha Rabu pekan lalu, yang sempat membuat sibuk kalangan pengusaha dan pedagang di Jakarta (lihat Pasar). Tapi itu tingkat inflasi yang anjlok di bulan Juni dengan 1,28%: satu hal yang untuk pertama kalinya terjadi selama 8 tahun terakhir ini. Rekor itu terutama disebabkan indeks bahan makanan yang turun dengan 2,1%, sedang indeks harga bahan lain hanya berobah sedikit dibanding indeks bulan sebelumnya. Akibatnya, inflasi selama setengah tahun pertama mencapai 0,7%. Dalam periode yang sama tahun lalu, tingkat inflasi itu mencapai 4,8%. Akibat lain: tingkat inflasi tahunan juga turun dari 9,9% di bulan Mei, menjadi 7,5% selama Juni. Maka tingkat inflasi antara Maret-Juni, yang merupakan kwartal pertama tahun anggaran '78/'79 praktis adalah 0%, sebagaimana juga dikemukakan Ali Moertopo. Kalau kecondongan seperti ini bisa dipertahankan, dan tarohlah tak terjadi hal-hal yang luar biasa untuk seterusnya, besar kemungkinan untuk pertama kalinya inflasi akan berada di bawah 10%, sesuatu yang sudah lama merupakan ambisi pemerintah. Tapi pertanyaan masih terus mengganggu: sampai di mana indeks biaya hidup yang selama ini dipakai masih bisa dipercaya? Indeks harga bahan makanan tercatat turun dengan 2,1%. Tapi kalau ditanyakan kepada ibu rumah tangga, harga bahan makanan apakah yang turun bulan ini, dia akan melongo. Rasanya tak ada yang turun, beberapa bahan makanan seperti susu malah naik. Indeks biaya hidup yang dirumuskan sejak 20 tahun yang lalu memang sudah tak sesuai lagi dengan pola konsumsi sekarang ini. "Tapi itulah satu-satunya yang tersedia," kata Menteri Keuangan Ali Wardhana beberapa waktu lalu, yang merupakan petunjuk tak langsung akan ketidak-puasannya terhadap pemakaian indeks sekarang ini. Apabila survei biaya hidup yang kini tengah dilakukan di 19 kota besar sudah selesai, dan dari situ kemudian dirumuskan indeks biaya hidup baru, mungkin angka inflasi yang dihasilkan akan berlainan. Prematur Tapi kegembiraan pemerintah dengan rendahnya inflasi ini agaknya sedikit prematur. Bulan puasa dan lebaran sudah diambang pintu. Dan sekalipun indeks harga 9 bahan pokok di Jakarta sudah stabil sejak awal tahun ini, di beberapa kota besar lain bahkan turun, tapi ketidak-pastian penyediaan kopra dan minyak sawit akan mengganggu penyediaan minyak goreng dan margarine yang justru di saat menjelang lebaran mengalami kenaikan permintaan. Harga sabun cuci dan sabun mandi dengan sendirinya akan terpengaruh. Dan harus diingat pula pengaruh pertambahan uang beredar dan kredit bank yang sudah mulai nampak awal tahun ini. Kalau jumlah uang beredar selama kwartal keempat 1977 turun dengan 0,4% dari kwartal sebelumnya, maka pada akhir Maret tahun ini, uang beredar melonjak dengan 7%, menjadi Rp 2162 milyar, sedangkan sampai pertengahan Mei yang lalu sudah bertambah dengan 8,4% menjadi Rp 2191 milyar. Dan dalam waktu yang bersamaan, jumlah kredit bank selama kwartal pertama naik dengan 3%, menjadi Rp 4072 milyar csudah dua kwartal sebelumnya hanya bertambah dengan masing-masing 2,4% dan 09%. Sampai minggu kedua bulan Mei, jumlah kredit bank sudah mencapai Rp 4155 milyar, atau naik dengan 2%, hanya dalam waktu satu setengah bulan. Hal ini terjadi akibat dari kelonggaran dalam kebijaksanaan kredit yang dilakukan Bank Sentral. Sesudah kebijaksanaan moneter agak restriktif sejak 1974, maka akhir tahun lalu, rupanya Bank Indonesia memandang perlu untuk melakukan tindakan moneter yang sedikit ekspansif. Bank-bank yang tadinya diwajibkan memelihara likwiditas minimum 30% dari kewajiban yang segera dapat dibayar, kini hanya berkewajiban memelihara likwiditas minimumnya 15%. Sementara itu kewajiban menyimpan sebagian alat likwidnya pada Bank Indonesia diturunkan dari 10% atas kewajiban yang dapat dibayar menjadi 50. Keringanan ini juga terjadi pada penurunan tingkat bunga yang berlaku sejak awal tahun ini. Bagi pengusaha kecil yang hanya tertarik pada Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) dan Kredit Investasi Kecil (KIK) keringanan yang diberikan Bank Sentral rupanya juga cukup menarik. Untuk KMKP bunganya diturunkan dari 15% menjadi 12%, sedang kalau tadinya jumlah maksimum yang bisa dipinjam hanya Rp 5 juta, kini bisa dipinjam sampai Rp 10 juta, sekalipun waktu pembayaran tetap tak berobah, tetap 3 tahun. Itulah sebabnya jumlah permohonan KMKP yang sudah disetujui selama kwartal pertama ini meningkat dengan 13.000 menjadi 335.000. Sementara ini, jumlah kredit naik dengan 10% menjadi Rp 124 milyar, sekalipun nilai rata-rata per kredit hanya Rp 370.000, jauh dari plafon yang disediakan. Untuk KIK, yang bunganya diturunkan dari 12% menjadi 10,5%, jumlah plafonnya juga dinaikkan dari Rp 5 juta menjadi Rp 10 juta, dengan masa pembayaran yang tetap 5 tahun. Pemohon KIK jauh lebih sedikit, yaitu sampai bulan Maret baru tercatat 42.000 permohonan yang disetujui dengan nilai Rp 79 milyar atau rata-rata Rp 1,8 juta per kredit. Data ini cuma mengemukakan satu tuasi yang melahirkan simpati bahwa pengusaha kecil kita lebih banyak berusaha untuk mempertahankan hidupnya (banyaknya bantuan modal kerja yang diminta) tapi sedikit kesempatan bagi mereka untuk memperluas dan mengembangkan usahanya (sedikitnya kredit investasi yang diminta). Rekening Defisit Di bidang neraca pembayaran, apa yang selama ini dikhawatirkan sudah mulai terbukti. Nilai ekspor selama kwartal pertama tahun ini hampir tak mengalami peningkatan dari periode yang sama tahun lalu. Bahkan dibanding dengan kwartal sebelumnya nilai ekspor malah turun. Selama kwartal pertama nilai ekspor mencapai US$2484 juta, $200 juta lebih rendah dari kwartal sebelumnya. Penurunan ini merupakan jatuhnya ekspor minyak dan non-minyak masing-masing dengan US$100 juta. Usaha meningkatkan ekspor ini rupanya lebih sulit lagi, karena pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini diperkirakan menurun dari tahun lalu, sedangkan untuk tahun depan tak akan banyak berbeda. Beberapa lembaga riset sama menunjukkan bahwa ekonomi dunia tahun ini hanya akan tumbuh dengan rata-rata 3,4%, lebih rendah dari 3.7% yang dicapai pada 1977. Di lain pihak, impor naik dengan 14% menjadi US$961 juta pada kwartal ke satu tahun ini dibanding waktu yang sama tahun lalu. Memang diperkirakan bahwa impor akan bertambah dengan lebih cepat daripada pertumbuhan ekspor. Inilah yang menyebabkan defisit dalam rekening berjalan (current account) pada neraca pembayaran yang diproyeksikan naik dengan 15% menjadi US$2238 juta pada tahun anggaran sekarang ini. Dan selama rekening berjalan ini terus defisit, maka pemupukan cadangan devisa dengan sendirinya akan seluruhnya tergantung dari rekening modal (capital account), yang berarti bahwa pemerintah Indonesia setiap tahun harus mendatangi IGGI untuk tambahan hutang. Ini berarti bertambah pula pembayaran hutang dan bunga setiap tahunnya. Satu prospek yang kurang menggembirakan memang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus