SUATU kejutan untuk ekonomi Indonesia. Bukan devaluasi atau
revaluasi rupiah seperti dihebohkan kembali pekan lalu. Bukan
pula "kebijaksanaan baru di bidang moneter", seperti dikatakan
Menpen Ali Moertopo di Bina Graha Rabu pekan lalu, yang sempat
membuat sibuk kalangan pengusaha dan pedagang di Jakarta (lihat
Pasar). Tapi itu tingkat inflasi yang anjlok di bulan Juni
dengan 1,28%: satu hal yang untuk pertama kalinya terjadi selama
8 tahun terakhir ini.
Rekor itu terutama disebabkan indeks bahan makanan yang turun
dengan 2,1%, sedang indeks harga bahan lain hanya berobah
sedikit dibanding indeks bulan sebelumnya. Akibatnya, inflasi
selama setengah tahun pertama mencapai 0,7%. Dalam periode yang
sama tahun lalu, tingkat inflasi itu mencapai 4,8%. Akibat lain:
tingkat inflasi tahunan juga turun dari 9,9% di bulan Mei,
menjadi 7,5% selama Juni. Maka tingkat inflasi antara
Maret-Juni, yang merupakan kwartal pertama tahun anggaran
'78/'79 praktis adalah 0%, sebagaimana juga dikemukakan Ali
Moertopo.
Kalau kecondongan seperti ini bisa dipertahankan, dan tarohlah
tak terjadi hal-hal yang luar biasa untuk seterusnya, besar
kemungkinan untuk pertama kalinya inflasi akan berada di bawah
10%, sesuatu yang sudah lama merupakan ambisi pemerintah. Tapi
pertanyaan masih terus mengganggu: sampai di mana indeks biaya
hidup yang selama ini dipakai masih bisa dipercaya?
Indeks harga bahan makanan tercatat turun dengan 2,1%. Tapi
kalau ditanyakan kepada ibu rumah tangga, harga bahan makanan
apakah yang turun bulan ini, dia akan melongo. Rasanya tak ada
yang turun, beberapa bahan makanan seperti susu malah naik.
Indeks biaya hidup yang dirumuskan sejak 20 tahun yang lalu
memang sudah tak sesuai lagi dengan pola konsumsi sekarang ini.
"Tapi itulah satu-satunya yang tersedia," kata Menteri Keuangan
Ali Wardhana beberapa waktu lalu, yang merupakan petunjuk tak
langsung akan ketidak-puasannya terhadap pemakaian indeks
sekarang ini. Apabila survei biaya hidup yang kini tengah
dilakukan di 19 kota besar sudah selesai, dan dari situ kemudian
dirumuskan indeks biaya hidup baru, mungkin angka inflasi yang
dihasilkan akan berlainan.
Prematur
Tapi kegembiraan pemerintah dengan rendahnya inflasi ini agaknya
sedikit prematur. Bulan puasa dan lebaran sudah diambang pintu.
Dan sekalipun indeks harga 9 bahan pokok di Jakarta sudah stabil
sejak awal tahun ini, di beberapa kota besar lain bahkan turun,
tapi ketidak-pastian penyediaan kopra dan minyak sawit akan
mengganggu penyediaan minyak goreng dan margarine yang justru di
saat menjelang lebaran mengalami kenaikan permintaan. Harga
sabun cuci dan sabun mandi dengan sendirinya akan terpengaruh.
Dan harus diingat pula pengaruh pertambahan uang beredar dan
kredit bank yang sudah mulai nampak awal tahun ini. Kalau jumlah
uang beredar selama kwartal keempat 1977 turun dengan 0,4% dari
kwartal sebelumnya, maka pada akhir Maret tahun ini, uang
beredar melonjak dengan 7%, menjadi Rp 2162 milyar, sedangkan
sampai pertengahan Mei yang lalu sudah bertambah dengan 8,4%
menjadi Rp 2191 milyar. Dan dalam waktu yang bersamaan, jumlah
kredit bank selama kwartal pertama naik dengan 3%, menjadi Rp
4072 milyar csudah dua kwartal sebelumnya hanya bertambah
dengan masing-masing 2,4% dan 09%.
Sampai minggu kedua bulan Mei, jumlah kredit bank sudah mencapai
Rp 4155 milyar, atau naik dengan 2%, hanya dalam waktu satu
setengah bulan. Hal ini terjadi akibat dari kelonggaran dalam
kebijaksanaan kredit yang dilakukan Bank Sentral. Sesudah
kebijaksanaan moneter agak restriktif sejak 1974, maka akhir
tahun lalu, rupanya Bank Indonesia memandang perlu untuk
melakukan tindakan moneter yang sedikit ekspansif. Bank-bank
yang tadinya diwajibkan memelihara likwiditas minimum 30% dari
kewajiban yang segera dapat dibayar, kini hanya berkewajiban
memelihara likwiditas minimumnya 15%. Sementara itu kewajiban
menyimpan sebagian alat likwidnya pada Bank Indonesia diturunkan
dari 10% atas kewajiban yang dapat dibayar menjadi 50.
Keringanan ini juga terjadi pada penurunan tingkat bunga yang
berlaku sejak awal tahun ini.
Bagi pengusaha kecil yang hanya tertarik pada Kredit Modal Kerja
Permanen (KMKP) dan Kredit Investasi Kecil (KIK) keringanan yang
diberikan Bank Sentral rupanya juga cukup menarik. Untuk KMKP
bunganya diturunkan dari 15% menjadi 12%, sedang kalau tadinya
jumlah maksimum yang bisa dipinjam hanya Rp 5 juta, kini bisa
dipinjam sampai Rp 10 juta, sekalipun waktu pembayaran tetap tak
berobah, tetap 3 tahun.
Itulah sebabnya jumlah permohonan KMKP yang sudah disetujui
selama kwartal pertama ini meningkat dengan 13.000 menjadi
335.000. Sementara ini, jumlah kredit naik dengan 10% menjadi Rp
124 milyar, sekalipun nilai rata-rata per kredit hanya Rp
370.000, jauh dari plafon yang disediakan.
Untuk KIK, yang bunganya diturunkan dari 12% menjadi 10,5%,
jumlah plafonnya juga dinaikkan dari Rp 5 juta menjadi Rp 10
juta, dengan masa pembayaran yang tetap 5 tahun. Pemohon KIK
jauh lebih sedikit, yaitu sampai bulan Maret baru tercatat
42.000 permohonan yang disetujui dengan nilai Rp 79 milyar atau
rata-rata Rp 1,8 juta per kredit.
Data ini cuma mengemukakan satu tuasi yang melahirkan simpati
bahwa pengusaha kecil kita lebih banyak berusaha untuk
mempertahankan hidupnya (banyaknya bantuan modal kerja yang
diminta) tapi sedikit kesempatan bagi mereka untuk memperluas
dan mengembangkan usahanya (sedikitnya kredit investasi yang
diminta).
Rekening Defisit
Di bidang neraca pembayaran, apa yang selama ini dikhawatirkan
sudah mulai terbukti. Nilai ekspor selama kwartal pertama tahun
ini hampir tak mengalami peningkatan dari periode yang sama
tahun lalu. Bahkan dibanding dengan kwartal sebelumnya nilai
ekspor malah turun. Selama kwartal pertama nilai ekspor mencapai
US$2484 juta, $200 juta lebih rendah dari kwartal sebelumnya.
Penurunan ini merupakan jatuhnya ekspor minyak dan non-minyak
masing-masing dengan US$100 juta. Usaha meningkatkan ekspor ini
rupanya lebih sulit lagi, karena pertumbuhan ekonomi dunia
tahun ini diperkirakan menurun dari tahun lalu, sedangkan untuk
tahun depan tak akan banyak berbeda. Beberapa lembaga riset
sama menunjukkan bahwa ekonomi dunia tahun ini hanya akan tumbuh
dengan rata-rata 3,4%, lebih rendah dari 3.7% yang dicapai pada
1977.
Di lain pihak, impor naik dengan 14% menjadi US$961 juta pada
kwartal ke satu tahun ini dibanding waktu yang sama tahun lalu.
Memang diperkirakan bahwa impor akan bertambah dengan lebih
cepat daripada pertumbuhan ekspor. Inilah yang menyebabkan
defisit dalam rekening berjalan (current account) pada neraca
pembayaran yang diproyeksikan naik dengan 15% menjadi US$2238
juta pada tahun anggaran sekarang ini.
Dan selama rekening berjalan ini terus defisit, maka pemupukan
cadangan devisa dengan sendirinya akan seluruhnya tergantung
dari rekening modal (capital account), yang berarti bahwa
pemerintah Indonesia setiap tahun harus mendatangi IGGI untuk
tambahan hutang. Ini berarti bertambah pula pembayaran hutang
dan bunga setiap tahunnya. Satu prospek yang kurang
menggembirakan memang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini