BELUM pernah terjadi sebelumnya. Kertas obligasi RI minggu lalu
dijual di Tokyo. Dan terjual habis sebanyak 10 milyar Yen
(sekitar US$50 juta). Maka bisa dimengerti bila Menteri Keuangan
Ali Wardhana menyebutnya dengan bangga sebagai suatu peristiwa
penting. "Ini menandakan adanya kepercayaan luar negeri terhadap
ekonomi-keuangan Indonesia," katanya.
Dengan menjual obligasi itu pemerintah berarti meminjam.
Pinjaman itu rupanya termasuk dalam paket bantuan Jepang di
IGGI. Bedanya, dalam hal obligasi ini, dananya bukan berasal
dari pemerintah Jepang dan konsorsium perbankan. Tapi dari
masyarakat lewat pasar modal (bursa) di Tokyo. Dengan kata lain,
obligasi itu adalah semacam kredit, berupa wesel atau surat
berharga yang oleh pemerintah RI dijual kepada umum di Tokyo.
Lembaga atau perusahaan yang membelinya, dengan demikian berhak
menerima balas jasa dalam bentuk bunga. Karena dengan beli
obligasi itu, berarti pemerintah RI telah berhutang pada mereka.
Para pembelinya di Jepang (40% kalangan perbankan dan 60% lagi
kelompok perusahaan) baru akan menerima pembayaran dari
pemerintah RI sesudah 10 tahun. Sebagai penjamin adalah tiga
lembaga keuangan Jepang: Nomura Securities Co. Ltd., Bank of
Tokyo dan The Industrial Bank of Japan.
Surat pinjaman itu beredar dalam pecahan 10 juta Yen. Tiap
sertifikat dijual 99 7/8% dari harga nominalnya. Potongan 1/8%
itu dianggap lumrah berlaku sebagai ongkos emisi. Ia disertai
kupon bunga 7,5% setahun untuk jangka 10 tahun, tapi dengan
tenggang waktu 4 tahun.
Dari Asean, Indonesia merupakan negara terakhir yang memasuki
Pasar Modal Jepang untuk menjual obligasi. Melihat dalam waktu
seminggu saja, seluruh obligasi RI itu telah terjual habis, Ali
Wardhana tak menutup kemungkinan bahwa pemerintah sedang
mempelajari kemungkinan untuk menjual obligasinya di pasaran
Eropa.
Warga Sendiri
Hasrat menjual obligasi di luar negeri kiranya akan meningkat
dari Indonesia berhubung bertambah besarnya kebutuhan akan dana
pembangunan. Rachmat Muljomiseno, Ketua Komisi VII DPR,
beranggapan penjualan obligasi RI di Jepang itu "menunjukan
adanya kebutuhan yang sangat akan devisa, yang sementara ini tak
bisa ditutup lewat ekspor."
Tapi lebih dari itu, Muljomiseno merasa keputusan pemerintah itu
adalah "prinsipiil" dan seyogianya diberitahukan lebih dulu
kepada DPR. Maka menjadi harapan DPR, menurut Muljomiseno, bahwa
Presiden Soeharto bisa menjelaskan masalah penting itu dalam
pidato kenegaraan 16 Agustus nanti. Dalam RAPBN '78/'79, soal
kemungkinan menjual obligasi di luar negeri, rasanya memang
belum lagi disinggung.
Tapi sementara menunggu tibanya pertengahan Agustus, beberapa
pengusaha di Jakarta jadi bertanya: Apa tak sebaiknya pemerintah
juga mengeluarkan obligasinya untuk warga sendiri? Ada benarnya.
Kalau orang di Tokyo sudah makin percaya akan keadaan keuangan
di Indonesia, tak ada alasan lagi bagi kaum pengusaha di sini
untuk sangsi. Apalagi tingkat inflasi sudah makin bisa ditekan.
Jual beli obligasi memang bukan barang baru di Indonesia. Di
zaman kolonial, perdagangan obligasi berlangsung baik di
Indonesia maupun di luar negeri. Kemudian di tahun 1950-an,
sewaktu zaman 'liberal', pemerintah mengeluarkan obligasi RI
untuk dalam negeri. Tapi di tahun 1960-an, ketika rupiah makin
susut nilainya dimakan inflasi, nasib obligasi RI itu jadi tak
menentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini