RUPANYA para pelukis kepingin juga punya ...wadah. Maka di Bandung, 30 Juni s/d 2 Juli, ada Musyawarah Besar Senirupawan Bandung. Tidak kurang dari 93 senirupawan hadir. Mereka mula-mula ramai dengan perdebatan yang sengit tapi santai dengan tema: "Menuju ke arah hari depan yang lebih cerah bagi kehidupan senirupa Indonesia. " Tapi sebenarnya soal pokok ada di tempat lain. Dulu, International Association of Art (IAA) yang bernaung di bawah Unesco dan berpusat di Paris, memang pernah menghubungi Indonesia. Badan ini berusaha untuk menghubungkan kegiatan senirupawan antar negara. Pada tahun 1960 P&K menunjuk Affandi untuk mengelola Komite Nasional IAA Indonesia. Tapi Komite pimpinan Affandi itu macet. Sang pelukis terpaksa mengembalikan mandatnya pada tahun 1968. Ia mengusulkan supaya mandat itu disalurkan ke ITB. Secara resmi pada tahun 1971 komite dijabat oleh Seni Rupa ITB. Tapi hasilnya setali tiga uang. Ia tak mampu menjadi forum kontak. Apalagi datang tagihan uang iuran dari Paris untuk periode 1971-1976 sebesar 3600 franc Swiss. Mochtar Apin yang menjadi ketua merasa putus asa dan memutuskan untuk mengundurkan keanggotaan Indonesia. Tapi Paris menyuruh bersabar -- mereka bertahan saja dulu -- sampai ada penyelesaian yang lebih baik. Tunggakan itu dibebaskan dengan syarat untuk periode selanjutnya agar diusahakan pembayaran. Senirupawan Bandung agaknya merasa masih perlu Indonesia jadi anggota. Dan tampillah 16 seniman (antara lain, A.D. Pirous, Barli, G. Sidharta, Jeihan, Mochtar Apin, Popo Iskandar, dan Wiyoso Yudoseputro) yang menamakan dirinya "Panitia 16". Mereka bertekad untuk mengambil tindakan. Mereka ingin memikul tanggung jawab -- dengan cara memikirkan bagaimana meletakkan dasar bagi pembentukan wadah senirupawan di Bandung. "Kalau Jepang dan negara-negara lain sanggup menghimpun seniman-seniman mereka, mengapa kita tidak," kata Mochtar Apin -- yang rupanya dapat semangat baru. Barli, seorang pelukis kawakan mencoba menerangkan, di mana letak kesulitan senirupawan di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa wadah yang dicoba untuk menghimpun seniman di Indonesia belum pernah mencakup luas. Ia menengok sejarah lalu, dan melihat bahwa perkumpulan-perkumpulan senirupa di Indonesia lebih mementingkan ideologi kesenian yang kadangkala justru menjadi jurang pemisah. "Itu mengaburkan kepentingan bersama yang semakin di perlukan dalam tata cara masyarakat yang semakin maju dan kompleks ini," kata Barli. Bandung agaknya hendak dipakai sebagai percobaan. Kalau ada hasil, akan diluaskan ke seluruh daerah senirupawan di Indonesia. Dirjen Kebudayaan sendiri, Prof. Dr. I.B. Mantra, ikut gembira karena usaha tersebut. Ia menawarkan bantuan sesuai dengan kemajupuan yang ada pada Ditjen yang ia pimpin. Tapi kehadiran aparat pemerintah ini tak urung menimbulkan kecurigaan juga di kalangan seniman. Tapi ini segera dikunci oleh Wiyoso Yudoseputro sebagai sesuatu yang tak beralasan. "Badan pemerintah hanya sebagai partner saja, tidak akan mengikat kebijaksanaan," kata Wiyoso. Wiyoso sendiri menolak ketika Ditjen Kebudayaan menawarkan wadah yang akan dibentuk itu untuk dijadikan "proyek" pemerintah. Sebab ini wadah profesi. Soal Iuran Apa yang terjadi di dalam musyawarah, sebagaimana dapat diduga bila seniman berkumpul, ialah jotos menjotos argumentasi lalu berakhir dengan panitia-panitia kecil -- kemudian sampai pada persoalan yang menjadi mentah kembali. Soal uang iuran, kebijaksanaan keuangan, peraturan pemilihan pengurus domisili anggota dan wilayah kerja, menjadi perdebatan panas dan berlarut-larut. Di antara yang hadir tampak juga Hendra -- pelukis anggota Lekra yang baru keluar dari penjara. Ia sangat getol mengusut soal "plagiat". Maklumlah selama berada di balik tirai besi puluhan lukisan muncul dengan tanda tangan Hendra, tanpa diketahui di mana pabriknya. Pada akhirnya berhasil juga dibentuk Liga Senirupawan Indonesia Bandung dengan ketua umum G. Sidharta. Dan sebagai hasil yang paling konkrit, Hendra telah menyerahkan 3 buah lukisan untuk iuran. Sementara Popo Iskandar menawarkan sanggarnya untuk kegiatan-kegiatan LSI. Tokoh senirupawan yang disegani orang Bandung ini sebenarnya calon kuat untuk ketua, tapi pagi-pagi ia sudah bilang: "Kepada para pengagum saya, mohon agar jangan memilih saya. Harap tahan saja hasrat saudara. Orang toh senang. Setidaknya sudah mulai lancar pergaulan antara seniman di luar dinding akademi dengan yang di dalam akademi macam ITB -- yang oleh seorang seniman dikecam sebagai congkak atau mungkin juga buta warna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini